Wednesday, July 29, 2009

Telaga Senja (90)







http://www.youtube.com/watch?v=t97o2kbXVPg

All my life was a paper once plain, pure and white /Till you moved with your pen changin' moods now and then /Till the balance was right /Then you added some music, ev'ry note was in place /And anybody could see all the changes in me by the look on my face

And you decorated my life, created a world where dreams area apart /And you decorated my/life by paintin' your love all over my heart /You decorated my life

Like a rhyme with no reason in an unfinished song /There was no harmony life meant nothin' to me, until you cam along /And you brought out the colors, what a gentle surprise /Now I'm able to see all the things life can be shinin' soft in your eyes

And you decorated my life, created a world where dreams are a part 'And you decorated my life by paintin' your love all over my heart /You decorated my life

==========================
Laura hanya memandangku, tersenyum pahit, tak bergairah mendengar jawabanku yang spontan. Lagi-lagi aku menyesali jawabanku, tak menyadari telah menyinggung perasaanya. Segera aku mengusap-usap wajahnya;” maaf Lauara mulutku latah,” ujarku. ============================


Mathias manager hotel menyerahkan kunci kamar kepada Laura. Aku menahan Lauara ketika dia beranjak dari tempat duduknya dengan wajah masih murung. “ Laura, kamu terlalu sensitif, nggak bisa membedakan canda dengan serius. Pada hal sudah cukup lumayan lama kita bersahabat.”
“ Aku nggak apa-apa kok mas. Memang benar, aku belum cukup dewasa untuk memilih teman hidupku.”
“ Kenapa jadi serius seperti ini. Tadi kita sudah bicara dari hati kehati, terbuka hingga masalah pacarku.”

“ Aku kan nggak bilang apa-apa. Aku setuju, apa yang mas katakan benar.” ujarnya sambil berusaha melepaskan peganganku.
“Tunggu! Laura nggak boleh pergi sebelum wajahmu kembali cerah, tidak murung seperti itu.”
“ Cerah? Itu ekspresi dari hati mas.”
“ Jadi Laura marah?”
“ Kalau” iya” kenapa, kalau “nggak” kenapa?” tantangnya.
“ Kalau “iya” aku pulang besok dengan Lam Hot dan Rima. Kalau “nggak”, berikan aku ciuman selamat malam tiga kali, sebelum Laura meninggalkan kamar ini.”

Laura tersenyum dan menggelengkan kepalanya mendengar jawaban atas tantangannya, pertanda hatinya mulai pulih. Hal itu terlihat dari wajahnya mulai cerah dan dia meresponi:
“ Kenapa mesti tiga kali mas?”
“ Satu ciuman atas nama Rina, kedua dari Magda dan terakhir dari Laura sendiri.”
“ Kenapa nggak berikut dari ibu Susan?” ujarnya berusaha melepaskan tanggannya sambil memutar tubuhnya.
“ Lho, kok nggak satupun...? Berarti Laura masih marah?”
“ Mas serakah !” ujarnya diiringi ketawa lantas meninggalkanku dalam posisi berdiri.

Segera aku melompat ketempat tidur dengan perasaan lega. Laura telah mengetahui jelas hubunganku dengan Magda, kini aku dan dia telah mempunyai sekat pembatas. Namun aku masih ragu Laura dapat segera menghapus benih cinta yang ditabur selama beberapa bulan terhadap diriku. Apalagi pada situasi dimana dia dihimpit persoalan rumit dengan kedua orangtuanya. Aku yakin Laura masih butuh teman pendamping, setidaknya hingga Gunawan meninggalkan tanah air. Sementara keharmonisan papi dan mami Laura pada sumbu siap bakar akibat penolakan Laura atas pinangan orangtua Gunawan.

Dalam pembaringan malam, gumpalan hitam gelap terasa menutup bola mata sementara ‘roh” telah meniggalkan tubuh, menghantarkan nyenyak dalam peraduan. Sesaat kemudian Laura berbalik menemuiku; dia telah berdiri disisi ranjang kala mata telah kompromi dengan badan melepas penat.

“ Mas, tolong antarkan aku kekamar, aku takut jalan sendiri.” ujarnya sambil menarik lenganku. Aku berusaha membuka mata yang baru saja terpejam namun terasa sangat berat. Laura menepuk wajahku : ” Kok mas tega membiarkan aku jalan sendiri, pagi begini. Ntar orang kira aku perempuan nakal. Ayo dong mas antarkan aku kekamar, tetapi nggak ada jatah-jatahan.” ujarnya geli setelah dilihatnya aku bangkit dari tempat tidur.

***
Pagi sekitar pukul enam, Laura kembali menemuiku ke kamar, sementara aku masih terlelap. Aku terjaga dari tidur ketika Lauara menghidupkan radio. Dia melemparkan senyuman kala mengusap mataku meyakinkan diri bahwa sosok perempuan yang duduk di kursi menghadapku adalah Laura. Pagi itu, pakaian yang membalut tubuhnya berbeda dengan yang dikenakan sebelum kami berpisah tidur. Laura kelihatan lebih bugar. Kali pertama aku melihat Laura mengenakan rok yang terbuat dari bahan jeans, serasi dengan warna t-shirt. Lipstik tipis menempel pada bibirnya serasi dengan warna bedak yang melekat pada wajahnya. Kelopak matanya masih menyisakan lekukan tipis karena derita yang mendera malam sebelumnya.

Duh, kamu sejak tadi malam tak hentinya mengganggu. Minta antar ke kamarlah, sekarang mau apalagi,” ucapku sambil menghampirinya.
“ Kelihatan mas tidur nyenyak.”
“ Laura puas tidur.?”
“ Nggak. Aku tidak bisa tidur. Gelisah terus. Aku ngiri melihat mas dapat tidur nyenyak.”
“ Salah sendiri. Kamu gelisah karena tidak menunuaikan kewajibanmu.”
“ Kewajiban apa?”
“ Tak menyalurkan “jatah”pengantar tidurku.
“ Oalah.., kirain mas serius.”

“ Serius! Sampai-sampai aku bawa dalam mimpi."
" Mimpi apa mas?" tanyanya geli.
" Tadi malam aku bermimpi duduk ditepian telaga kala senja. Sejumlah bidadari mengerumuni; mereka berebutan ingin menciumiku, tetapi tak satupun yang kesampaian karena nggak sabar menunggu giliran.” tuturku.
Laura tertawa lepas,” jangan-jangan bidadarinya "pemain biola"mas," ujarnya menirukan ucapanku sehari sebelumnya.

“ Pukul berapa pagi tadi Laura pulang kerumah?”
“ Mungkin sekitar pukul empat. Tadi aku datang kesini pukul setengah enam, mas masih tidur lelap. "

" Ngapain Laura datang pagi-pagi? Mau bayar utang?"
" Nggak. Aku nggap punya utang pada mas. Hari ini aku mau mengajak jalan bareng dengan adik Lam Hot, sebelum mereka kembali entar malam.”
“ Boleh aku ikut pulang dengan mereka.?”

" Lho, tadi malam mas sudah bersedia kita pulang minggu depan."
" Aku sudah puas menikmati udara sejuk dan "panas"nya Yogya."
" Ah...nggak pernah panas tuh. Selama kita disini memang cuacanya mendung tetapi sejuk kok, " balasnya polos.
" Mendung disertai hujan air mata, " ujarku. Magda baru sadar kalau bahasaku bersayap.
" Mas, nggak usah disinggung lagi, tolonglah..!"

" Okey, daripada kamu gantung diri. Berapa hari lagi kita disini.?"
" Kita pulang besok lusa , sore, kalau mas sudah bosan.!"
" Dan selama itu pula aku menjadi body guard atau kekasih bayangan.?"
" Mas pilih yang mana.?"
" Kedua-duanya. "
" Bagaimana sebagai seorang sahabat.?"
" Apa beda sahabat dengan kekasih."

" Sahabat itu teman sejati mas. Tak mengharapkan sesuatu imbalan kala mengulurkan tangan membantu seseorang dalam kesulitan. Kekasih sewaktu-waktu dapat putus, jika tidak sesuai dengan keinganannya," ujarnya dengan derai tawa.
" Aku milih yang terakhir."
" Mengapa?"
"Karena sewaktu-waktu aku dapat memutuskan bila tidak sesuai dengan keinginanku." ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/