Saturday, January 16, 2010

Telaga Senja (208)

Sarah Mclachlan "I Love You
I have a smile /Stretched from ear to ear /To see you walking down the road /We meet at the lights /I stare for a while /The world around us disappears

And it's just you and me /On my island of hope /A breath between us could be miles /Let me surround you /My sea to your shore /Let me be the calm you seek

Oh but every time I'm close to you /There's too much I can't say /And you just walk away /And I forgot to tell you I love you /And the night's too long /And cold here without you /I grieve in my condition /For I cannot find the words to say I need you so

Oh and every time I'm close to you /There's too much I can't say /And you just walk away /And I forgot to tell you I love you /And the night's too long /And cold here without you /I grieve in my condition /For I cannot find the words to say I need you so bad /I need you so bad
==================
Untuk beberapa saat, Magda masih kelihatan nervous. “ Papa.. lebih baik kita segera pindah ke Jakarta. Mama nggak merasa aman jika masih di Medan. Aku setuju rencana papa tadi. Besok kita minta tolong kak Susan mengurus ijin cutiku.”
===================

SEPARUH MALAM aku dan Magda tak dapat memejamkan mata diruang yang tak begitu luas itu. Malam itu aku mengajukan beberapa rencana alternatif menghindari jerat hukum dari pihak keluarga Magdalena dengan tuduhan penculikan. Aku harus segera melaporkan kepada keluargaku terdekat, bahwa aku telah membawa seorang perempuan tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Magda heran setelah aku tuturkan rencana ini secara detail. “ Papa yakin kalau jalan yang papa tempuh dapat diterima oleh keluarga papa,?” tanyanya.
“ Aku akan berusaha meyakinkan mereka. Papa pernah menemani seorang sahabat membawa kabur pacarnya, karena tak ada kecocokan kedua belah pihak. Bedanya, dia membawa ke rumah seorang penetua gereja. Sementara kita dibawa kabur ke kebun,” tawaku mengurangi stressnya Magda. “ Tetapi kita kan sudah melakukan proses pernikahan di gereja, bareng dengan Maya,” balasnya diiringi tawa renyah.

Tingkat ketakutan Magda mencapai puncak ketika kami di jemput dan dikawal oleh sejumlah oknum aparat. Siang itu seseorang mengetuk pintu. Magda kaget, hampir berteriak melihat yang datang bukan Hendra. Segera orang itu memperkenalkan dirinya ketika melihat Magda ketakutan. “ Aku adiknya Hendra, baru kembali dari luar kota. Abang Hendra memintaku menjemput mbak dan mas,” ujarnya. Didalam kendreraan yang kami tumpangi, adik Hendra berkata, “ Kakak dan abang nggak usah khawatir, kami sudah siapkan pengamanan secukupnya. Tetapi untuk beberapa hati ini jangan keluar rumah dulu, sampai situasi aman. Mas atau mbak ada memakai telepon dari rumah teman abang Hendra dalam beberapa hari ini.?”
“ Ya, pak. Aku telepon ke rumah om, mau bicara dengan adikku,” jawab Magda.
“ Itu sebabnya mereka tahu dimana posisi kalian. Mereka caritahu melalui kantor telkom. Mbak, jangan panggil bapak, aku masih single, panggil saja Ron,” ujarnya mengakhiri percakapan.

Tiba dirumah, Susan menyongsong dan memeluk Magda setelah turun dari mobil.
“ Magda,kalian tinggal di rumah kakak saja. Abang Hendra dan Ron sudah minta tolong kepada teman-temanya untuk mengawasi rumah ini. Kenapa wajahmu ketakutan seperti itu,?” tanya Susan seraya menuntunnya masuk ke dalam rumah. Aku dan Magda merasa surprise ketika masuh kedalam rumah. Suasana rumah berubah, tidak seperti beberapa hari lalu ketika kami tinggalkan. Sepasang kursi terhias rapi, berlatar dinding warna-warni benuansa sejuk. Susan mengajakku dan Magda ke kamar yang telah dipersiapkan untuk kami. Ruangan itu juga telah “disulap” sedemikan rupa berikut lampu warna warni dengan suasana romantis. Dua pasang pakaian tergeletak diatas tempat tidur; Sepasang jas dan kebaya modern. “ Zung..Magda, kalian ganti pakaian. Sebelum kita makan siang, kalian akan diabadikan.”

Aku dan Magda hanya menurut apa pesan Susan yang kami anggap perlakuan tulus. Kami hanya geleng-geleng kepala sebagai reaksi membalas kebaikan hati Susan dan Hendra, setelah Susan keluar dari kamar. Belum lagi rasa haru berakhir, bagai dalam mimpi, aku dan Magda tertegun saat keluar dari kamar melihat kehadiran Jonathan, Mawar, Rina dan Thian ada di ruangan tengah. Magda mengejar adiknya Jonathan dengan teriakan...Jon...! Kemudian mereka pelukan sepertinya tak bertemu tahunan.

Siang itu sikapku berubah terhadap Jon, tidak seperti biasanya menganggap sebagai adik karena dibawah usiaku. Bagi kami kehadirannya membawa hawa sejuk mewakili keluarganya. Seusai pelukan dengan Jon, aku dan Magda bergegas menemui Thian dalam gendongan Rina. Magda tak membiarkanku terlebih dulu mencium Thian. Magda “merampas” Thian dari gendongan Rina. “ Thian...ini mamatua...! Bangun sayang...Thian bangun...” suaranya sendu dalam rindu. " Nih, pap mau cium Thian?" tawarnya, seraya mendekatkan Thian ke arahku.
***
Mawar mengambil alih acara pengabadian kami berdua. Kelihatan Susan kelelahan menangani acara siang itu. Ditengahnya riuhnya pagi itu, Susan hanya terduduk di sofa, entah apa yang yang dipikirkannya. Aku berbisik ke Magda untuk menemuinya, Magda setuju. “ Kak, kenapa diam? “ tanya Magda.

“ Kakak nggak apa-apa. Aku terharu, sejauh ini semuanya bejalan lancar,” jawabnya seraya membalas pelukan Magda. Tawaku dan Magda meledak ketika Susan menuturkan cara dia "memprovokasi" Jonathan, Rina dan Thian serta Mawar yang bolos dari pekerjaannya, berkenan hadir dalam acara makan siang dan pemotretan.

Juru potret profesional yang sejak tadi menunggu, memintaku dan Magda duduk di kursi yang telah disapkan, kemudian mengatur posisi kami keseluruhan. Jonatahn berdiri persis dibelakang kami pada posisi tengah, Mawar disisi kiri dan Thian dalam gendongan Rina disebelah kanan. Susan dan Hendra duduk mendampingi kami berdua. (Bersambung)

Fresno, January 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/