Wednesday, September 30, 2009

Telaga Senja (131)

I HATE YOU THEN I LOVE YOU (Celine Dion & Luciano Pavarotti)
I'd like to run away from you /But if I were to leave you I would die /I'd like to break the chains you put around me /And yet I'll never try

No matter what you do you drive me crazy /I'd rather be alone /But then I know my life would be so empty /As soon as you were gone

Impossible to live with you /But I could never live without you /For whatever you do / For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

You make me sad /You make me strong /You make me mad /You make me long for you / You make me long for you

You make me live /You make me die /You make me laugh /You make me cry for you / You make me cry for you

I hate you /Then I love you /Then I love you /Then I hate you /Then I love you/more /For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

You treat me wrong /You treat me right /You let me be /You make me fight with you / I could never live without you

You make me high /You bring me down /You set me free /you hold me bound to you

I hate you /Then I love you /Then I love you /Then I hate you /Then I love you more / I love you more /For whatever you do / For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

I never, never, never /I never, never, never /I never, never, never /Want to be in/love with
anyone but you /But you

==========================
“ Mas, tak punya perasaan,” ujarnya dengan bibir bergetar.
“ Perasaanku hilang diracuni bisa ular dan belut. Pulanglah sendiri. Hati-hati dijalan, sampai ketemu di kantor,”
Laura menatapku sendu. Matanya memerah kemudian dia dan aku sama-sama berbalik langkah.Aku masuk kedalam kereta, Laura
menuju mobil membawa sejuta kecewa.
===========================
TAK MAMPU membohongi diri, aku merasa iba kepada Laura. Segera aku meloncat keluar dari kereta. Tudingan Laura benar, aku tak punya perasaan. Membiarkan dia menyetir sendiri ke Jakarta akan menambah siksa batinnya. Padahal Laura datang ke Bandung atas permintaanku. Kenapa aku segila ini membiarkannya kembali ke Jakarta tanpa aku? Bebal.

Nafasku sesak mengejarnya hingga keparkiran mobil. Laura tersentak ketika aku menyentuh lengannya, dia menduga aku copet atau pencoleng. Dia refleks memeluk tas kecil yang tergantung pada bahunya. Wajahnya sangat ketakutan. “Laura, aku capek,” ujarku dengan nafas terengah, aku terjongkok disampingnya, kaki tak mampu menahan sesaknya dada serta beban koper yang ku bawa. Laura menoleh kearahku, diam. Aku melihat matanya masih memerah tanpa air mata. Masih posisi jongkok dan nafas sengal berucap, “ Laura, biar aku yang setir mobil sampai ke Jakarta.”

Tanpa sepatah kata Laura berlalu, dia berjalan cepat, meninggalkanku di sisi jalan menuju parkiran. Aku berusaha mengikuti, tapi kakiku masih pegal tak mampu mengikuti kecepatan langkahnya. “ Laura, kita pulang bareng. Tunggu aku, kereta sudah berangkat Laura...Laura..! “ teriakku. Dia terus berlalu.

Dari kejauhan aku melihat Laura mengemudikan mobil meninggalkan pelataran parkir. Berangkatlah kau dengan damai keluhku dalam hati. Tinggalah aku kelimpungan. Tak tahu mau jalan kearah mana selain ke stasion kereta. Sejumlah pasangan mata melihat “adegan” aku dengan Laura. Meski tak satupun diantara mereka ku kenal, ada juga perasaan malu. Entah apa pula yang mereka simpulkan atas kejadian itu. Tertatih-tatih aku berjalan ke arah stasion kereta, ingin istirahat sejenak sambil menunggu kereta berikut. Tak ada penyesalan. Semuanya kuterima dengan lapang dada walau sangat menyakitkan.

Kali pertama seorang perempuan, dari sejumlah perempuan yang ku akrabi, Laura lah satu-satunya yang mampu "melawan". Magda, Susan dan yang lainnya, melakukan perlawanan bila aku mengulah, namun akan segera pulih sebelum matahari terbenam. Laura? Perempuan Jawa yang selama ini kuanggap lembut itu, dua hari terakhir mampu meruntuhkan keangkuhanku.

Aku duduk dibangku panjang bercat hijau di ruang tunggu stasion kereta. Cuaca mendung pagi menjelang siang itu mengundang rasa kantuk. Takut ketiduran, aku memangku koper kecil berisi jatah rampok itu. Seorang ibu setengah baya duduk persis didepanku sambil memangkuu bakul berisi jamu. Diapun terkantuk-kantuk sambil menahan kepalanya, mungkin dia terlalu lelah menjajakan jamunya. Kami sama-sama lelah, terkantuk-kantuk tetapi beda penyebanya, bisikku. Aku terenyuh melihat wajah ibu tampak begitu lelah. Aku pindah duduk kesebelahnya. Ingin mengambil bakul jamu dari pangkuannya untuk meringankan beban. Tetapi aku takut dituduh rampok. Aku diam. Ah..ku cari akal bagaimana aku bisa bercakap-cakap dengannya sampai tiba schedule pemberangkatan kereta berikut.

Setelah beberapa saat aku duduk disampingnya, mataku ku redupkan kemudian kepalaku oleng kekiri kekanan, seakan nagantuk berat, persis seperti ibu itu. Kepala kami berantuk. Ibu mendahuluiku meinta maaf, " Maaf mas. Ibu kelelhan," ujarnya tersipu.
" Nggak...ngagak bu. Aku minta maaf telah menggangu ibu," balasku.
Aku menhan ibu itu ketika beranjak pergi dari tempat duduknya. " Bu...aku haus boleh mau minum jamunya,?" tanyaku.

" Mas, kalau haus beli air saja. Jamu untuk kesehatan tubuh, " terangnya.
" Iya bu, aku lagi kecapekan dan sepertinya mau pilek. Tolong bu aku mau." pintaku.
Dengan sigap ibu meracik dam neyeduh jamu jenis permintaanku.
" Pakai madu dan telor mas," tanyanya.
" Iya bu, telornya empat," jawabku.
" Nggak kebanyakna mas.!?" tanya ibu itu cengengesan.
" Nggak bu. Aku mau pulang ke Jakarta jalan kaki."

" Kenapa tadi si neng marah-marah dan tinggalin mas!?"
" Si Neng yang mana .?"
" Yang tadi naik mobil?"
" Ibu lihat.?"
" Ya mas. Tapi kok tega iya si neng."
" Ya bu beginilah nasib sopir. Si neng itu majikanku di Jakarta. Aku terlambat sedikit dia marah-marah. Iya, itu tadi aku langsung ditinggal."

" Iya memang, kadang-kadang majikan nggak punya perasaan. Berlaku semaunya kepada orang kecil," belanya sambil menyerahkan seduhan jamu. Hampir saja ketawaku meledak mendengar pembelaanya. Ah...mulianya hati ibu ini. Ditengah kegetiran hidup masih mampu belain orang kecil, seperti aku yang mengaku sopir. Aku...? hanya belain perampok berdasi dan berlipstik.
Aku terus mengajak ibu bicara tentang keluarganya serta jumlah pendapatanya seharian.
" Pendapatannya nggak tentu mas. Kalau udara seperti ini agak lumayan. Tetapi biar juga jamu ini habis terjual, hanya cukup membeli makan untuk ketiga anakku. Ibu dari Tegal. Menguji nasip di Jakarta kemudian setahun lalu pindah kesini. Iyah..rejekinya sama sajalah mas," tuturnya.

"Belang"ku mulai tersingkap oleh ibu itu, ketika aku menolak pengembalian uang. " Pegang saja bu, nanti buat jajan anak-anak ibu."
" Mas ini siapa sih?"tanyanya heran. Katanya sopir, moso uangnya bersih seperti ini? Nyolong uang nyonya iya? tanyanya lagi serius.
" Nggak bu. Tadi aku baru dipecat dan langsung diberikan pesangon oleh Nyonya," balasku serius pula.

" Mas punya uang, kenapa pulang jalan kaki ke Jakarta,?" tanya ibu.
" Nggak, aku cuma bercanda bu. Aku menunggu kereta berikut."
" Mas, nggak baca itu? Keretanya senja berangkatnya tengah malam." ujarnya sambil menunjukkan papan pengumumaan di depan pintu masuk. " Eh..mas...mas...nyonya itu datang lagi. Kali mau jemput mas!?" ujarnya sambil menunjuk kearah Laura yang sedang berjalan kearah kami. Hah...dia lagi..dia lagi, kataku lirih.
" Mas, ketakutan? Jangan mau lagi mas. Lawan saja. Nanti kalau dia main paksa lapor saja polisi," geramnya.

"Iya bu. Tetapi aku kasihan sama nyonya. Dia nggak punya teman pulang ke Jakarta. Mungkin si nyonya menyesal, makanya dia balik lagi," ujarku serius. Aku melirik Laura sudah mendekat. Ku mainkan lagi jurus lempar bola saat Laura sudah duduk didepan aku dan ibu penjual jamu. Aku mengharap Lauara menyambut umpan bolaku.

" Bu, keretanya berangkat tengah malam iya? Boleh aku numpang tidur ditempat ibu.?"
" Pie toh mas, kami tinggal di gubuk. Nggak punya kamar. Mau tidur bareng-bareng di tempat sempit,?" tanyanya polos.
" Iyalah bu. Daripada aku disini seperti gelandangan, aku ikut ibu iya?" ujarku sambil ikut merapikan botol jamunya. Laura diam sambil menatap kami. Tak bergemingpun dia, ah..! Sebelum kami berangkat, aku berbisik pada ibu, " Bu tanyakan nyonya, mungkin dia mau minum jamu."
"Biarain saja. Nyonya seperti dia malu minum jamu di stasion," ketusnya.

Laura menarik ikat pinggangku dari belakang ketika jalan dengan ibu penjual jamu. Ibu menoleh kebelakang ketika aku langkahku tertahan.
" Mas jadi ikut ibu,?" tanyanya.
" Terimakasih bu, kami mau pulang bareng, " ujar Laura.
" Iya mas? Mau pergi dengan nyonya.?" tanya ibu memastikan.
" Ya..iya..bu. Aku mau sama nyonya," jawabku seperti orang ketakutan. Laura langsung mengangkat koper kecil berisi "sampah". Aku berpura-pura mengahalangi Laura mengambil koper dari tanganku," Nyonya jangan!. Biar aku yang bawa...jangan nyonya.!" seruku. Ibu itu geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkahku, sambil menunjuk-nunjuk dengan ibu jarinya, seakan berucap," Ah sialan lu , kerjain ibu iya." ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/