Thursday, November 26, 2009

Telaga Senja (171)




=============================
“ Mama, jangan salahkan papa, bila kelak, setelah wajahku kembali seperti semula, bahkan lebih tampan, banyak perempuan menggoda papa. Salahmu sendiri.”
“ Mama jamin. Papa nggak bakalan “laku”. Siapa sih, di pelosok Medan ini yang nggak tahu kalau papa terus mengejar mama hingga berdarah-darah.!?”

=============================

Magda mengajakku mampir ke kantor setelah dari tabib. Hampir saja terjadi “perang” karena aku menolak ikut masuk ke kantornya. “ Mam aku malu, wajahku masih berantakan,” dalihku. Magda terus ngotot, aku harus ikut. Namun, aku tetap menolak. "Api" hampir terpicu kalau saja Magda tidak mau mengalah.
“ Mama terus memaksa ikut ke kantor? Papa akan pergi sendiri ke rumah pak Ginting,” ancamku.
“ Nggak mau ketemu dengan dengan Maryam ? putri pak haji Milton. Teman sekelas kita dulu yang "kejar-kejar" papa.?"
” Mam, jangan giring aku pada pencobaan," gurauku.

“ Ya sudah. Mama mau kenalkan kepada atasanku."
" Atasan mama, perempuan atau laki.?”
“ Memang kenapa?"
“ Bila perempuan, papa takut dia akan berteriak ketakutan melihat wajahku. Bila lelaki, dia akan merasa iba melihat mama. Perempuan secantik mama, mau pacaran denganku.?”
“ Papa, kok minder seperti itu. Ayo lah temanin mama,” rengeknya.
“ Mam. Aku janji minggu depan setelah pengobatan tabib selesai, papa mau di "pamer" ke seluruh teman-teman mama.”
Halah...papa, bilang saja nggak mau,” kesalnya sambil meninggalkanku di dalam mobil.

***

Aku tertidur di dalam mobil karena merasa jenuh menunggu Magda kembali dari kantornya. Setengah jam kemudian, dia datang bersama dengan sejumlah teman sekantornya. Aku mengumpat dalam hati, sudah menghindar bertemu dengan teman-temannya, malah memboyong dan “mempertontonkan” wajahku yang masih dalam perawatan.

Dalam keadaan terpaksa, aku tetap di dalam mobil, melayani perkenalan dengan rekan sekerja Magda, meski dalam hati kecut. Rasa kesal terobat, ketika aku melihat Risma si centil, teman sekelas Bunga, mantan pacar, menarikku secara paksa keluar dari mobil.

Hei...preman ayo keluar, “ entaknya sambil menarik taganku. "Ganas benar kamu Magda. Kok bibir abang kita sampai sompel begini,” guraunya sambil memperhatikan serius wajahku.
” Ris, nanti giliranmu yang aku sompelin,” balasku.
Husss... ntar kedengaran pacarku?”
“ Memang ada lelaki yang mau ?”
" Huh....nggak tahu saja. Lelaki berjejer sampai tengkurap-tengkurap."

“ Ris, abang jangan dilayani. Ntar semakin mengkek,” seru Magda.
Halah...bilang saja Magda cemburu,” ujar Risma cekikan.
Risma mengajak paksa ikut ke kantin. “ Zung, kamu nggak mau ikut, Ris bongkar semua rahasiamu dengan Bunga dan Maryam,” lagaknya serius.
" Kenapa nggak bongkar sekalian kisah kasih cinta kita yang di pantai Cermin itu," balasku.
" Ya, nanti aku buka semuanya. Ayolah..paling juga ntar yang cemberut mbak Magda," ujarnya, ngakak. Sambil jalan menuju ke kantin, Risma terus ngoceh," Magda, kalau kamu nikah dengan preman ini aku mau jadi pendamping."

Cukup lama kami bersendagurau, melebihi jam istrahat, dengan teman sekantor Magda. Magda sangat puas dalam pertemuan itu. " Pap, terimakasih ! Tadi mama sempat kuatir, papa bicaranya ketas-ketus karena kesal ke mama," ujarnya ketika kami sudah di dalam mobil menuju ke rumah pak Ginting.
"Seandainya pun papa kesal, itu urusan kita berdua. Nggak lah. Nggak mungkin aku tunjukkin kesalku ke orang lain. Selain itu, kebetulan papa senang ketemu dengan si centil, Risma."
" Memang papa pernah punya kisah dengan dia,?" tanyanya serius.
" Mama nggak tahu.?"
" Sumpah pap, mama nggak pernah tahu.!"

" Ya nantilah papa ceritakan setelah dirumah pak Ginting."
" Kenapa harus menunggu nanti.?"
" Nggak enak cerita sambil setir mobil," jawabku. Magda mulai gelisah.
" Pap, kita mampir sebentar ke rumah. Mama ada ketinggalan," pintanya. Aku diam, aku tahu dia sedang kesal. Cerita sengaja ku gantung. Mobil terus melaju kerumah pak Ginting. Lagi, dia membujukku supaya mampir ke rumah. Aku bergeming. Magda diam, matanya lurus menatap ke depan. " Pikirin apa mam?" usilku. Dia tak menjawab.
" Okay. Papa ceritakan sejujurnya. Tak ada yang disembunyikan. Mau dengar?"
" Ya," jawbanya. Dia memiringkan badanya ke arahku. Serius.

" Mam....!" ujarku menggantung, agak lama.
" Pappp..!????" teriaknya tak sabaran mendengar lanjutan kalimatku.
" Sejujurnya....aku tak pernah sedetik pun menjalin hubungan dengan Risma. Kisah di pantai Cermin, itu hanya bumbu cerita. Mama aneh. Mana mungkin aku punya hubungan dengan dia, atau dengan perempuan mana pun. Sejak kita es-em-a, mama telah membelengu kaki dan hatiku."
" Papaaaaa jeleekkkkk!!!" teriaknya karena merasa malu.
" Masih mau mampir ke rumah?"
" Nggak!" ketusnya.
" Mama ketinggalan apa?"
"Pentungan!" tawanya seraya mencubit lenganku, gemas.

***

Tiba di rumah dukun patah, bapak dan ibu Ginting menyambut kami, hangat. Magda langsung menyampaikan maksud kedatangan kami. " Macam mananya kau nih nak. Kecelakaan terus," ucapnya sambil menyuruh membuka kaosku. Ditempat ini, sebelumnya, tiga pasang tangan perempuan pernah "merawatku" dalam waktu berbeda. Ketiganya, Mawar, Susan dan Magdalena.

Pak Ginting meminta isterinya, menyiapkan minyak urut. " Kenapa datangnya terlalu lama ?" tanyanya, sementara jarinya mulai menyentuh pelan.
" Nak, karena sudah agak lama, pijatan bapak agak lebih kuat iya."
Belum siap dia bicara, aku sudh berteriak menahan sakitnya. Pak Ginting menghentikan sejenak pijatannya.

Dia menyuruhku tiduran diatas dipan yang beberapa tahun silam pernah aku terbaring . Dia terus mengajakku ngobrol untuk mengalihkan perhatian, sementara jari tangannya terus "menari" di bahuku. " Pak, sakit !" teriakku. " Tolong berhenti sebentar." pintaku. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku karena menahan sakit pijatan. Ibu Ginting menyerahkan sehelai kain ke Magda untuk melap peluh di kening dan keringat dingin tubuhku. Pak Ginting pergi kebelakang meracik jamu untuk penawar sakit. " Sebentar bapak mau kedapur mau mengambil jamu," ujarnya.

Mata Magda mulai berkaca-kaca melihat penderitaanku. " Papa mau minum?" tanyanya sendu sembari membelai rambutku.
" Nggak. Aku nggak mau minum. Papa mau di cium," gurauku, suaraku pelan ditengah kesakitan amat sangat.
" Ya...ya! Nanti pap."
" Sekarang..!"
" Pap, ada ibu itu!" bisiknya. ( Bersambung)
Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/