Wednesday, December 9, 2009

Telaga Senja (183)

=====================
Sebelum dia meninggalkan kamar, aku menyelipkan sejumlah uang ke kantongya setara pendapatannnya seharian menarik becak pada akhir pekan. Tak lagi merasa sungkan, dia menyalam Magda saat berpapasan di didepan kamarku.
====================
Kehadiran Magda, serasa menghidupkan lentera cinta yang nyaris redup. Skenario “catur” yang telah kurancang buyar setelah melihat keteduhan wajahnya. Aku songsong dia ke depan pintu dan melakoni seperti aku lakukan di rumahnya kala dia mendorongku nyaris terjengkang.
“ Magda ngapain? Belum cukupkah Rina memaki dan menghujatku.?" Aku tetap berdiri didepan pintu tanpa menyilakannya masuk. Magda cuek. Dia masuk dengan cara memiringkan tubuhnya lalu duduk di sudut ranjang. Magda meletakkan tas tentengan yang dibawanya di sisi tempat tidurku.

“ Pap, terimakasih telah mengantar Rina ke rumah sakit,” ujarnya.
“ Magda! Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kamu datang kesini?” Magda tetap tak mau menjawab. Bahkan berdiri membenahi tempat tidurku. Dia mengambil sarung bantal dan bed cover dari tas tentengannya. Sepasang cangkir dan sejumlah sendok, garpu serta piring ditaruh diatas meja kecil setelah menutup dengan taplak yang telah disiapkannya.
“ Magda, tahu dari siapa aku ada kesini?”
“ Dari belahan jiwaku. Bukankah tadi pagi telah memberitahu, kalau papa punya rencana ke tempat ini.? Papa lupa karena bertemu dengan Maya,?" tanyanya agak sinis. Tiba-tiba Magda mengalihkan pembicaraan.
" Tadi mama sudah mampir di klinik, besuk Rina. Thian montok iya pap,” ujarnya tanpa menolehku. Ya, sudahlah, mungkin Magda telah menyadari kekeliruannya, pikirku. Aku pun beranjak dari tempat duduk, membantunya membenahi kamarku.

“ Magda, terimakasih telah membawa semua perlengkapanku.” ujarku sembari menyususun buku-buku ke atas meja belajar di pojok kamar. Sementara Magda merapikan lipatan pakaian, aku mengambil air minum ke rumah induk. Aku menyorongkan air dingin itu ke ujung bibirnya.
” Kok cuma satu gelas pap.?”
“ Segelas berdua,” ujarku, disambut dengan mata binar. Wajahnya bersinar, dipadu elok bibir tipis merekah. Kedua telapak tangannya menopang tanganku yang sedang memegang gelas berisi air di ujung bibirnya, lantas meneguk.
“ Papa juga, minum, ” ujarnya seraya mendekatkan gelas ke mulutku.
“ Magda, kenapa seharian ini marah pada papa?”

“ Maya dimana pap.?”
“ Mana papa tahu! Mama belum jawab pertanyaanku. Mama masih marah karena melihat duduk berdampingan dengan Maya di mobil angkutan umum tadi siang!?” tanyaku seraya meletakkan gelas ke atas meja.
“ Papa sudah memaafkan mama? Atau masih marah?” tanyanya serius sambil memegang kedua pergelangan tanganku
“ Mama merasa bersalah? Apa yang salah? Magda, jawab dulu pertanyaanku, papa salah apa, hingga Rina ikut-ikutan menghujatku.? “ tanyaku pelan persis didepan wajahnya, hidung hampir bersentuhan.

“ Papa lapar?”
“ Ya...ya. Aku lapar, lalu kenapa!? Papa juga lapar jawaban mama! Kok sejak tadi nggak mau menjawab pertanyaanku!” ucapku kesal. Magda kaget mendengar suaraku agak meninggi; Dia diam, menatapku sebentar lalu melepaskan pegangannya. Magda mengambil kunci mobil dari atas meja lantas keluar dari kamar.
“ Mama mau kemana!?“ teriakku. Magda bergeming, menolehpun tidak. Dia terus melangkah ke mobilnya.

Kenapa Magda begitu sensitif? Seingatku, tempo dulu, hanya sekali dia meninggalkanku dikamar dengan tangisan, saat aku merokok “daun setan” ( daun ganja, pen ). Sebelumnya, memang, dia telah berulangkali mengingatkan agar tidak mengulangi kebiasaan itu. Selebihnya, paling dia menjerit dalam isak tangis bila aku ketahuan mengulangi kebiasaan buruk itu. Tetapi, kali ini dia meninggalkanku, diam, namun tanpa air mata. Menurutku, kekesalanku yang baru saja terjadi, belum seberapa dibandingkan amarahku pada waktu yang lalu-lalu.

Aku mengejarnya hingga ke pintu mobil. Tensiku turun secara terpaksa, takut kena damprat lagi. “ Mama, mau kemana? Nanti kita pergi sama melihat bayi Thian. Ayo lah kita bicara di kamarku, sebentar mam,“ bujukku lembut seraya mengambil kunci mobil dari tangannya.
Papaaaaa...., mama nggak pergi kemana-mana. Mama hanya mau mengambil makanan,” ujarnya dengan wajah kemenangan.

“ Magda! kerjain papa,? suaraku lemah. Akupun tersandar di sisi mobilnya. Langkah "catur" yang dimainkannya lebih jitu dari skenario yang telah aku susun. Sekali melangkah dia langsung ke jantung pertahananku. Mengharap remis, ternyata aku" knock out". Malu.
“ Bukannya tadi papa marah-marah karena kelaparan? Kenapa tiba-tiba suara papa lembut? Papa sudah kenyang,?” sindirnya. "Dinyanyiin" begitu, aku pun melangkah gontai menuju kamarku.
" Heh...papa yang bawa makanannya! Mama bawa bantal papa, " suruhnya tegar. Aku berbalik , melangkah lemah ke mobil bagai serdadu kembali dari medan tempur setelah kalah perang.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (182)




http://www.youtube.com/watch?v=rriGtwl1oGE

Celine Dion -Think Twice
Dont think I cant feel theres something wrong/Youve been the sweetest part of my life so long/I look in your eyes, theres a distant light/And you and I know therell be a storm tonight/This is getting serious/Are you thinking bout you or us
(chorus)
Dont say what youre about to say/Look back before you leave my life/Be sure before you close that door/Before you roll those dice/Baby think twice

Baby think twice for the sake of our love, for the memory/For the fire and the faith/ that was you and me/Baby I know it aint easy when your soul cries out for higher ground/coz when youre halfway up, youre always halfway down/But baby this is serious/Are you thinking bout you or us

(repeat first chorus)
Baby this is serious/Are you thinking bout you or us/Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life/Be sure before you close that door/Before you roll those dice

Dont do what youre about to do/My everything depends on you/And whatever it takes, Ill sacrifice/Before you roll those dice/Baby think twice

=============
“ Bah! Yang pertama baru beberapa jam melahirkan. Beberapa bulan lagi masih mau nikah. Satu rumah pula !?” Hebat...hebat..dunia semakin maju..” gumannya seraya geleng-geleng kepala
.
==============
Kuatir Magda membuntuti dari belakang, aku meminta pengemudi becak jalan mutar menuju ke rumah kos. Kekuatiranku benar. Saat becak menikung di pertigaan jalan, aku melihat mobil Magda menyusul ke arah rumah kos yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.
“ Bang, kita warung beli gado-kado dulu,” ujarku.
“ Terlalu jauh mutarnya,” balasnya. Dia tidak tahu, alasanku kenapa tiba-tiba berubah jalur.
“ Kita nggak usah ke sana,” ujarku, menyebut alamat kosku.
“ Kenapa nggak jadi,?”tanyanya.
“ Nanti kita kelamaan, “isteriku” sudah kelaparan,” dalihku sambil menoleh kebelakang, kuatir kalau-kalau Magda menemukan jejak jalan perkeliruan.

Kini aku merasa diatas angin. Siang aku di ‘skak”, gara-gara Maya, saatnya dia kubalas dengan “skak”. Dia kecolongan dengan lahirnya Thian lebih dini. Saat Rina membutuhkan pertolongan, aku ada disana sebagai”pahlawan”. Aku tahu dia sangat terpukul, karena dia amat sayang dengan Thian, sejak masih dalam kandungan. Dalam posisi ini aku menang selangkah.
Sekarang giliranku memainkan “kuda” dengan sasaran merubuhkan “benteng”pertahanan, satu-satunya pengawal rajanya. Sebelumnya, aku alihkan perhatiannya dengan langkah pionku. Seandainya pun dia mau mengurbankan “menteri”nya, setidaknya permainan akan remis. Artinya, tak ada yang kalah dan menang. Memang, bukan kalah menangnya yang perlu. Penting, keduanya menyadari kelemahan dan mengakui kelebihan satu dengan yang lain.
***
Aku menyerahkan sweater dan gado-gado pesanan Rina. “ Mas, sudah ketemu dengan mbak Magda?” tanya Rina, suaranya datar.
“ Ya. Tadi ketemu dirumah. Rina, nggak usah pikirkan itu. Jaga kesehatanmu dan Thian. Rina sudah ingat benar wajah Thian. Ntar keganti dengan anak orang lain.” ingatku,
” Ya, ialah mas. Nggak usah kuatir “anak kita” tidak akan ketukar,” tawanya.
“ Rin, jangan panggil aku “papa”, meski sedang bercanda, ntar urusannya panjang. Hanya karena duduk berdampingan dengan Maya dalam satu angkutan umum itupun jadi persoalan,”ujarku mengingatkannya.
"Iyalah mas. Nggak bakalan."

“ Rina mau makan sekarang? Mau aku suapin?”
“ Halah..malah mas Tan Zung mau buat persoalan lagi. Lagian, aku baru boleh makan beberapa jam lagi. Kenapa nggak datang bareng dengan mbak Magda?”
“ Tadi aku sudah katakan, jangan dulu pikirkan kami. Ntar juga dia datang. Aku sudah titip pesan. Rin, boleh di tinggal sebentar? Barang-barangku masih di dalam becak. Aku sudah dapat kamar.”

“ Mas mau pindahan kemana? Mbak Magda sudah tahu.?”
“ Belum. Nanti dia juga tahu.”
“ Mas, jangan pindah dulu. Kebetulan mas dan Magda lagi nggak enakan,” ingatnya.
“ Koperku masih di tinggal. Rin, apa cerita Magda tentang Maya?"
" Kenapa nggak tanya langsung ke mbak Magda. Ntar mas marah lagi ke aku.
" Nggak. Aku janji demi Thian," gurauku. " Menurut mbak Magda , ketika mau jemput mas, dia melihat Maya dan mas keluar bersamaan dari kamar mandi. Magda kaget dan langsung lari ke mobil. Mbak Magda sangat terpukul lho mas. Apalagi kalian sudah merencanakan pernikahan pada awal bulan, tahun depan.

"Pak Ginting lihat waktu Magda datang?"
" Menurut Magda sih, nggak. Isterinya yang melihat."
" Apa lagi cerita Magda?"
" Mbak Magda juga melihat kalian pergi bareng dengan mobil angkutan. Itu saja dia ceritakan ke aku," tutur Rina.
" Terimakasih Rin. Semua penuturan Magda benar. Tetapi nantilah aku jelaskan kenapa itu bisa terjadi," ujarku seraya minta ijin pulang.

Pak guru merangkap penarik beca itu masih menungguiku. Dia duduk depan kios penjual rokok. Tampaknya dia menahan haus, kelihatan dari bibirnya, kering. Selain rasa iba, aku menaruh hormat dan salut atas perjuangannya. Dia juga berperilaku santun. Aku sodorkan langsung sebotol minuman ringan, setelah sebelumnya dia menolak tawaranku. Tanpa aku minta, dia membantu mengangkat barang-barangku ke dalam kamar. “ Bulan depan mau menikah, kenapa pindah?” tanyanya. Karena aku sudah merasa dekat, akhirnya kuceritakan sesungguhnya, siapa Rina dan Magda yang dia dengar panggil aku“papa”.

“ Oh..begitunya? Ah..bapak ini nggak ktahuan bercanda bah. Jadi malu aku. Tadi aku sempat ngomel-ngomel pada dunia,” tawanya lepas.
“ Jadi, aku masih perjaka tingting bang. Jangan panggil aku bapak. panggil saja namaku Tan Zung atau adik.”
“ Iya lah. Jangan lupa undang aku nanti pada resepsi pernikahannya,” ujarnya seraya permisi pulang setelah melihat mobil Magda parkir di pinggir jalan, depan kamarku. Sebelum dia meninggalkan kamar, aku menyelipkan sejumlah uang ke kantongya setara pendapatannnya seharian menarik becak pada akhir pekan. Tak lagi merasa sungkan, dia menyodorkan tangan, memberi salam Magda saat berpapasan di didepan kamarku. ( Bersambung)
Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (181)

Sometimes I think of me and you/And every now and then I think/We’ll never make it true/We go through some crazy times/And everytime I wonder if I’ll be losing you/ But I never do

Oh my friend you give me a reason/To keep me here believin’/That we’ll always be/together this way/ And you know my friend you give me a reason/To make me stay
And even through the longest night the feeling survives/Seems that I can just look at you/And I find the reason in your eyes

Tu sais il me faudra encore du temps/Pour être sûre d’aimer quelqu’un et de l’aimer vraiment/On a toute la vie devant nous/Mais garde bien tes sentiments/Et puis surtout/ Ecris-moi souvent

Un roman d’amitié/Qui s’élance comme un oiseau/Pas une histoire d’amour vacances /Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux / Magique adolescence/Où tout est un jeu/Quand tu prends ma main tout va bien/ Fais comme tu veux mais ne dis rien

Une amitié qui s’élance/Comme un oiseau/Pas une histoire d’ amour vacances/Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux/Magique adolescence/Où tout est un jeu

Une amitié qui s’élance/Comme un oiseau/Pas une histoire d’ amour vacances/Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux/Magique adolescence/ Où tout est un jeu

And you know when you look at me/You’ll find the reason in my eyes
Quand tu prends ma main/Quand tu prends ma main/ Fais comme tu veux mais ne dis rien
========================
" Pembayaran awal minimal 50 %," jelas perawat. Oalah...bukan cuma namaku jadi taruhan, kini dompet pun harus berkorban. Bagaimana pula nanti kalau Magda tahu, namaku tercantum di klinik sebagai suami Rina? Kok, masalah bertumpuk begini? keluhku dalam hati.
========================
Membaca jumlah nominal yang cukup lumayan, hatiku agak ciut. “ Bagaimana? bapak boleh sanggupi,?” tanya perawat ketika melihatku belum beranjak ke bagian administrasi.
“ Oh..ya,,,pasti. Tetapi aku harus pulang ke rumah dulu mengambil uangnya. Uang dalam kantongku tidak cukup,” jawabku sedikit gugup. Segera aku beranjak meninggalkan klinik. Pengemudi beca yang aku tumpangi mengantar Rina menegurku dan menagih ongkos yang kelupaan membayarnya.
“ Oh...ya. Nanti sekalian aku bayarkan. Kita balik kerumah lagi, tolong cepatan bang,” perintahku.

“ Isterinya sudah melahirkan,?” tanyanya. Weleh, orang kedua menyebutku suami Rina.
“ Belum. Aku kelupaan bawa uang. Mereka minta panjar setengah dari seluruh biaya persalinan. Nggak tahu apakah mereka mau tangani sebelum kubayarkan.!” kataku galau.
“ Kalau bayinya mau keluar, mau tak mau mereka harus tangani. Masak disuruh tunggu ? Ini anak pertama? Kelihatannya bapak masih gugup,”? candanya.
“ Ya bang. Abang punya anak berapa,?” tanyaku mengungurangi stress.
“ Punya lima. Insya Allah, bulan depan kami kedatangan tamu baru, anak yang ke enam.”

“ Bapak nggak kewalahan? Maksudku, soal biaya hidup?”
“ Pas-pasan lah pak. Maka aku curi-curi waktu, narik sehabis ngajar. Kebetulan aku dan isteriku guru.”
“ Bah! Meski abang dan isteri jadi guru, gaji masih belum mencukupi,? tanyaku heran.
“ Tahu sendirilah pak. Berapalah gaji guru. Kadang pendapatan narik lebih banyak dari gajiku, walau ditambah dengan harga jatah beras yang bau apek dan banyak pasirnya itu,” tuturnya. Dia juga menyebutkan jumlah pendapatan jika narik seharian di akhir pekan. " Kalau penumpang lagi ramai, lumayan untuk beli beras selama seminggu.”
***
Segera aku kembali ke klinik membawa uang sesuai dengan jumlah yang di tentukan perawat sebelumnya. Aku meminta pengemudi becak menunggu. ” Tungguin bang. Aku masih ada urusan lagi,” pintaku. Tidak berapa lama setelah membayarkan biaya persalinan Rina, aku mendengar tangisan seorang bayi dari ruangan rawat Rina. Aku menyambut dengan rasa sukacita, bagai seorang ayah. Sebelumnya, ditempat ini, aku menyaksikan sukacita seorang suami kala mendengar tangisan bayi dari ruangan isteri yang sedang bergelut melawan maut.
Sukacita kemudian redup, hati terenyuh. Bayi tak berdosa ini harus lahir tanpa didampingi ayahnya. Kasihan Rina dan bayi Thian, bisikku dalam hati.

Aku segera sambut perawat di depan pintu kamar bersalin, saat memberitahukan bahwa, Rina telah melahirkan.
“ Isteri bapak telah melahirkan dengan selamat. Bapak mau masuk?” tanyanya.
“ Ya..ya. Bayinya apa bu, laki atau perempuan.?”
“ Si Ucok ( laki, pen) Wajahnya tampan kayak bapaknya,” pujinya seraya melihatku. Ah..sok tahu kamu, kataku dalam hati. Tak sabaran, aku mendahului langkah perawat menemui Rina. Di sisinya, bayi Thian tergolek dibungkus kain lampin berwarna putih. Wajahnya memerah, matanya masih tertutup. Aku mengucapkan selamat ke Rina seraya mencium keningnya.
“ Rin, Thian gagah. Tadi, kata perawat, dia mirip aku. Iya Rin?” tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku. Hanya menatapku kemudian berujar:” Mas, terimakasih. Rina terus merepotkanmu.” Rina menitikkan airmatanya. Entahlah air mata bahagia atau dia sedang memikirkan “nasib” Thian yang lahir tanpa ayah itu.

“ Boleh aku cium Thian?” tanyaku mengalihkan pikirannya.
“ Belum mas. Nantilah beberapa jam lagi,” jawabnya.
“ Nanti kalau Thian sudah bisa ngomong, kamu suruh dia panggil aku “ayah” atau “om”. Soalnya di formulir, namaku tercantum sebagai suami,” tawaku, kuatir menyinggung perasaannya. Rina tak menjawab, hanya tersenyum, tampak dipaksakan.
“ Mas, tolong belikan aku gado-gado dan rempeyek. Ntar aku bayar, aku nggak bawa dompet,” ujarnya.
“ Lho, kok begitu ngomong ke suami,?” candaku. “ Thian mau dibelikan apa?” tanyaku lagak serius.

Masss..jangan bercanda dulu. Badanku masih sakit,” tawanya renyah sambil meremas telapak tanganku. Sebelum aku meninggalkan klinik, Rina berpesan: “ Nanti kalau ketemu Magda, segera suruh ke sini. Jangan nakal lagi mas. Kalau belum ketemu, minta tolong bawakan sweaterku.”
“ Magda tahu, bahwa Rina mencantumkan namaku sebagai suamimu?”
“ Justru mbak Magda yang usulin,” jawabnya serius. Aman, pikiranku pun lega. Berkurang satu beban.
***
Masih dengan becak yang sama, aku melaju kerumah menjemput sweater Rina dan menghubungi ibu pemilik rumah kos yang aku diami kurang lebih lima tahun. Tiba di rumah, aku masih meminta penarik becak menunggu. “ Tunggu lagi bang. Sebelum balik ke klinik, kita mampir dulu di sana,” ujarku seraya menyebut alamat rumah kosku.

Sebahagian barang-barang aku boyong, setelah pasti aku dapat kamar. Koper ditinggal, takut Magda atau maminya marah, sebab aku belum memberitahukan rencana perpindahanku. Aku hanya membawa beberapa pasang pakaian. Sebelum keluar dari rumah, aku meninggalkan secarik kertas diatas meja makan, berisi dua pesan; “ Magda, Rina telah melahirkan. Aku, telah membawa sebahagian barang-barangku.”

Baru saja aku meletakkan kertas itu, kedengaran suara mobil Magda di dalam gerasi. Segera dia kusongsong di depan pintu. Magda menatapku dengan wajah marah. Tanpa sepatah kata, Magda mendorongku saat aku beridiri menyambut dan menyapanya. Aku nyaris terjengkang. Menghindari keributan, kebetulan nggak ada pula orang di rumah sebagai penengah, segera aku meloncat dari pintu ke pekarangan.

“ Berangkat bang!” perintahku. Saat becak berputar dari pekarangan rumah menuju jalan raya, Magda berlari sambil memegang kertas berisi pesanku, dia memanggil: “ Papa! Rina di mana? Papaaa... mau kemana.?” teriaknya.
“ Jalan terus bang,” seruku, ketika penarik becak hendak berhenti. Aku menoleh kebelakang, Magda cepat berbalik ke rumah dengan wajah tertunduk sambil mengusap kelopak matanya.
“ Siapa dia pak? Isterinya juga? tanya pengemudi becak heran mendengar panggilan Magda ”papa” terhadapku.
“ Bukan. Dia calon isteriku. Insya Allah, awal tahun depan kami akan menikah,” jawabku enteng.
“ Bah! Yang pertama baru beberapa jam melahirkan. Beberapa bulan lagi masih mau nikah. Satu rumah pula !?” Hebat...hebat..dunia semakin maju..” gumannya seraya geleng-geleng kepala. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/