Wednesday, June 10, 2009

Telaga Senja (52)

Listen to youre heart
I know theres something in the wake of your smile./I get a notion from the look in your eyes, yea./Youve built a love but that love falls apart./Your little piece of heaven turns too dark.

Listen to your heart/When hes calling for you./Listen to your heart/Theres nothing else you can do./I dont know where youre going/And I dont know why,/But listen to your heart/Before you tell him goodbye.

Sometimes you wonder if this fight is worthwhile./The precious moments are all lost in the tide, yea./Theyre swept away and nothing is what is seems,/The feeling of belonging to your dreams.

And there are voices/That want to be heard./So much to mention/But you cant find the words./The scent of magic,/The beauty thats been/When love was wilder than the wind.
=============================
“ Laura mau tanggung resikonya.!?”
“ Kira-kira resikonya apa?”
“ Aku bawa kabur dia, berikut anak-anaknya.”
“ Nggaklah. Nggak usalah, seram,” balasnya ketawa
==============================
TUTURAN kisahku sudah tuntas, namun oom dan tante belum kunjung pulang. Sentuhan lagu-lagu romantis pilihan Laura memicu rasa rinduku kepada Magdalena; Apalagi setelah bertutur tentang cintaku masa lalu. Seandainya sedang berada dirumahku atau ditempat kos Laura, aku akan segera telpon Magdalena bersenandung tentang cintaku yang masih dalam mahligai mimpi seperti dia katakan beberapa bulan lalu. “

" Laura, boleh aku pulang?” tanyaku, manakala resah rindu semakin bergelora pada Magda.
“ Tunggu sebentar lagi mas, kita makan dulu. Nanti aku minta sopir mengantar mas pulang.” ujarnya beriring senyum.

Yahhlahh, senyuman Laura beda tipis dengan Magda, sedikit mengobati rinduku padanya. Tatapan Laura bagai pinang dibelah dua dengan Magadalena saat serius mendengar tuturan kataku yang kadangkala bergejolak bak riak bening di tepian telaga senja, dramatis sedikit romantis. Mungkin itupula sebabnya kenapa Neneng hampir “terjerembab” dengan kebiasaan bawaanku lahir, maksudku bukan dibuat-buat. Tetapi syukurlah, Neneng cintanya masih sempurna dengan suaminya, hhmmm.
Arlojiku telah menunjukkan pukul enam lewat tigapuluh, namun om Felix tak kunjung muncul. Laura berkemas menyiapkan makan malam. Dia bersikukuh mau menyiapkan makanan untuk kami berdua meski aku menolak.

“ Mas, ntar tante Martha sakit hati lho. Minggu lalu juga mas nggak mau diajak makan.”
“Makan dirumah yang baru dikenal, bukan budaya kami,” dalihku menciptakan dalil baru.
“ Apa ukuran lama mas? ”
“ Aku mengenal tante dan om nya baru seminggu lalu.”
“ Aku yang mengajak dan menyiapkan makananya kok,” ucapnya, sentakan suaranya mirip Magda.
“ Tapi ini bukan rumahmu Laura,” balasku dengan suara pelan mengimbangi ayunan suaranya.

Sejenak dia berdiri disisi meja makan menatapku tanpa cahaya, sementara tangannya yang sedang memegang piring terkulai lemas diatas meja. Segera aku beranjak dari kursiku, menyongsongnya, berkata:” Laura, kamu masih sakit, tubuhmu masih lemah, tidak usah repot-repot. Tante menyuruhku kesini untuk menemanimu, bukan melayaniku. Aku nanti bisa mampir direstauran tempat kita beli makanan minggu lalu." Laura tak melepaskan piring ketika aku menggambil dari pegangannya. Wajahnya tampak sedih bagai bunga layu. Aku mencoba lagi mengulur waktu dengan menagih “utangnya.”

“ Bayar dulu utangnya, sebelum om dan tante kembali,” bujukku. Laura bergeming bahkan dia duduk dikursi meja makan.
“ Aku utang apa mas?” tanyanya dengan suara hampir tanpa irama, datar, tatapannya hampa.
“ Laura, kamu belum cerita mengenai cinta pertamamu, siapa nama lelaki itu, mengapa berakhir. Aku yakin kamu pernah jatuh cinta sebelum lelaki yang ada di albummu itu, atau diakah orangnya cinta pertamamu. Atau waktunya sekarang tidak cukup untuk kamu ceritakan? Atau kamu akan ceritakan nanti di kereta saat kita ke Yogya?” tanyaku. Sontak, sepertinya darah mengalir kembali kewajahnya. Ada perubahan, agak segar setelah mendengar rencana perjalanan ke Yogya.

“ Ya mas, aku akan ceritakan sambil makan.”
“ Nggak seru mendengar cerita sembari makan. Laura, sudah waktunya kamu makan sebelum makan obat. Tadi tante ingatin aku supaya mengingatkanmu makan obat malam. Ayo makanlah sembari cerita, aku duduk disini menemanimu.”
Kembali Laura mogok, diam masih mentapku dingin kemudian meninggalkanku sendirian dimeja makan. Halah...lagi typicalnya Magda, bila aku melawan arah langsung mogok. Bedanya, Magda kesal sambil ngoceh, Laura diam.

Dalam hatiku, mending Magdalena perempuan batak itu, walau dia selalu berkicau jika kesal, meski tidak semerdu kiicauan burung menyambut pagi. Dari pada seperti Laura gagu kaku tak pun se lirik nada. Setelah menunggu beberapa saat Laura tak kembali dari kamar, aku menemuinya persis didepan kamar tetapi mataku waswas jangan sampai tertangkap basah oleh tante atau omnya aku berdiri didepan kamar. Perlahan kupingku kutempelkan rapat kedaun pintu, mungkin dia akan mengurai kesalnya lewat tangisan, pikirku. Hening, tak lama kemudian aku mendengar senandung beirama sedih dari tape recording tetapi aku tak mengerti artinya mungkin lagu Jawa; iramanya mendayu-dayu mirip lagu batak yang selalu meratap itu.

” Laura, aku minta ijin pulang,” pintaku dari luar kamarnya. Tak ada sahutan dari dalam kamar. Aku mengulang lagi dengan suara agak kuat sembari mengetuk kamarnya, juga tak ada suara, kecuali suara mbok terdengar dari dapur. “ Mas, mungkin mbak Laura sedang tidur.”
“ Aku melangkah surut menemuinya ke dapur. “ Mbok, jika Laura bangun, tolong sampaikan bahwa aku telah pulang,” ujarku seraya melangkah keluar dari ruang tamu. ( Bersambung)
Los Angeles. June 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/