Monday, November 2, 2009

Telaga Senja (153)

====================
“ Justru disinilah aku memerlukan kehadiranmu. Agar mereka tahu, bahwa aku adalah manusia pengembara yang sudah bertobat.”
“ Apa perlunya aku disana? Lam Hot juga nggak mau pergi kok!”
“ Lam Hot adikku. Magda calon isteriku. Kamu malu mendampingi karena tubuhku masih “berantakan”?
====================
“ Zung, masih belum memahami diriku meski hati dan jiwaku telah menyatu dalam bentang waktu cukup lama. Abang juga belum dapat memaknai kehadiranku hingga malam ini? Sejak kapan aku merasa malu bersama denganmu? Sesaat aku hadir, minggu lalu, abang merintih karena akan megalami kebutaan. Masih ingat aku berkata apa? “
“ Ya. Aku ingat. Tetapi aku selalu dihantui rasa takut.”

Diatas pembaringan, dia meraih taganku menggegam erat kemudian menempelkan wajahnya di telapak tanganku, berujar; “ Zung, masihkah merasakan hangatnya air mataku tercurah pada wajahmu kala abang tak dapat melihat wajahku? Kenapa abang masih mempertanyakan kesetiaanku oleh karena rupa?” Aku merasakan cairan hangat di tepalak tanganku ketika dia mengurai keluhannya.

“ Zung, aku telah kuatirkan itu sejak lama. Sejak kepergian abang enam bulan lalu, aku bagaikan daun, luruh dari ranting, terhembus angin ke tepian telaga senja. Kala senja, kicauan burung bagai simponi berirama sumbang beriring semilir angin dalam keheningan. Sehariannya, aku diombang ambingkan oleh gelombang keraguan. Di keheningan aku berdoa, mengharap pemilik waktu mempertemukanku denganmu sebagai padanan hidupku. Dalam kepasrahan beralas keyakinan, sang pemilik waktu melihat takaran cintaku meski masih terbungkus torehan siksa namun menyimpan rindu.

Zung, walau masih menerima “pencobaan” yang tak berkesudahan oleh pengkhianatan dirimu sebagai balas kesetiaanku, aku masih terus mengharap semaian yang abang taburkan akan di tuai pada waktunya. Apa yang aku kuatirkan dan ku harap dalam doa datang bersamaan, kala cobaan itu menyapamu. Dan, harapanku seakan terjawab, ketika abang mengutarakan penyesalan sekaligus ajakan mewujudkan impian jiwa, pernikahan. Aku menyambutnya tanpa ragu. Tetapi, manakala aku menapak, mengikuti senandung irama yang abang telah dendangkan, langkahku mendadak kaku, sukar mengikuti irama lanjutan. Kenapa bang? “ tanyanya diakhir tuturan.

Sepanjang tuturan hatinya yang tercurah, aku merasakan getaran hati tulus terucap lewat mulutnya. “ Magda, melalui mata bening di kelopak matamu, aku masih melihat kebeningan hatimu. Aku tak meragukannya. Tetapi aku mohon, Magda dapat memahami kala aku bersenandung dalam ratap, merintih kerena jiwa tercekam.”
“ Zung, jiwamu tercekam karena belum sepenuhnya memahami ketulusanku!”
“ Tidak Magda. Aku telah memahami sejak dulu. Tetapi kini aku masih takut, Magda akan....”
Bangngng..aku nggak suka mendengarkan kata-kata itu lagi,” potongnya. Kenapa abang jadi pengecut? Zung, lihat aku...! hentaknya. “Hayo jawab aku. Kenapa abang jadi pengecut?” desaknya sambil mendongkakkan kepalanya. Aku diam, tak mampu menjawabnya. Dia mengulang pertanyaannya, tetapi suaranya berubah lembut dengan tatapan mengharap jawab.

Zungngng...dimana ketangguhanmu itu? Abang bukan yang kenal aku lima tahun lalu. Kenapa abang menjadi pengecut. Bangng...kenapa? tanyanya, lantas menutupi wajahnya dengan selimut. Tangisnya memecahkan kesunyian malam dalam kamarku. “ Zung, masih mau pulang dengan aku?” tanyanya setelah menyingkap selimut dari wajahnya, masih dalam isak.

Aku biarkan dia meratap, sementara jiwaku terguncang ketika dia menyebutku pengecut. Hatiku berteriak lewat airmata yang tak terbendung. Sesaat kemudian dia bangkit dari duduknya, tangisnya terhenti, bertanya: ” Bangng...lihat aku! Zungng.....? Nggak bang...aku nggak mau lihat abang menangis. Bangnngng... kenapa menangis!?”

“ Ya, Magda benar. Aku menangisi diriku sendiri. Aku bukan lelaki yang kamu kenal selama ini. Aku telah menjadi manusia rapuh. Magda, aku mengaku engkau perempuan tangguh,” ucapku terbata.
“ Ya, tetapi abang juga. Harus bang!” balasnya sambil menempelkan wajahnya di atas wajahku. Sisa linangan airmata kami menyatu, hangat. Magda menyemangatiku lewat kecupannya lantas berucap: ” Abang tersinggung atas ucapanku?”

“ Tidak, Magda benar. Kenapa aku harus tersinggung? Magda, aku letih. Aku mau tidur,“ mohonku dengan suara getar.
“ Tunggu, jangan tidur dulu. Aku tahu abang tersinggung. Maafkan aku Zung. Magda ingin agar calon suamiku tegar,” ujarnya memberi semangat. Sesaat kemudian bangkit dari tempat duduknya: “ Bang, di tinggal sebentar, aku mau ke dapur.”

Tidak terlalu lama aku menunggu, Magda telah kembali ke kamar membawa secangkir air hangat. Dia membatuku bangkit dari pembaringan, lalu menyorongkan cangkir berisi air hangat kemulutku setelah dia terlebih dahulu mereguknya, sebahagian. Lembut, ujung bibinya menyentuh kelopak mataku yang baru saja airmataku terusap tangannya. Magda mendekatkan mulutnya ke telingaku, berbisik: “ Pap, nggak boleh kecut. Papa harus tangguh!” Mendadak sontak, hatiku berbunga-bunga mendengar panggilan “papa”. Kedua tanganya memutar wajahku kearahnya lantas memberiku ciuman penuh gairah.

Desah serta pelukan rindu ditingkahi suara halilintar saling menyahut serta guyuran hujan di tengah malam itu. Aku dan Magda menyempurnakan rajutan kasih. Air matanya mengiringi perpaduan kasih. Semuanya mengalir ke hilir pengharapan, menyatu serta melekat dalam untaian baru melengkapi dramatika cinta, tangis dan tawa.

Sebelum kami mengakhiri rembuk kasih malam itu, Magda berucap pelan, namun tatapan matanya meyakinkanku : " Zung, malam ini, aku dan abang mengikat hati ( lagi) pada kedalaman jiwa. Jangan ada lagi duka karena dusta diantara kita. Jangan ada lagi kata pisah kecuali karena direnggut maut. Abang bersedia!?"
" Magda siap ?"
" Ya, aku bersedia. Tetapi papa belum menjawabku. "
" Jika ada kata melebihi arti "siap", aku akan kumandangkan itu hingga ke ujung dunia.
***
Malam itu, Magda merubah pikirannya, sebelumnya dia menolak ikut denganku menghadiri undangan orangtua Laura dan om Felix. Penolakannya itu pula sebagai cikal bakal"keributan" malam penuh bintang itu, namun berujung pada simpul janji setia.
“ Zung, nanti sore aku ikut papa menghadiri udangan orangtua Laura dan om Felix. Disana, mama akan bersikap santun dan akan tetap menghormati Laura sebagai sahabat papa. Iya, teman sekantor dan bekas pacar. Atau masihkah dia pacar papa?” godanya. Magda menegurku ketika aku masih diam meski sudah memberi dia kecupan atas panggilan”papa”.

“ Kok papa nggak mau jawab mama?”
“ Ya, terimakasih ‘yang.”
“ Kok begitu saja pap,?” rengeknya.
Matanya berbinar ketika aku menjawab: “ Ya mam.” ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/