Thursday, April 16, 2009

Telaga Senja (12)


================
“ Rin, boleh aku pinjam mas Tan Zung malam ini? Satu malam saja Rin.!”
“ Iya boleh, tetapi besok harus dikembalikan .!” jawab Rina cekikian.
================
SONYA terpaksa aku pangku masuk kerumahnya. Rina membukakan pintu kamarnya setelah mengambil kunci dari tas Sonya. Aku tertegun melihat ruangan Sonya. Tempat tidurnya tergolong mewah; Gambar-gambar bintang film Hollywood menempel hampir menutupi seluruh didnding ruangannya. Foto dirinya berukuran besar berpakaian minim tergantung persis diatas tempat tidurnya.

“ Heh..mas matanya! Ayo kita keluar sebelum papinya bangun.! ajak Rina ketika mataku menatap foto Sonya.
“ Mas, suka foto atau orangnya!?” usil Rina sedikit bernuansa cemburu.
“ Suka ruangannya.”
“ Bukan orangnya?”
“ Kalau “Ya” kenapa, kalau bukan kemudian apa.?”
“ Nggak , pingin tahu saja mas.”
***
RINA enggan menjawab ketika aku tanyakan, perihal tangisan bayi dari ruangan sebelah ketika menghantarkan Sonya ke kamarnya. “ Orangtua Sonya masih punya baby pada seusia itu? Atau itu cucunya.?”
“Tanya saja sendiri langsung kepada Sonya.”

“ Lho, bukankah kalian sudah lama bersahabat.?”
“ Mas, nggak usah usil.!”

“ Rina, jawabanmu membuatku semakin penasaran. Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi.”
“ Apa sih perlunya suara bayi itu buat mas .?”
“ Kenapa sih Rina begitu susah menjawabnya? Pertanyaanku amat sederhana , bayi itu anak atau cucu orangtua Sonya.!?”
“ Anak Sonya ! Sudah puas!?”
***
KESEHARIAN dirumah bersama Rina mengusik hati dalam sepi; Apalagi akhir-akhir ini Magda selalu marah-marah terhadapku. Bagiku, perangai Rina meski belum lama aku kenal mempunyai nuansa baru dalam takaran nilai.

Suatu malam, adiku bertutur kepadaku, dia ingin menikahi Rima bila dia sudah tammat sarjana muda. Kapan rencana abang menikah.?”
“ Menikah? Menikah dengan siapa.?”
“ Lho, Bukakankah selama ini abang pacaran dengan kak Magdalena.?”

“ Tak jelas. Memang enam bulan lalu aku telah putuskan. Aku mencoba mendekati lagi,tetapi sepertinya langit masih mendung. Kadangkala sinar mentari menyibak awan gelap itu, namun masih menyisakan gumpalan -gumpalan awan. Aku tak tahu hingga kapan aku bertahan, mengharap, bersatunya kembali lempengan cinta yang tercecer. “

“ Jangan salahkan aku, kalau aku menikah dengan Rima mendahului abang.”
“ Nggak. Aku nggak akan menyalahkan siapapun bila Lam Hot menikah mendahuluiku. Aku juga nggak tahu, kalau aku, kelak, tidak akan menikah untuk selamanya.”
***
Sifat Rina bagai seberkas sinar yang aku dambakan, kelak. Tidak jauh berbeda dengan Magda yang aku kukenal hampir enam tahun hingga kini. Tetapi, agaknya aku dalam persimpangan jalan; Rima adiknya adalah calon isteri adikku Lam Hot.

Pada kesempatan lain, dulu, aku pernah mendengar tuturan cerita tabu dari ayahku. Dua perempuan kakak beradik nikah dengan kakak beradik lelaki dengan orang tua yang sama. “ Dua saparihotan” tabu dalam adat batak, ujar ayahku ketika itu.

Pertimbangan lainnya; sesungguhnya aku masih mempunyai hati, melekat, dengan Magdalena. Hanya saja aku masih ragu dan bimbang, apakah dia masih mencintaiku seperti sediakala.
Dipelbagai kesempatan, dia masih menunjukkan kasih sayangnya terhadapaku. Kadang dia marah, cemburu bahkan menangis bila aku “nakal”.

Menghindari gejolak hati yang semakin bergelora , aku harus menghindar dari bara api Rina yang mulai mengendus , hampir menyentuhku.
***
Aku keluar masuk kantor memasukkan lamaran pekerjaan. Dari sejumlah perusahaan yang menerima, tiga diantaranya perusahaan kecil tak mempersoalkan identitas, sementara perusahaan BUMN dan perusahaan asing mengharuskan identitas Jakarta dan fotocopy ijazah di legalisir.

“ Kami tidak membutuhkan sarjana, terserah kalau mau menerima gaji sarjana muda, mulai besok anda mulai bekerja, “ ujar bagian personalia. Aku menerima dengan berat hati karena dihargai setingkat sarjana muda, sambil menunggu pengurusan surat-surat pindah dan legalisir ijazah. Pertimbangan lain aku menerima pekerjaan ini adalah, aku menghindari, diam dirumah keseharian dengan Rina.

Rina kesal setelah mengetahui aku akan bekerja bukan diperusahaan omnya.
“ Kenapa nggak mau kerja di perusahaan om? Om sudah menunggu sejak minggu lalu,” ujarnya.
“ Terimakasiih atas perhatianmu. Rina, aku mau bersahabat denganmu dan keluarga lebih lama. Aku tidak manusia sempurna, satu saat kelak ada perselisihan dengan om kamu, hubungan persahabantan kita akan terganggu. “
“ Halah itu hanya alasan mas saja.” ujarnya. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:

Telaga Senja (11)



Feelings - Morris Albert
Feelings, nothing more than feelings, /trying to forget my feelings of love. /Teardrops rolling down on my face, /trying to forget my feelings of love.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feel you again in my arms.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my heart.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my life.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feelings again in my arms. /Feelings...(repeat & fade)
======
MESKI aku baru seminggu tinggal di rumah kost adikku, persahabatanku dengan Rina serasa telah berkenalan lama, apalagi setelah aku dan dia curhat di coffe shop kemarin malam. Rina tak sungkan lagi berbicara bahkan mengenyek bila bahasa Medanku keluar.

Seharian hanya aku dan Rina tinggal dirumah. Rima adiknya kuliah, adikku Lamhot dan papinya Rina kerja, sementara maminya menjaga toko di pasar Senen. Aku mulia merasakan ada getaran lain setiap Rina berbicara kepadaku. Sorot matanya sering membuatku kikuk. Aku tidak tahu persis apakah itu hanya perasaanku semata, atau memang karena ketulusannya membuat keseimbanganku hampir limbung.

Kelembutan suaranya setiap pagi memanggil namaku dari balik pintu kamar, melebihi kelembutan suara Magdalena.. Kadang aku sengaja tidak keluar dari kamar meski aku sudah bangun, hanya ingin mendengar suaranya memanggilku seperti biasanya: “ Mas ...mas Tan Zung , bangun , kesiangan rezeki di pagut burung, bangun mas...!”

Setiap pagi, Rina tak pernah mendahuluiku serapan pagi, dia selalu menungguku bangun dari peraduan. Belakangan, Rina juga sudah menungguiku makan siang bersama ketika aku keluar dari rumah. Akupun demikian, jenis makanan apapun di warung tak mampu mengundang selera. Segera aku pulang kerumah, mengharap, Rina masih menungguiku untuk makan siang.

“ Bang, kita makan iya, aku sdudah lapar. Atau mas mau mandi dulu,?” tanyanya dengan aksen Medan.
“ Aku masih kenyang, makanlah kamu duluan,” jawabku.
" Makan dimana mas? Wong baru bangun ."
" Iya Rin. Aku nggak selera makan. Duluanlah aku temanin."
" Aku nggak mau jadi tontonan gratis," guyonnya.
“ Mas tersinggung iya, aku hanya bercanda, payah kalipun anak Medan ini,”ujarnya masih dengan aksen Medan.
***
Rina menarik tanganku ketika mau keluar rumah. “ Mas mau kemana lagi, tunggu adik Lamhot pulang.”
“ Aku hanya kedepan mau beli obat, kepala ku pening,” dalihku.
“ Kemarin mas keluar pagi, bilang sebentar, tetapi pulangnya malam.”
“ Rina aku bosan dirumah. Aku mau mutar-mutar sekalian ingin tahu rute bis. Rina mau temaniku?”
“ Nggak ah, pengap, pusing mencium bau rokok. Nanti bila papi pulang, aku ajak mas jalan.”

“ Rina, mau nggak kamu aku ajak ke bar nanti malam.?”
“ Nggak ah, pergi dengan Sonya saja, dia kerja disana,” jawabnya.
“ Nanti teler lagi. Aku hanya ingin menikmati hiburannya saja.
“ Janji mas, nggak mabuk dan nggak main judi? Sampai pukul berapa kita disana? Biar papi dan mami tahu.”
“ Tenga malam.”
***
Di bar, sesekali Sonya ikut duduk bersamaku dan Rina, akrab dan menyenangkan meski hatiku sedikit terganggu karena keduanya sering meniru aksen Medan yang masih sukar kutinggalkan.

“ Kali pertama aku melihat orang Medan teler berat, sampai nggak mengenal waktu gangguin pacar, melalui telephon lagi, ” ujarnya disambut gelak Rina.
Rina menolak ketika aku mengajak berdansa. ” Nggak biasa mas,” ujarnya.
Sonya menarik tanganku dan Rina, “ Ayo kita bertiga,” ajaknya.

Rina kembali ketempat duduk meninggalkan aku dan Sonya berdansa berdua.
“ Aku capek mas,” ujar Rina.
Sonya terus mendekapku erat mengikuti irama lembut, meski aku telah ingatkan, bahwa dia sedang bekerja.
“ Malam ini aku off,” bisiknya ke telingaku. “Itu sebabnya aku minum,” lanjutnya.
“ Aku segera melepaskan pelukannya, ketika melihat seorang berusia setengah baya, perut buncit, duduk dekat Rina.”

“ Rina, bukan anak ingusan, dia tahu apa yang akan dilakukanya,” cegah Sonya.
“ Sonya, kasihan Rina. Dia seperti ketakutan.”
“ Mas...eh..bang! Satu lagu lagi .”
“ Sonya, kamu kebanyakan minum.”
“ Banyakan mana dengan abang, hahh? Peluk aku...bang,” ujarnya seraya meletakkan kepalanya diatas bahuku.

Mataku terus menatap ke meja Rina, meski wajah Sonya masih menempel diatas bahu. Pria paruh baya itu terus mengajak Rina berdansa. Aku segera meninggalkan Sonya ketika pria buncit itu menarik paksa tangan Rina. Hampir saja bogem mentah mendarat diulu hatinya, kalau bukan Sonya menepis tanganku yang sedang terayun.

“ Maaf mas.!’ujarnya, dia beringsut menjauh dari Rina.
“ Kita pulang mas, aku takut, ” ajak Rina.
Sonya membujuk Rina agar bersabar sebentar. “ Nggak usah takut Rin, disini aman, bila perlu aku panggilkan security. Kita pulang bareng saja.” ujarnya seraya menuangkan minuman kegelasku.
“ Mas, cukup.! Tadi janji nggak mau minum banyak,” cegah Rina.
Rina mengajakku pulang ketika melihat Sonya terus menambah minumanku, sementara Sonya sudah mulai kehilangan kontrol; Sonya mulai mengoceh dan menyebut-nyebut namaku, dia merebahkan kepalanya diatas dadaku.

“ Bang, bawalah aku pergi...terbang jauh melintasi awan,” suaranya lirih.
“ Sonya, kita pulang yuk,”ajakku lantas menuntunnya keluar dari ninght club.
“ Bang, kita mau kemana?”
“ Pulang!” jawab Rina.
“ Rin, boleh aku pinjam mas Tan Zung malam ini? Satu malam saja Rin.!”
“ Iya boleh, tetapi besok harus dikembalikan!” jawab Rina cekikian. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/