Thursday, April 16, 2009

Telaga Senja (11)



Feelings - Morris Albert
Feelings, nothing more than feelings, /trying to forget my feelings of love. /Teardrops rolling down on my face, /trying to forget my feelings of love.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feel you again in my arms.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my heart.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my life.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feelings again in my arms. /Feelings...(repeat & fade)
======
MESKI aku baru seminggu tinggal di rumah kost adikku, persahabatanku dengan Rina serasa telah berkenalan lama, apalagi setelah aku dan dia curhat di coffe shop kemarin malam. Rina tak sungkan lagi berbicara bahkan mengenyek bila bahasa Medanku keluar.

Seharian hanya aku dan Rina tinggal dirumah. Rima adiknya kuliah, adikku Lamhot dan papinya Rina kerja, sementara maminya menjaga toko di pasar Senen. Aku mulia merasakan ada getaran lain setiap Rina berbicara kepadaku. Sorot matanya sering membuatku kikuk. Aku tidak tahu persis apakah itu hanya perasaanku semata, atau memang karena ketulusannya membuat keseimbanganku hampir limbung.

Kelembutan suaranya setiap pagi memanggil namaku dari balik pintu kamar, melebihi kelembutan suara Magdalena.. Kadang aku sengaja tidak keluar dari kamar meski aku sudah bangun, hanya ingin mendengar suaranya memanggilku seperti biasanya: “ Mas ...mas Tan Zung , bangun , kesiangan rezeki di pagut burung, bangun mas...!”

Setiap pagi, Rina tak pernah mendahuluiku serapan pagi, dia selalu menungguku bangun dari peraduan. Belakangan, Rina juga sudah menungguiku makan siang bersama ketika aku keluar dari rumah. Akupun demikian, jenis makanan apapun di warung tak mampu mengundang selera. Segera aku pulang kerumah, mengharap, Rina masih menungguiku untuk makan siang.

“ Bang, kita makan iya, aku sdudah lapar. Atau mas mau mandi dulu,?” tanyanya dengan aksen Medan.
“ Aku masih kenyang, makanlah kamu duluan,” jawabku.
" Makan dimana mas? Wong baru bangun ."
" Iya Rin. Aku nggak selera makan. Duluanlah aku temanin."
" Aku nggak mau jadi tontonan gratis," guyonnya.
“ Mas tersinggung iya, aku hanya bercanda, payah kalipun anak Medan ini,”ujarnya masih dengan aksen Medan.
***
Rina menarik tanganku ketika mau keluar rumah. “ Mas mau kemana lagi, tunggu adik Lamhot pulang.”
“ Aku hanya kedepan mau beli obat, kepala ku pening,” dalihku.
“ Kemarin mas keluar pagi, bilang sebentar, tetapi pulangnya malam.”
“ Rina aku bosan dirumah. Aku mau mutar-mutar sekalian ingin tahu rute bis. Rina mau temaniku?”
“ Nggak ah, pengap, pusing mencium bau rokok. Nanti bila papi pulang, aku ajak mas jalan.”

“ Rina, mau nggak kamu aku ajak ke bar nanti malam.?”
“ Nggak ah, pergi dengan Sonya saja, dia kerja disana,” jawabnya.
“ Nanti teler lagi. Aku hanya ingin menikmati hiburannya saja.
“ Janji mas, nggak mabuk dan nggak main judi? Sampai pukul berapa kita disana? Biar papi dan mami tahu.”
“ Tenga malam.”
***
Di bar, sesekali Sonya ikut duduk bersamaku dan Rina, akrab dan menyenangkan meski hatiku sedikit terganggu karena keduanya sering meniru aksen Medan yang masih sukar kutinggalkan.

“ Kali pertama aku melihat orang Medan teler berat, sampai nggak mengenal waktu gangguin pacar, melalui telephon lagi, ” ujarnya disambut gelak Rina.
Rina menolak ketika aku mengajak berdansa. ” Nggak biasa mas,” ujarnya.
Sonya menarik tanganku dan Rina, “ Ayo kita bertiga,” ajaknya.

Rina kembali ketempat duduk meninggalkan aku dan Sonya berdansa berdua.
“ Aku capek mas,” ujar Rina.
Sonya terus mendekapku erat mengikuti irama lembut, meski aku telah ingatkan, bahwa dia sedang bekerja.
“ Malam ini aku off,” bisiknya ke telingaku. “Itu sebabnya aku minum,” lanjutnya.
“ Aku segera melepaskan pelukannya, ketika melihat seorang berusia setengah baya, perut buncit, duduk dekat Rina.”

“ Rina, bukan anak ingusan, dia tahu apa yang akan dilakukanya,” cegah Sonya.
“ Sonya, kasihan Rina. Dia seperti ketakutan.”
“ Mas...eh..bang! Satu lagu lagi .”
“ Sonya, kamu kebanyakan minum.”
“ Banyakan mana dengan abang, hahh? Peluk aku...bang,” ujarnya seraya meletakkan kepalanya diatas bahuku.

Mataku terus menatap ke meja Rina, meski wajah Sonya masih menempel diatas bahu. Pria paruh baya itu terus mengajak Rina berdansa. Aku segera meninggalkan Sonya ketika pria buncit itu menarik paksa tangan Rina. Hampir saja bogem mentah mendarat diulu hatinya, kalau bukan Sonya menepis tanganku yang sedang terayun.

“ Maaf mas.!’ujarnya, dia beringsut menjauh dari Rina.
“ Kita pulang mas, aku takut, ” ajak Rina.
Sonya membujuk Rina agar bersabar sebentar. “ Nggak usah takut Rin, disini aman, bila perlu aku panggilkan security. Kita pulang bareng saja.” ujarnya seraya menuangkan minuman kegelasku.
“ Mas, cukup.! Tadi janji nggak mau minum banyak,” cegah Rina.
Rina mengajakku pulang ketika melihat Sonya terus menambah minumanku, sementara Sonya sudah mulai kehilangan kontrol; Sonya mulai mengoceh dan menyebut-nyebut namaku, dia merebahkan kepalanya diatas dadaku.

“ Bang, bawalah aku pergi...terbang jauh melintasi awan,” suaranya lirih.
“ Sonya, kita pulang yuk,”ajakku lantas menuntunnya keluar dari ninght club.
“ Bang, kita mau kemana?”
“ Pulang!” jawab Rina.
“ Rin, boleh aku pinjam mas Tan Zung malam ini? Satu malam saja Rin.!”
“ Iya boleh, tetapi besok harus dikembalikan!” jawab Rina cekikian. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment