Monday, December 21, 2009

Telaga Senja (189)


http://www.youtube.com/watch?v=i8B1ai25lUo

Sarah Mclachlan: "Answer"
I will be the answer/At the end of the line/I will be there for you Why take the time/In the burning of uncertainty/I will be your solid ground I will hold the balance/If you can't look down

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it Worth it in the end/Because I can only tell you that I know That I need you in my life/When the stars have all gone out You'll still be burning so bright

Cast me gently/Into morning/For the night has been unkind/Take me to a Place so holy/That I can wash this from my mind/And break choosing not to fight

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it Worth it in the end/Because I can only tell you that I know That I need you in my life/When the stars have all gone out/You'll still be burning so bright / Cast me gently/Into morning/For the night has been unkind

=============================
Memang mama gila tidur bareng dengan papa, dirumah mami lagi. Bisa-bisa mami jatuh pingsan mengetahui putri satu-satunya itu berani tidur bareng di depan matanya.?”
“ Kok mami nggak takut meyuruh mama ke kamarku.?”
“ Mami tahu putrinya mampu menguasai diri,” jawabnya, sembari Magda turun dari atas tempat tidur. Dia kembali duduk diatas ubin.
============================

“ Magda datang kesini mau gangguin tidur atau kangen? Orang demam itu diberi obat, bukan hanya ditungguin.”
“ Mama malas cari obatnya. ”
“ Tadi papa bilangin, mama pergi tidur. Tetapi Magda sok prihatin.”
Ya...ya..papa cerewet. Sebentar mama cari obatnya,” tawanya.
Tidak lama setelah Magda keluar dari kamarku, aku mendengar mami menanyakan Magda:

” Sudah dikasih obat abangmu?” tanyanya. Maminya ngedumel mendengar jawaban Magda, belum.
“ Ngapain kamu dari tadi inang.?”
“ Magda sudah cari di kotak obat tetapi nggak tahu yang mana,?“ jawab Magda. Aku tertawa, geli mendengar jawaban Magda. Segera aku menutupi wajahku dengan selimut ketika Magda masuk kamarku. Magda menyingkap selimutku ketika mendengar tawaku.

“ Kok ketawa? Ada yang lucu?” tanyanya.
“ Ada! Magda membohongi calon mertuaku. Kapan mama cari obatnya,?” tanyaku. Magda tersipu malu langsung mendekapku di atas tempat tidur; Dia menempelken wajahnya ke wajahku, ketawa kami menyatu.
“ Mama tertangkap basah bohong iya pap. Bangun pap, makan dulu obatnya,” ujarnya seraya menyodorkan sebutir obat demam. Magda menegurku karena obat belum ku telan.
“ Aku menunggu mertua mengantarkan air minum." Magda sadar, segera ke dapur mengambil air minum. “ Nih, papa menjeng. Obat sekecil itu pun nggak bisa ditelan tanpa air.”

***
OBAT yang baru saja ditelan mengantarkan tidur, lelap. Aku terbangun setelah pengaruh obat telah habis. Rumah sepi. Magda tak membangunkanku ketika mau menjemput Rina ke klinik. Aku kembali melanjutkan tidur seraya menunggu mereka pulang dari klinik menjemput Rina dan Thian. Tengah mereguk nikmatnya tidur lanjutan, aku terjaga mendengar suara tangisan bayi di kamarku. Aku melihat bayi Thian dalam pangkuan Magda, Rina berdiri disampingnya. Segera meloncat dari tempat tidur, mencium Thian di pangkuan Magda. Diiringi tawa Rina menegurku saat mau mencium Thian: “ Heh...Zung, nafsu benar. Mau cium Thian atau mamatuanya?”

“ Bah! Mamatua? Magda mamatuanya Thian? Aku dipanggil apa?”
“ Sekarang panggil om. Nanti setelah nikah Thian panggil bapatua,” jawab Rina ketawa.
“ Thian panggil tulang ( om, pen) saja.”
“ Jadi gue panggil eda ke mbak Magda? Ogah!”
“ Rina sudah tahu pertalian kekerabatan? Siapa yang ngajarin.?”
“ Mamatua Thian lah.” ujarnya disambut tawa Magda. Rina dan Magda berteriak serempak, jangan!” ketika aku mau meraih Thian dari pangkuan Magda.
” Thian belum bisa mas gendong, masih orok. Emang boneka,” tawa Rina.

“ Mau di cium nggak boleh, digendong pun nggak dikasih. Masya aku cuma ngeliatin doang? Keluarlah kalian dari kamar ini. Aku mau tidur!”
Waduh papa... kasihan. Kesini, cium keningnya saja pap,” ujar Magda seraya mendekatkan Thian ke wajahku. Magda dan Rina meninggalkan kamar setelah mengijinkan mencium Thian. Tidak lama berselang, Magda menemuiku kekamar dengan satu empelop ukuran sedang, berisi sejumlah uang.

“ Uang untuk siapa?”tanyaku
“ Untuk papa. Uang panjar yang papa bayarkan untuk biaya pesalinan Rina.”
Aku menolak menerimanya kembali, meski jumlah agak lumayan, aku telah ikhlas menyerahkannya. Namun, akhirnya menerima setelah tahu pengembalian uang itu dari mami Magda. “ Papa marah karena uangnya dikembalikan!? Marahin saja mami, calon mertua papa,” tawanya.
***
Aku megajak Magda ke bank untuk mendepostikan uang yang aku bawa dari Jakarta termasuk uang “ sogokan” saat mengaudit perusahaan cabang tempatku bekerja serta sisa uang pemberian Susan ketika berkunjung ke Jakarta. Dalam perjalanan ke bank, aku tergelitik ketika melewati toko pehiasan. Ingat janjiku beberapa bulan lalu ingin memberinya cincin bermata blue safir atau sejenisnya seperti yang aku miliki. Uang pengembalian pembayaran persalinan Rina, aku sisihkan dari jumlah uang yang aku depositkan.

Kali kedua, setelah di Jakarta, bank menolak saat membuka rekening atas namaku sendiri. Alasannya, karena aku tidak mempunyai kartu tanda penduduk, Medan. Nama Magda terpaksa aku masukkan sebagai deposan utama. Kejadian yang sama aku alami ketika di Jakarta ketika membuka rekening, nama Ria menjadi deposan utama, karena aku tak mempunyai identitas Jakarta. Ria adalah perempuan yang aku kenal di meja judi, kemudian menjadi akrab. Nilai uang yang kami simpan jumlahnya cukup besar. Namun kini, itu hanya kenangan karena Ria raib bagai ditelan bumi.

Sekembali dari bank, aku mengajak Magda mampir di toko perhiasan, namun dia merasa enggan masuk ke toko perhiasan.
“ Papa masih utang,” ujarku. Magda berusaha menahanku masuk ke toko, meski akhirnya dia ikut ketika melihat wajahku sedikit kesal. “ Pemberian papa sebelumnya melebeihi dari cukup. Kenapa nggak pikirkan dulu biaya pernikahan nanti,?” dalihnya.
“ Ini juga bagian dari pernikahan,” balasku. Lagi, Magda menolak ketika aku memintanya memilih cincin yang dia sukai. Tetapi Magda menyerah setelah aku desak,” Papa lah yang pilih. Tetapi jangan yang mahal,” pintanya.
“ Mau yang murah ? Beli di pasar loak,” ujarku seraya mataku mencari cincin yang mirip dengan yang aku miliki.
“ Terlalu mahal itu pap,” bisiknya ketika aku menunjuk pada satu cincin.
“ Papa tanya, bukan soal harga. Mama suka nggak!?” ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/