Cintamu terbayang selalu/ hingga waktu tidurku/
Saat kau menyebut namaku/ kau memanggilku sayang
Ketika cinta semakin dalam/ Segalanya pun berubah
Kenangan indah tak terlupakan/ Menjadikan suatu pertanda
Kau buka pintu hatiku/ Dalam kesepianku kau beri
Sentuhan cinta darimu/ Hapuslah airmataku
Cintamu terbayang selalu/ Semua dalam perjalan yang panjang
Saat kau menyebut namaku/ Kau memanggilku sayang.
===============
Ironisnya, ketika Djaudut ditanyakan hubungan keluarganya dengan Ron, dia selalu mengaku sepupu jauh, pada hal aku tahu pasti orangtua mereka kakak adik, satu ibu satu ayah. Memang kebetulan pula orangtua Ron hanya pedagang kresek ( kios kecil dipinggir jalan, pen). Ah...termasuk manusia lanteung juga kawan itu, kataku dalam hati seraya terus melihat foto-foto keluarga tante Laura.
Felix permisi meninggalkanku diruang tamu sendirian. “ Zung ditinggal dulu, om mau bicara dulu dengan tante dan Laura di ruang belakang,” ujarnya.
Sepeninggalnya, mataku terus bertualang menjelajah sudut-sudut ruangan yang dipenuhi dengan barang-barang antik serta ragam kristal pajangan buatan Italy. Disalah satu sudut ruangan, dua vas bunga ukuran sedang berisi bunga angrek segar, mengapit satu guci berukuran besar lapis luarnya beraksara Jepang; Diatasnya, tergantung gambar Ibunda Maria.
Sedang khusuk menyentuh rosario dan membaca ayat suci yang tertulis diatas plakat itu kemudian mencium salib yang tertaut dengan rosario, Laura menyapaku dari belakang. “ Zung, maaf menungguku terlalu lama,” ucap Laura lantas mengajakku keruang tamu. Felix dan Martha menyusul bergabung dengan kami.
Dengan santun Felix menanyakan keberadaan orangtuaku dan jumlah bersaudara, sedikit menyinggung pekerjaan. Kemudian tante Martha menanyakan sudah berapa lama tinggal di Jakarta, tammat dari universitas mana. “ Punya saudara di Jakarta,?” tanyanya.
Sebelum melanjutkan pertanyaan lainnya, aku minta ijin pulang meski Felix dan istrinya Martha ingin mengobrol lebih lama,” Kenapa buru-buru? Besok kan nggak kerja,?” ujar Felix.
“ Mas Tan Zung ada janjian,” tukas Laura. Felix dan istrinya Martha mengijinkan kami pulang setelah Laura memberi alasan. “ Sering main kesini Zung,” ajak Martha sementara Felix memanggil sopir dan menyuruh mengantarkan kami pulang.
***
Laura mengajakku mampir direstauran setelah aku menolak makan malam dirumah om Felix. “ Kita makan dirumah saja iya mas,” ucapnya sebelum memesan makanan. Aku buru-buru membayar setelah melihat dia membuka dompetnya. “ Jangan mas, kan aku yang ngajak mampir!” suaranya memelas.
“ Boleh kau yang bayar, tetapi lain kali aku nggak mau kau ajak makan lagi,” balasku.
Laura tidak menjawab, dia hanya melihatku, bibirnya mengukir senyum. Mungkin saja senyumnya tulus, tetapi aku merasakan senyuman ngenyek. Terpaksa putar otak bagaimana cara mengobati hatinya yang “tercubit” karena ucapanku. Laura menegurku karena berhenti disisi jalan sambil melongok kiri kanan ; “ Ngapain mas berhenti disini.?”
“ Menunggu taksi,” jawabku
“ Kenapa naik taksi? Mobilnya masih parkir diseberang sana, sopirnya sedang menunggu kita mas,” balasnya ketawa geli. Akupun tak dapat menahan rasa malu meski kututupi dengan tawa. Aku benar-benar merasa bersalah karena sikap ketusanku tadi. Dalam perjalanan pulang Laura terus ketawa sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. “ Memang benar mas kelaparan hingga pangling begitu?” tanyanya masih ketawa.
“ Bukan. Aku terus merasa bersalah karena Laura belum menerima maafku,” balasku.
“ Ah..mas, kenapa jadi serius? Nggak apa-apa kok. Aku tahu kebiasaan orang Sumatera, berbicara, aku punya banyak teman dari sana ketika masih kuliah,” ujarnya menghibur.
Menutupi rasa grogi, aku membantu Laura menyiapkan makanan yang kami beli di resaturan. “ Mas waktu kuliah tiggal dengan orangtua atau kost?” tanyanya.
“ Aku kost, kenapa?”
" Aku juga sudah terbiasa melayani orang lain," balasku. Rasa grogi dan malu sedikit terusir.
" Mas, ayolah, aku lapar nih.!" bujuknya.
" Nggak ah... wong masaknya sama kok," ujarnya serius.
Los Angeles. May 2009
Tan Zung