Thursday, May 28, 2009

Telaga Senja (43)


Cintamu terbayang selalu/ hingga waktu tidurku/
Saat kau menyebut namaku/ kau memanggilku sayang
Ketika cinta semakin dalam/ Segalanya pun berubah
Kenangan indah tak terlupakan/ Menjadikan suatu pertanda
Kau buka pintu hatiku/ Dalam kesepianku kau beri
Sentuhan cinta darimu/ Hapuslah airmataku
Cintamu terbayang selalu/ Semua dalam perjalan yang panjang
Saat kau menyebut namaku/ Kau memanggilku sayang.

===============
Ironisnya, ketika Djaudut ditanyakan hubungan keluarganya dengan Ron, dia selalu mengaku sepupu jauh, pada hal aku tahu pasti orangtua mereka kakak adik, satu ibu satu ayah. Memang kebetulan pula orangtua Ron hanya pedagang kresek ( kios kecil dipinggir jalan, pen). Ah...termasuk manusia lanteung juga kawan itu, kataku dalam hati seraya terus melihat foto-foto keluarga tante Laura.
==============
TENGAH asyik melihat foto, aku mendengar suara bariton menyapaku: “ Selamat malam! Tan Zung iya ? “ tanyanya seraya menyodorkan tangannya. Aku sambut tangannya dengan sedikit kikuk. Wajah persis sama dengan foto yang tergantung , ini pasti Felix om Laura, simpulku dalam benak. Dia memanggil pembantu perempuan,” mbak tambah lagi minuman mas Tan Zung,” perintahnya seraya meletakkan kacamatanya diatas piano merk Baldwin.

Felix permisi meninggalkanku diruang tamu sendirian. “ Zung ditinggal dulu, om mau bicara dulu dengan tante dan Laura di ruang belakang,” ujarnya.
Sepeninggalnya, mataku terus bertualang menjelajah sudut-sudut ruangan yang dipenuhi dengan barang-barang antik serta ragam kristal pajangan buatan Italy. Disalah satu sudut ruangan, dua vas bunga ukuran sedang berisi bunga angrek segar, mengapit satu guci berukuran besar lapis luarnya beraksara Jepang; Diatasnya, tergantung gambar Ibunda Maria.

Hati terusik ketika melihat seuntai rosario melingkar pada plakat pualam berwarna hijau muda, Diatas plakat itu bertuliskan ayat Alkitab. Hmm, seandainya Laura memilkinya, aku tak akan sungkan memintanya. Aku beranjak dari tempat duduk dan menyentuh rosario yang sudah lama tak pernah menghiasi leherku. Rosario itu menukil kenangan, tempo dulu, ketika mengenyam pendidikan di sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun yang dikelola oleh yayasan Katolik. Ketika itu, tangan seorang imam berkewarganegaraan Belanda mengalungkan rosario itu kemudian menjabat tanganku erat.

Sedang khusuk menyentuh rosario dan membaca ayat suci yang tertulis diatas plakat itu kemudian mencium salib yang tertaut dengan rosario, Laura menyapaku dari belakang. “ Zung, maaf menungguku terlalu lama,” ucap Laura lantas mengajakku keruang tamu. Felix dan Martha menyusul bergabung dengan kami.

Dengan santun Felix menanyakan keberadaan orangtuaku dan jumlah bersaudara, sedikit menyinggung pekerjaan. Kemudian tante Martha menanyakan sudah berapa lama tinggal di Jakarta, tammat dari universitas mana. “ Punya saudara di Jakarta,?” tanyanya.

Sebelum melanjutkan pertanyaan lainnya, aku minta ijin pulang meski Felix dan istrinya Martha ingin mengobrol lebih lama,” Kenapa buru-buru? Besok kan nggak kerja,?” ujar Felix.

“ Mas Tan Zung ada janjian,” tukas Laura. Felix dan istrinya Martha mengijinkan kami pulang setelah Laura memberi alasan. “ Sering main kesini Zung,” ajak Martha sementara Felix memanggil sopir dan menyuruh mengantarkan kami pulang.
***
Laura mengajakku mampir direstauran setelah aku menolak makan malam dirumah om Felix. “ Kita makan dirumah saja iya mas,” ucapnya sebelum memesan makanan. Aku buru-buru membayar setelah melihat dia membuka dompetnya. “ Jangan mas, kan aku yang ngajak mampir!” suaranya memelas.

“ Boleh kau yang bayar, tetapi lain kali aku nggak mau kau ajak makan lagi,” balasku.

Wajahnya sedikit berubah mendengar ucapanku, juga kasir mengenyitkan keningnya. Ah....Laura bukan Magda, Susan dan Rina; ketiganya sudah terbiasa dengan suara ketus dan celutukanku ala Medan. Sadar atas ucapanku rada kasar, aku bisikkan ketelinganya, “ Laura, maaf suaraku agak kencang. Aku kelaparan,” ujarku menciptakan alasan.

Laura tidak menjawab, dia hanya melihatku, bibirnya mengukir senyum. Mungkin saja senyumnya tulus, tetapi aku merasakan senyuman ngenyek. Terpaksa putar otak bagaimana cara mengobati hatinya yang “tercubit” karena ucapanku. Laura menegurku karena berhenti disisi jalan sambil melongok kiri kanan ; “ Ngapain mas berhenti disini.?”

“ Menunggu taksi,” jawabku
“ Kenapa naik taksi? Mobilnya masih parkir diseberang sana, sopirnya sedang menunggu kita mas,” balasnya ketawa geli. Akupun tak dapat menahan rasa malu meski kututupi dengan tawa. Aku benar-benar merasa bersalah karena sikap ketusanku tadi. Dalam perjalanan pulang Laura terus ketawa sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. “ Memang benar mas kelaparan hingga pangling begitu?” tanyanya masih ketawa.

“ Bukan. Aku terus merasa bersalah karena Laura belum menerima maafku,” balasku.
“ Ah..mas, kenapa jadi serius? Nggak apa-apa kok. Aku tahu kebiasaan orang Sumatera, berbicara, aku punya banyak teman dari sana ketika masih kuliah,” ujarnya menghibur.

Menutupi rasa grogi, aku membantu Laura menyiapkan makanan yang kami beli di resaturan. “ Mas waktu kuliah tiggal dengan orangtua atau kost?” tanyanya.
“ Aku kost, kenapa?”

“ Mas kelihatan sudah terbiasa melayani diri sendiri,” ujarnya diiring tawa.
" Aku juga sudah terbiasa melayani orang lain," balasku. Rasa grogi dan malu sedikit terusir.
Aku kaget ketika Laura memintaku memimpin doa sebelum makan. Belasan tahun aku sudah meninggalkan kebiasaan seperti ini, kecuali bila dihadapan orangtuaku.
" Beberapa waktu lalu ketika makan direstauran, mengapa Laura nggak berdoa.?"
" Aku berdoa dalam hati mas. Ketika itu aku sungkan berdoa dihadapan mas."
" Lho, berdoa kan pada Tuhan! Sungkan atau malu.?"

" Mas, ayolah, aku lapar nih.!" bujuknya.

" Aku bilang apa sama Tuhan.!?"
" Aku yang pimpin doa iya!" ucapnya setelah aku mengulur jawab.
" Iya. Doanya singkat, padat.!"
Laura tak dapat menahan ketawanya mendengar permintaanku. " Iya, wis, aku berdoa seniri," katanya, kemudian menundukkan kepala, hening sejenak, kemudian berucap,"Amin."
Setelah dia selesai berdoa, aku mengambil sedikit makanan dari piringnya, kemudian mencicipinya. " Memang rasa makanannya beda dengan makananku."

" Nggak ah... wong masaknya sama kok," ujarnya serius.

" Makananmu lebih enak karena sudah dibungkus dengan doa."
Spontan Laura ketawa lepas, dia berlari ke kamarnya sambil memegang perutnya. Yeach....selesailah sudah " dosa "ku malam ini. Perasaan tidak lagi dihantui rasa bersalah karena "kelakuanku" di resaturan, apalagi setelah melihat Laura merespons setiap guyonanku. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment