Thursday, May 28, 2009

Telaga Senja (42)




http://www.youtube.com/watch?v=FIlWx4XI6oI


===========
Esoknya, setengah jam lebih awal Laura telah tiba dirumah kemudian menitipkan
motornya kepada ibu kos ku. “ Kita naik taksi saja mas.” ujarnya.
============

Aku terpesona dengan penampilannya sore itu.” Kita mau kerumah tante Laura bukan?” tanyaku menyakinkan.
“ Iya, kenapa mas.?”
Aku kembali kekamar menukar t-shirt yang warnanya agak pudar dengan warna yang lebih cerah untuk mengimbangi pakaian yang membalut tubuhnya. Meski bukan pacar tetapi aku nggak ingin dia merasa malu kepada keluarganya karena penampilanku. Dia menertawaiku ketika keluar dari kamar,” Kenapa t-shitnya diganti, tadi juga bagus kok,” katanya.
“ Bagus yang mana, yang ini atau yang tadi.!?”
“ Keduanya bagus kok mas.!”
“ Apa perlu aku pakai keduanya,?” godaku.
***
AKU agak minder ketika memasuki lingkungan perumahan tante Laura. Hampir semua rumah yang kami lalui berukuran besar dan mewah dengan model arsitek Eropah berikut mobil mewah tongkrong di grasi dan pekarangan rumah. Sepasang anjing jenis herder menyambut kedatanganku dan Laura dengan gonggongan menggelegar. Tetapi keduanya menghentikan gonggongan setelah melihat sosok Laura, lantas tangannya menyentuh dan mengusap-usap tubuhnya; Kedua anjing itu menyambutnya dengan kibasan ekor pertanda" welcome", tampaknya kedua anjing itu telah megenali Laura.

Pembatu pria menyilakan kami masuk ke rumah lewat pintu samping, “ maaf, ruang tamu sedang dipel mbak ” ujarnya. Laura mengajakku masuk setelah tantenya menyuruh kami datang ke ruang belakang; Dia buru-buru meninggalkan kami, mungkin, karena hanya mengenakan daster "rumahan".

” Lho, mbak Laura bawa teman iya, kok nggak beritahu bu le,? Maaf iya mas, aku tinggal dulu,” ujarnya buru-buru meninggalkan kami.
“ Dia tanteku nomor dua, adik lagsung mami, namanya Martha. Mami punya dua adik perempuan, satu lelaki.” jelas Laura.
“ Pantas!”
“ Pantas kenapa mas?” tanyanya heran.
“ Cantiknya persis dengan Laura,” pujiku.
“ Yang benar mas!?”
“ Ya. Tante yang lain tinggal dimana.?”
“ Di Solo, adik ibu yang lelaki di Perancis sedang menyelesaikan program doktoralnya,” urainya.

Sebuah foto ukuran besar terpajang di dinding ruang tamu, agaknya aku pernah ketemu dengan orangnya, tetapi lupa dimana. “
“ Mas, Kenal kan oom itu.?”
“ Ya, Tetapi aku lupa dimana pernah ketemu.!”
“ Dikantor kita. Oom itu salah seorang pemegang saham dan adik oom itu direktur utama perusahaan kita, mirip iya.?” jelasnya seraya menatap foto itu.
“ Lho, kok Laura nggak pernah cerita? Minggu lalu, Laura mengenalkan sepupumu penjaga toko di proyek Senen.”
“ Kebetulan ketemu dengannya mas.”

Tante Martha menemui kami diruang tamu, dia mengajak Laura ke dapur setelah berkenalan denganku; “ Maaf mas, sebentar ditinggal dulu, ada sedikit yang perlu kami bicarakan,” ujarnya.

Belum berapa bulan di Jakarta bergaul dengan sejumlah orang dengan latar belakang budaya hetrogen, sedikit mengubah kebiasaanku berbicara, menyampaikan pendapat misalnya; Gaya meledak-ledak hampir tak pernah muncul lagi, kecuali aksen yang masih sukar disembunyikan. Tak jarang, aksenku, menjadi bahan olok-olokan di kantor maupun didalam pergaulan umum; penempatan kata” dong” dan “sih” juga belum pas.

Seingatku, hanya Laura yang belum pernah menertawaiku jika aksen Batak ku keluar, dan hanya dia pula yang paling sabar melayaniku berbicara meski nada suaraku kuat dan tak pernah menegur, bila menyebut “kau” dalam percakapan dengannya. Beda dengan Rina yang keturunan “Japang” ( Jawa-Padang, pen); dia berang dan segera menegurku bila menyebutnya ”kau”.

Belakangan aku semakin merasakan perbedaan orang Batak, kebanyakan, dengan suku Jawa. Orang Batak mempunyai temperamen meledak-ledak, sementara suku Jawa mempunyai sifat atau karakter “rendah hati dan sabar”; sifat ini dimiliki oleh Laura, aku telah merasakan selama aku mengenalnya. Juga ketika kami dikantor, Laura tidak pernah merasa “lebih” atau patentang-patenteng dengan pegawai lainnya meski oomnya salah satu pemilik saham dan adik oom itu sendiri adalah direktur utama.

Selain itu, sebahagian keluarganya mempunyai jabatan penting di pemerintahan, selebihnya pengusaha sukses. Sebelum dia keruangan belakang dengan tantenya, satu persatu Laura menyebutkan nama dan pekerjaan mereka yang ada dalam foto yang tergantung diruang tamu tantenya.

Tanpa sadar aku senyum sendiri sambil melihat foto lainnya, ingat pengalaman masa kuliah, tempo dulu. Seorang teman, Djaudut, merasa keluarga dekat dengan seorang konglemerat yang kebetulan semarga dengannya. Sedikit saja di “toel” mengenai hubungan kekerabatannya dengan konglemaret itu, mulutnya langsung ngerocos sampai “berbusa-busa”: “ ompung (kakek) kami kakak adik kandung,” akunya. Namun, omong kosongnya tak berlangsung lama, ketika ditanyakan marga isteri konglemerat serta jumlah anak-anaknya, dia gelagapan karena tidak tahu.

Ironisnya, ketika Djaudut ditanyakan hubungan keluarganya dengan Ron, dia selalu mengaku sepupu jauh, pada hal aku tahu pasti orangtua mereka kakak adik, satu ibu satu ayah. Memang kebetulan pula orangtua Ron hanya pedagang kresek ( kios kecil dipinggir jalan, pen). Ah...termasuk manusia lanteung juga kawan itu, kataku dalam hati seraya terus melihat foto-foto keluarga tante Laura. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung


Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment