Saturday, August 22, 2009

Telaga Senja (106)

Simpson - I Wanna Love You Forever
You set my soul at ease/Chased darkness out of view/Left your desperate spell on me
Say you feel it to/I know you do/Ive got so much more to give/This cant die, I yearn to live/Pour yourself all over me/And Ill cherish every drop here on my knees

Chorus
I wanna love you forever/And this is all Im asking of you/10,000 lifetimes together/ Is that so much for you to do? /Cuz from the moment that I saw your face/And felt the fire in your sweet embrace/I swear I knew./Im gonna love you forever

My mind fails to understand/What my heart tells me to do/And Id give up all I have/just to be with you/And that would do/Ive always been taught to win/And I never thought Id fall/Be at the mercy of a man/Ive never been/Now I only want to be right where you are.

Chorus
In my life Ive learned that heaven never waits no/Lets take this now before its gone like yesterday/Cuz when Im with you theres nowhere else/That I would ever wanna be no
Im breathing for the next second I can feel you/Loving me ... Im gonna love
==================
“ Rina, tolonglah sebelum otak Magda mikirin yang aneh-aneh.”
“ Memang mas aneh.!”
“ Rina, aku minta tolong, sampaikan saja pesanku atau aku akan pergi main judi.”
“ Ya aku sampaikan, tetapi mas, jangan ngancam gitu dong.!”
==================
"Aku berusaha bersabar menunggu Magda menelephonku, namun sudah tiga puluh menit telephon tak kunjung berdering sementara arlojiku telah menunjukkan pukul tujuh malam. Dua pilihan sulit, menemui Susan ke tempat penginapannya atau menunggu telepon Magda.

Dalam kegelisahan aku keluar masuk rumah sambil menunggu putusan akhir. Belum berapa lama keluar dari rumah, terdengar dering telephon, aku berlari masuk kerumah tetapi, lagi, keburu terputus. Akau menduga, percakapannya dengan Laura pagi sebelumnya agaknya mulai meragukan kesetiaanku, meski menurut Laura, telah meminta maaf atas keterlanjuran kami dalam waktu singkat. Mungkinkah ada luka baru yang tertoreh walau Laura telah minta maaf.? Sementara dalam dadaku kasih sayang semakin menggelora pasca “pengkhianatan” tak sengaja. Lagi, telephon berdering. Aku mendengar suara Magda berdesah, lemah.

“ Hallo bang..!”
“ Magda, kenapa? Ada ucapanku yang salah sayang?” sergahku.
“ Zung....jangan panggil aku sayang, Jangan lagi bicara seperti itu.”
“ Magda! Hanya karena aku mengucapkan kalimat itu kamu menangis.?”
“ Masih ada orang lain yang mengasihi dan mencintaimu, bukan aku lagi bang.!
“ Magda! Siapa lagi sayang, siapa lagi kecuali kamu!?”
“ Baaang...jangan lagi bang, jangan panggil aku sayang.!”
“ Magda.! Mohon maaf, aku hampir melangkah jauh. Bukankah Laura telah mengaku jujur dan minta maaf tadi pagi.?”
“ Ya. Aku tidak mampu berbuat apa bang. Jangan salahkan Laura. Dia memang sudah minta maaf , walau aku sempat terluka. “

“ Magda memaafkan Laura tetapi tidak mau memaafkanku.?”
“ Sakit bang! Sebelum abang berangkat ke Jakarta, aku telah ingatkan agar hati-hati. Tetapi akhirnya keraguanku telah terjawab.”
“ Baiklah. Jika tidak mau memaafkan kesalahanku, akupun siap menerima keputusan yang terpahit sekalipun. Selamat malam sayang.!” ujarku mengakhiri percakapan kami.

Kembali telephon berdering sebelum aku keluar dari rumah.
Heh! Apa lagi yang kamu mau.?”
Heh Geblek! Aku Rina. Tidak ada habisnya mas menyiksa mbak Magda.”
“ Ah...kamu lagi Rin. Aku telah mengaku salah dan minta maaf, tetapi dia diam dan menangis, akhirnya aku putuskan lebih baik pergi ke night club.”
“ Kampret! Jangankan mbak Magda, gue juga muak mendengarnya.”
“ Lho, galak amat sih, seperti mama-mama.!”
“ Goblok! Siapa bilang aku gadis, wong mau melahirkan!”
“ Duh...sewot amat sih, aku kan cuma bercanda!”

“ Bercanda? Mas masih mampu bercanda sementara mbak Magda sekarat dikamar.!”
“ Kenapa dengan Magda, sakit? Bilangin dia, aku nggak jadi pergi.”
“ Iya! Kalau maminya sudah keluar dari kamar mbak Magda.”
“ Maminya tahu kalau aku telephon.?”
“ Ya, iya tahulah. Siapa lagi sih yang menyiksa mbak Magda selain mas lanteung!?”
“ Rin, bilangin Magda aku nggak jadi pergi ke night club.”
“ Mas sendiri saja yang bicara. Sejak kemarin mbak Magda cerita tentang kamu. Juga Susan mantan dosen kalian mampir dirumah tanyakan alamat dan nomor telephon mas. Mbak Magda was-was kalau affair mas terulang lagi setelah mas “berselingkuh” dengan Laura. Rasa was-wasnya kini kenyataan, malam ini mas mau pergi dengan Susan. Tega iya mas.!?”

“ Aku sudah batalkan. Rin tolong panggilkan Magda aku mau bicara.”
“ Janji mas, nggak ribut lagi .!?”
“ Ya.! Aku janji.!”
Sejenak hening, aku hanya mendengar desah suara diujung telephon.
“ Magda, kamu sakit?”
“ Nggak bang.!”
“ Magda, apa yang kamu tangisi. Tadi aku telephon mau bercerita perjalananku selama dua minggu ini dan mau jelaskan kenapa kemarin aku nggak telepon kamu. Juga aku mau tanyakan, apakah Magda mengijinkanku pergi menemui ibu Susan. Tetapi belum apa-apa Magda sudah ngambek dan menangis, hanya karena aku memanggilmu sayang !?”
Aku tidak mendengar jawaban pada ujung pembicaraanku. “ Magda masih mendengarkanku?”

“ Iya bang, aku dengar.”
“ Mau dengar perjalananku selama dua minggu ini?”
“ Nggak usah lagi bang. Laura sudah bercerita panjang tentang abang. Aku terharu mendengar ketulusannya walau tadinya ada rasa cemburu.”
“ Sekarang Magda nggak cemburu lagi kan.?”
“ Aku tak berhak lagi untuk cemburu, mau melangkah kemana itu hak abang.”
“ Lho, jadinya aku seperti layang-layang putus. Kalau saja aku tahu seperti ini jadinya, kenapa aku harus akhiri hubunganku dengan Laura.?”

“ Terserah abang mau terusin. Aku kan sudah bilang abang bebas mau melangkah kemana. Tak sedikitpun aku punya hak membatasi langkah abang.”
“ Magda serius? Kalau memang itu kemauanmu aku siap.”
“Jangan dibalik gitu dong bang! Kok bilang kemauanku? Bukankah abang telah lebih dahulu melakukannya?”
“ Iya, aku tak membantah. Sebenarnya Magda juga punya andil atas kesalahanku. Kalau saja Magda tidak mengijinkan ku pergi dengan dia, ini pasti tidak terjadi.”
“ Apa hakku melarang abang pergi? Seandainyapun aku melarang, kedua mataku tak cukup jauh mengikuti langkah abang.”

“ Magda benar, aku setuju, memang aku manusia liar. Magda, kalau begini akhir keputusanmu, bulan depan aku nggak jadi datang pada pernikahan Maya. Kalau boleh minta tolong, sampaikan pada Rina, aku nggak jadi datang saat kelahiran Thian.”
Magda berang setelah mendengar penundaanku berkunjung ke Medan pada saat kelahiran Thian. Sebelumnya dia bicara datar, kini suaranya naik turun menahan marah. “ Kenapa Rina dan Thian jadi korban? Mereka nggak tahu apa-apa. Abang kan sudah janji mau datang bahkan mau bawa pakaian Thian. Abang kok tega.!?”

“ Namanya juga manusia liar. Apa sih yang diharap dari manusia seperti aku? Selamat malam Magda.” Mendengar ucapanku , suara Magda berubah lembut.
“ Bang..abang...tunggu dulu bang ! Kasihan Rina, dia mengharap abang datang. Bang Tan Zung yang buat janji, bukan aku,” bujuknya sebelum aku menutupkan telephon.
“ Magda ! Lupakanlah semuanya itu, maaf aku mau pergi.!”
“ Abang mau kemana malam begini?”
“ Lho, kok jadi mengurusi langkahku? Bukankah tadi kamu bilang aku bebas kemana hendak pergi ? Apa pedulimu jika aku mau pergi keneraka sekalipun.!?" ( Bersambung)
Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/