Thursday, September 3, 2009

Telaga Senja ( 115)


http://www.youtube.com/watch?v=Hk2gWjn7D0Y

Ah...antara percaya dan tidak, pasangan yang sedang bertengkar dengan centeng itu adalah adikku Lam Hot dan Laura. Aku berbisik kepada centeng itu, “ biarkan mereka masuk. Dia itu adikku dan perempuannya pacarku. Saat itu dia mengijinkan Lam Hot dan Laura masuk, duduk bersamaku
=====================

Kehadiran Lam Hot dan Laura malah membuatku semakin “gila”. Dengan suara tertahan, aku damprat habis keduanya.” Urusan apa kalian datang kesini hah..!? Kalian pikir aku anak kecil.? Aku beri waktu lima menit, kalian keluar secara baik-abaik atau kusuruh centeng itu mengusir kalian.” Lam Hot dan Laura tak meladeni hardikanku, malah Lam Hot meminta minuman untuknya dan untuk Laura.

“ Abang tak berhak mengusir kami dari sini. Kita punya hak yang sama,” ujarnya dengan suara mantap. Walau dalam sinar redup, mataku masih mampu menatap wajah Laura, agak ketakutan. Untuk beberapa saat dia tak berbicara, kecuali hanya memandangku, kecewa. Sementara otakku mengingat tudingan tak waras, menganggapku tak bermoral karena menuduhku tidur sekamar dengan Susan.

“ Laura belum cukup mengkhotbahiku tadi pagi? Masihkah kamu akan mempermalukan aku yang kamu anggap tikus tak waras di ruangan ini...?”
“ Bang, diam!” bentak Lam Hot mengagetkanku. Tanganku terayun melayang hampir menyentuh mulutnya kalau bukan teriakan Laura. “ Mas jangan!” teriaknya sambil, menahan lenganku.” Tak ada seorangpun sekitar kami mendengar teriakan Laura, suaranya tertelan suara musik. Sejenak aku diam menenangkan diri. Laura menempelkan kepalanya diatas meja sambil menangis. Aku luluh.

“ Lam Hot...bawa Laura pulang! Biarkan aku sendiri disini. Atau kupecahkan mulut kau.!” ancamku lagi. Isak tangis Laura semakin tak terbendung mendengar ancamanku. “ Zung, ayo kita pulang! Besok mas tugas ke Bandung.” ingatnya. Sementara aku, Lamhot dan Laura masih dalam suasana tegang, dua orang lelaki sepertinya lagi teler duduk seenaknya dekat Laura. Walau hati masih sedang panas karena kehadiran Laura dan Lam Hot, aku menegur kedua lelaki itu dengan sopan. Mereka tak menghiraukan. Ku ulang lagi, malah meremehkanku.

“Iblis” yang sejak tadi bertengger diatas tengkuk berbisik,” sikat.” Sesaat itu hantaman telapak tangan menghujam ulu hati satu diantara lelaki, tumbang. Kemudian melesat pukulan kedua ke lelaki temannya. Ada perlawanan. Bar kisruh, perempuan pada teriak termasuk Laura. Jurus “anjing gila” keluar, siapa dekat hajar. Lam Hot ikut membantuku menghadapi “pendompleng liar”. Kejadiannya begitu tiba-tiba, aku sukar membedakan siapa musuh dan siapa yang sungguh-sungguh melerai.

Ketika kaki terangkat kearah ulu hati disampingku, dia berteriak, “ bang, aku ini Rizal,” teriaknya sambil menghindar dari tendangan kakiku. Aku kaget dengan gaya serta lenturan tubuhnya menghindar. Ini orang pasti punya “ilmu” pikirku. Akupun tinggalkan jurus “anjing gila” kembali pada jurus “legal” yang aku lakoni hampir enam tahun.

Kembali dia berteriak ketika aku menarik ancang-ancang siap tempur; “ Sudah bang!... Jangan...bang! Aku Rizal, anak cabang Belawan bang.” teriaknya mengingatkan pada nama seseorang yang pernah mencelakakan aku pada perebutan kejuaran antar cabang di Medan tahun sebelumnya. Aku mengurungkan niat tempur setelah dia menyebut cabang Belawan. Dia adalah seperguruanku beda tempat, pikirku. Keributran mulai reda setelah pihak menagement turun tangan menenangkan suasana. Laura terus menangis. Centeng yang mengaku nama Rizal itupun memelukku setelah kedua lelaki yang sok jago itu diamankan kebelakang pentas.

Rizal, dan sejumlah petugas keamanan mengajak aku, Lam Hot dan Laura ke kemar manager. Sambil menunggu manager, Rizal menepuk pundakku; “ Bang, masya nggak ingat aku. Sejak abang menemuiku tadi aku sudah menduga abang Tan Zung, tapi aku ragu. Tampak semuanya berubah, abang semakin gemuk. Tadi aku semaikn yakin, setelah abang mengeluarkan jurus “sapu bersih” itu. Hampir kena pula aku,” ujarnya sambil ketawa.

Rizal memperkenalkanku kepada manager, dimbumbui dengan uraian “karir” di pasaran semasa di Medan. Melihat suasana berakhir aman dan sanjungan mengarah padaku, tampak wajah Laura dan Lam Hot sedikit lega. Dalam percakapan, manager memberitahukan bahwa kedua orang itu anak pejabat .” Sering patentang-patenteng. Malam ini dia kena batunya , terimakasih mas. Semoga mereka ada perubahan,” harapnya. “ Biasanya mereka datang rombongan bang.! celutuk Rizal. Manager mememanggil seorang waitress ke kamarnya, dia mengatakan sesuatu,pelan. Waitress mengangguk-angguk berujar,” “Iya, iya beres pak.!”
“ Mas, kalu mau kembali ke bar lagi, silahkan,” ujar Manager setelah kami berbicara beberapa saat.

“ Mas, ayolah pulang. Kelihatannya mas terlalu banyak minum.” ajak Laura ketika kami keluar dari ruangan manager.
“ Pulanglah kalian duluan. Aku mau tidur dengan Susan di atas,” ujarku, mengharap dia dan Lam Hot segera meninggalkanku. Harapanku sia-sia, Laura tetap ngotot akan pulang bersamaku, bahkan dia menyuruh Lam Hot pulang duluan. Aku tetap menolak pulang. “ Laura mau tidur denganku dan Susan.?” Laura diam tak menjawab. Lam Hot mempelototiku.

Aku kembali masuk kedalam bar, duduk di tempatku sebelumnya. Minuman datang dengan sendirinya tanpa ku pesan. Hmmm.... aku teringat ketika masih di Medan menjadi”pengawal” Ira, minuman lancar, preman lontong alias tukang palak pada bersikap santun. Minuman “ronde” ketiga menghantarkan aku berlabuh pada belantara luas. Aku mencoba memanggil “arwah” Magda, tetapi sel-sel otakku tak mampu lagi merangkainya. Sementara aku masih “terbang jauh” sesekali melirik pada Laura. Aku melihat dia membisikkan sesuatu kepada waitress sebelum menuangkan minuman ke gelasku. Waitress mengangguk kemudian menuangkan minuman namun kini hanya sedikit.

Rengekan Laura membuat aku terpaksa mengalah; Aku keluar dari bar setelah Lam Hot dan Laura menolak pulang tanpa aku; Keduanyapun menolak ketika aku ajak ke kamar. “Nggak enaklah bang dengan Susan!?” ucap Lam Hot. Laura juga menyampaikan protes, tak setuju masuk ke kamar. Walau otak telah korslet karena minuman, aku masih mampu mengerjai keduanya meski kalimat yang keluar dari mulutku tak jelas, pelo pengaruh minuman. “ Ayolah hanya sebentar, aku mau minta ijin pulang. Meski kami bukan manusia tak waras tetapi masih punya etika,” ujarku serius sambil berjalan menuju eskalator.

Rizal berlari kecil menemuiku saat kami keluar dari bar menanyakan nomor kamarku. “ Nanti aku dan terman mampir keatas,” ujarnya setelah kuberitahu nomor kamar. “ Mereka ngapain lagi mas?” tanya Laura ketakutan. “ Ayolah mas , kita pulang. Ntar ribut lagi,” lanjutnya, diakuri Lam Hot ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/