Sunday, October 4, 2009

Telaga Senja (133)

http://www.youtube.com/watch?v=WsIRJhac5iY

=================
“ Ini juga penyebabnya aku sangat marah. Laura menuduh sembarangan. Aku membeli arloji dan cinciku itu dengan uang yang Susan berikan. Nah, uang yang ada dalam envelope itu, sama sekali tanpa sepengetahuanku. Aku juga bingung mau diapain itu uang. Dibuang sayang, dipakai takut kualat.
==================
DALAM pembicaraan kami sepanjang perjalanan, awalnya Laura sangat berhati-hati merespons pembicaraan menyangkut dengan” uang sampah” dari Cecep dan Tia itu. Penilanku sikapnya abu-abu, ketegesannya berubah dibanding dengan sehari sebelumnya. Tetapi untuk dirinya sendiri, hitam putih, tetap bersikukuh menolak uang itu.

” Apapun mas katakan, aku tak akan menyentuh uang itu.”
“ Kamu siap kita akan “cerai”?”
“ Sejak kapan kita nikah?”
“ Sejak Laura mencuri hatiku.”
“ Nggak. Aku tak pernah mencuri. Mas yang menaruhnya diam-diam, tanpa aku sadari.”
“ Tetapi Laura selalu menyiramnya.”
“ Itupun tanpa aku sadari.!”
“ Sekarang kamu sudah sadar?”
“ Sudah sejak bulan lalu. Ketika itu aku sudah nyatakan, ingat? Aku telah minta maaf pada Magda. Tetapi mas selalu saja menyiram kuncup kembang yang hampir layu itu.”

“ Itupun aku lakukan tanpa ku sadari. Eh...Laura, apa yang aku harus lakukan dengan uang itu?”
“ Kembalikan,” jawabnya singkat.
“ Kepada siapa ? Kepada Tia, ditelan habis. Ke kantor pusat, dalam bilangan hari mereka akan dipecat.!”
“ Termasuk mas...!”
“ Kalau aku sih sudah nggak peduli. Memang sudah rencana mau keluar. Aku tak mampu lagi melihat wajah boss kita. Hanya saja, aku kasihan dengan Cecep dan Tia bila mereka dipecat apalagi kalau sempat di polisikan. Mereka punya keluarga.

” Mas merasa kasihan dengan orang lain tetapi tidak dengan diri sendiri?”
“ Iya, aku mengasihi orang lain seperti diriku sendiri.!”
“ Hah... Mas sedang berkhotbah !?”
“ Iya. Khotbah di bukit teh. Meski dosaku berbukit tetapi kasihku terhadap sesama setinggi gunung,” ujarku beromong kosong disambut nyinyir Laura. “ Sesama perampok saling mengasihi,” ejeknya. “Memang serius mau keluar?” tanyanya lagi dengan sungguh.

“Iya. Setelah aku serahkan semua berkas-berkas pekerjaanku yang tersisa dan laporan keuangan cabang Bandung”
“ Kapan mau mau keluar?”
“ Secepatnya. Sebelum Laura keluar. Bukankah Laura mau pulang ke Yogya?” Laura diam tak menjawab, matanya jauh memandang kedepan. “Kenapa diam? Kapan Laura mengajukan pengunduran diri? Atau kita sama-sama ?”

“ Aku nggak tega mas, kalau kita keluar bareng om Adrian akan merasa terpukul. Mas, sebenarnya sudah dipersiapkan wakil kepala cabang Semarang menggantikan ibu Martha.”
“ Bagaimana Laura tahu? “
“ Aku mendengar pembicaraan Adrian dengan om Felix, sehari sebelum aku menemui mas.”
“ Kenapa nggak cerita.?”
“ Itu makanya aku semangat datang menemui mas, ingin memberitahu, kebetulan juga mas minta aku datang. Tetapi aku sangat kecewa ketika aku tiba melihat perempuan itu tidur dikamar mas.”
“ ...kemudian menampar wajahku !”

“ Iya mas, seumur-umur kali pertama aku nampar, orang batak lagi,” sesalnya, lantas menempelkan wajahnya disisi lenganku.” Tapi mas sudah maafkan aku kan ?” tanyanya manja.
“ Belum....”
“ Kenapa? Padahal setiap hari mas menampariku, aku selalu memaafkan,” ucapnya memelas.

Heh...kapan aku menamparmu,?”
“ Melebihi tamparan. Setiap hari, melukai hatiku,”
Huh...perempuan. Emang maumu, selalu buat gara-gara kemudian minta dibelai.”
" Benarkah mas pacaran dengan Magda lebih lima tahun?"
" Apa perlunya aku bohong!?"
" Aku salut dengan mbak Magda. Denganku kurang dari enam bulan, sakitnya bukan main."
" Lho, kok bawa ke hati?"
" Karena aku punya hati mas,!" ujarnya pelan sambil memutar wajahnya ke sisilenganku. Sesaat kemudian aku merasakan tetesan cairan hangat disana.
" Laura, tanpa kamu sadari airmatamu juga yang menyuburkan tumbuhnya kelopak kembang yang hampir layu itu. Tetapi nggak apa, menangislah sepuasmu, untuk yang terakhir, sebelum kita akan benar-benar berpisah Laura?"

" Jangan katakan itu mas. Aku belum siap."
" Aku sudah siap Laura. Kamu harus merelakannya. Selain aku telah mengotori sumber mata pencaharianku, juga menduakan cintaku terhadap Magda. Mungkin ini saatnya yang terbaik untuk kita berdua. Aku mendoakan Laura mendapatkan sahabat yang memahami dirimu melebihi dariku, yang bringas dan bejat,"
" Massss.. cukup!" isaknya. Sementara dia masih dalam tangis, aku mengurangi laju kecepatan mobil sembari menepi ke bahu jalan untuk berhenti. Entah kenapa pula aku ikut larut, terenyuh, mendengar isak tangisnya, pilu.

" Okey Laura. Aku tak mau mengambil resiko, kecelakaan. Aku juga manusia punya perasaan. Kita mau bicara sekarang atau setelah tiba di Jakarta?" Laura tak menjawab, juga tak mau mengangkat kepalanya dari sisi lenganku. Aku membujuknya supaya menghentikan tangisnya. Perlahan Laura bangkit dari duduknya, lalu keluar dari mobil masih dalam tangis sambil melangkah menaiki kebun teh disisi jalan.
" Laura! Kamu nggak takut ular? Ayo kita bicara di mobil" bujukku .
" Pulang saja mas! Biarkan aku sendiri disini, nanti aku pulang!"
" Kamu gila Laura! Kamu pulang naik apa?"
" Iya aku gila. Pulanglah mas!"

" Iya..bukan..maksudku tindakanmu gila!" Laura terus melangkah. " Kok kita seperti di film Inda nih, " pancingku. Tetap saja dia diam. Laura berbalik langkah setelah seseorang lelaki menegurnya: " Neng mau kemana? Disini nggak ada tempat berteduh," tegurnya. Laura berbalik kearah mobil. Sebelum dia masuk kedalam mobil, Laura kaget ketika aku tiba-tiba mengangkat tubuhnya dalam pelukanku, kemudian memasukkannya ke dalam mobil. Laura tak meronta. Aku terjerembab, tak sengaja, menindih tubuhnya ketika merebahkan tubuhnya ke atas jok mobil. Laura diam. Aku mendengar irama detak jantungnya berpacu dengan nafas sengal. Iramanya kadang rendah kemudian dengan tempo tinggi. (Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/