Saturday, November 28, 2009

Telaga Senja (172)






“Amazed”
Every time our eyes meet/This feeling inside me /Is almost more than I can take Baby when you touch me /I can feel how much you love me /And it just blows me away /Ive never been this close to anyone or anything /I can hear your thoughts /I can see your dreams

I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

The smell of your skin /The taste of your kiss /The way you whisper in the dark Your hair all around me /Baby you surround me /You touch every place in my heart /Oh it feels like the first time every time /I wanna spend the whole night in your eyes

I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

Every little thing that you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Oh, every little thing that you do /Baby Im amazed by you.

==================

Mata Magda mulai berkaca-kaca melihat penderitaanku. “ Papa mau minum?” tanyanya sendu sembari membelai rambutku.
“ Nggak. Aku nggak mau minum. Papa mau di cium,” gurauku, suaraku pelan ditengah kesakitan amat sangat.
“ Ya...ya! Nanti pap.”
“ Sekarang..!”
“ Pap, ada ibu itu!” bisiknya.

===================

SECANGKIR jamu hangat sedikit mengurangi rasa sakit. Jari tangan pak Ginting kembali “menari” diatas persendian pangkal lengan dan bahu. Hanya beberapa menit, pijatan dihentikan. Setengah jam kemudian diulang. Demikian seterusnya hingga kali kelima.
“ Tidak dapat dipaksa karena otot sudah mulai kaku,” ujar pak Ginting. Magda menanyakan berapa lama aku dalam perawatan. “ Setiap hari selama seminggu ini. Kemudian tiga hari dalam seminggu,” terangnya, lantas meninggalkan aku dan Magda.

Saat-saat “interval” Magda berusaha mengajakku ngobrol dan terus menyemangatiku. Namun, aku kurang bergairah karena tenagaku terkuras menahan pijatan. Kali kelima malam itu, pijatan agak lembut dan secangkir jamu disorongkan kemulutku.
“ Minum nak, biar kembali tenaganya,” ujarnya membangunkanku dari pembaringan. Kemudian menyuruhku istrahat untuk beberapa jam.” Nak pulang saja. Malam ini, kalau nggak keberatan biarkan nak Tan Zung tidur disini,” katanya ke Magda.
“ Biar aku tungguin pak,” jawabnya.
“ Magda pulang saja. Tiga hari belakangan mama terlalu lelah ngurusin papa.” Magda merajuk seraya mencubit pahaku.” Nggak. Mama nggak mau pulang. Nggak tega tinggalin papa sendirian.”

" Mama kuatir kala Maya datang iya?" godaku.
" Nggak juga. Papa nggak usah angekin mama lagi."
“ Nanti mami kecarian.”
“ Mami kan tahu kalau aku ikut papa ke sini.?” Pap, mama nggak mau pulang. Kalau papa nginap, mama juga mau ikut tidur disini. Tidur di lantai juga nggak apa-apa kok pap. Ntar mama minta tikar dari ibu. "

Pak Ginting keluar dari kamarnya, datang menengahi, setelah mendengar Magda bersikeras mau menginap bersamaku. “ Biarkan dulu Tan Zung istirahat untuk beberapa lama. Setelah itu, kalian boleh pulang. Tetapi, besok pagi sebelum serapan sudah harus kesini. Sanggup?” tanyanya. Magda langsung menyetujui. Magda mengangkat kursi yang terbuat dari bambu itu mendekat ke dipan tempatku berbaring.

Setelah beberapa jam tertidur pulas, pak Ginting mengijnkanku pulang. Dalam perjalanan ke rumah Magda, dia mengajakku makan malam di restauran. “ Papa mau tidur saja,” ujarku lemah sementara mataku hampir redup.
“ Jangan lemas seperti itu ah...papa takut-takutin mama.! Melihat bahwa aku bukan bercanda, Magda menghentikan mobilnya di bahu jalan. Dia bertanya diliputi rasa gelisah: “ Papa, kita pulang ke rumah atau kembali kerumah pak Ginting.?” Jawaban dengan anggukanku membuat Magda semakin bingung.
“ Pap kita ke rumah atau ke rumah pak Ginting,” gusarnya.
“ Ke rumah,” jawabku singkat.

***

“ Papa bisa jalan atau ditandu,” guraunya setelah kami tiba di gerasi. Buru-buru Magda menahan tubuhku ketika aku sempoyongan, hampir roboh, saat baru keluar dari mobil. Magda memapahku menuju ke rumah. Di ujung pekarangan, menjelang pintu rumah aku melihat sosok bayangan seseorang. “ Siapa itu mam?”

“ Mungkin mami. Malam begini Rina sudah tidur,” jawabnya serius. Segera aku mengangakat kepalaku dari atas bahunya, jalan berpura-pura tegar. Magda tertawa melihatku seperti orang ketakutan. “ Kok papa seperti ketakutan. Memang kanapa kalau mami lihat? Papa sakit benaran atau dibuat-buat?” gelaknya.
“ Kita jalan dari samping saja mam.” balasku, sembari jalan menunduk menahan sakit sisa-sisa pijatan. Magda masih ketawa dan menggodaiku. “ Mami..! tolong bantu Magda. Abang sempoyongan nih,” teriaknya. Bayangan itu mendekat, ternyata dia perempuan dengan perut buncit, Rina.

Weleh...lelaki gagah kok jadi seperti ayam sayur?” ejek Rina.
“ Rin, bantuin abang,” ajak Magda diiringi tawa.
“ Ogah! Biarin dia jalan tengkurap. Perut gue buncit begini aja masih mampu jalan, “ tawanya sambil mengikuti langkah kami menuju kamarku. Tiba di kamar, didepan Magda, aku memeluk berlagak mau mencium,” Kalau masih terus ngoceh, aku akan gigit bibir kamu.”
Gue sih nggak apa-apa. Penghuni perut gue yang protes,” balasnya.
Magda mencubit pinggangku, kuat. “ Bang! Masya ibu hamil mau “diperkosa”,? “tawanya.
“ Mas Tan Zung kan beraninya ke mama-mama,” sela Rina, lantas kedua tangannya mencubit pipiku, gemas.
Hei...hei...sudah! Rina nafsu benar!?” tawa Magda. ( Bersambung)


Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/