Sunday, September 6, 2009

Telaga Senja ( 116)





My Baby You"
As I look into your eyes /I see all the reasons why /My life's worth a thousand skies/
You're the simplest love I've known /And the purest one I'll own /Know you'll never be alone
CHORUS:
My baby you /Are the reason I could fly /And cause of you /I don't have to wonder why /

Baby You /There's no more just getting by /You're the reason I feel so alive/


Though these words I sing are true /They still fail to capture you /As mere words can only do /How do I explain that smile /And how it turns my world around /Keeping my feet on the ground
My baby you /Are the reason I could fly /And cause of you /I don't have to wonder why /Baby You /There's no more just getting by /You're the reason I feel so alive /
Though these words I sing are true /They still fail to capture you /As mere words can only do /How do I explain that smile /And how it turns my world around /Keeping my feet on the ground

I will sooth you if you fall /I'll be right there if you call /You're my greatest love of all /
My baby you /Are the reason I could fly /And cause of you /I don't have to wonder why /Baby You /There's no more just getting by /You're the reason I feel so alive

Though these words I sing are true /They still fail to capture you /As mere words can only do /How do I explain that smile /And how it turns my world around /Keeping my feet on the ground

==================================================
Rizal berlari kecil menemuiku dan menanyakan nomor kamar. “ Nanti aku dan terman mampir keatas ,” ujarnya setelah kuberitahu nomor kamar. “ Mereka ngapain lagi mas?” tanya Laura ketakutan. “ Ayolah mas , kita pulang. Ntar ribut lagi,” lanjutnya, diakuri Lam Hot .
=======================================================

LAURA dan LAM HOT akhirnya mau masuk ke kamar dengan syarat, hanya minta ijin kepada Susan. Aku berpura-pura mengetuk pintu kamar sambil memanggil Susan seperti orang sedang berbunga-bunga.” Susan...Susan..bukan pintunya sayang. Abang pulang, buka sayang.....” Setelah menunggu beberapa saat, aku memberi kunci kamar kepada Susan; “ Mungkin Susan ketiduran, tolong bukakan pintunya,” pintaku.

Dengan perasaan berat Laura membuka pintu. Setelah masuk kamar, aku mengetuk pintu kamar mandi seraya memanggil nama Susan, sementara Lam Hot dan Laura masih berdiri didepan pintu. Keduanya masuk setelah tak menemukan Susan dalam kamar. Adikku Lam Hot tersenyum pahit sambil memalingkan wajahnya setelah sadar mereka dikerjain. Laura dan Lam Hot saling memandang, ketika aku berpura -pura memutar telepon. “ Mas, mau telepon siapa malam-malam begini,?” tanya Laura.

“ Mau telepon ke Medan, minta ijin pulang pada Susan, perempuan yang tak waras itu,” jawabku menyindir Laura, sambil menatap keduanya bergantian. Lam Hot mendekatiku, berbisik dalam bahasa ibu: “ Bang nggak usah menyindir seperti itu. Ayolah kita pulang, kasihan Laura, sudah larut malam. Besok kita harus ngantor lagi,” ujarnya sambil mengambil gagang telepon dari peganganku. Laura terus membujukku pulang tetapi aku menolak.

Sepertinya tulang-tulang tak mampu menahan tubuh, kepala terasa mau pecah, aku terjatuh diatas tempat tidur. Lam Hot memopongku ke kamar mandi setelah mengetahui aku mau muntah diatas tempat tidur. Dia menyiram kepala dan membasahi separuh tubuhku. Kali kedua malam ini, isi perut tertumpah ruah.

Keluar dari kamar mandi, aku melihat Laura berbicara lewat telepon, wajahnya tampak serius. Tak lama kemudian dia menyerahkan gangang telepon kepada Lam Hot. Laura mengambil t-shirtku dari tangan Lam Hot, kemudian mencoba mengenakan pada tubuhku yang masih bertelanjang dada. Wajahnya cembrut ketika aku menolak dia untuk mengenakan t-shirt itu pada tubuhku.

Lam Hot menyerahkan kembali gagang telepon kepada Laura, sementara aku sudah terlentang diatas tempat tidur. Sambil,berbicara lewat telepon, Laura menarik selimut dan membungkus tubuhku. Dalam percakapan, aku mendengar dia menyebut nama Magdalena.
“ Mas Tan Zung nggak apa-apa kok mbak....mungkin sedang pusing. Iya...nanti kami bawa pulang. Besok pagi dia akan ke kantor cabang Bandung. ...oh...iya sebentar. Nih mbak......mas...mas! mbak Magda mau bicara,” ujarnya. Aku menolak berbicara dengan Magda. Sebenarnya, aku ingin berteriak memaki-maki dia. Hati masih merasa terasa perih setelah sore sebelumnya menutupkan telepon tanpa alasan yang jelas. Laura mendekatkan gagang telepon ke telingaku karena aku tak menggubrisnya. Aku mendengar suara Magda memanggil-manggil namaku. “ Bang, aku salah. Magda minta maaf.!” Aku bergeming seraya membalikkan tubuhku membelakangi Laura.
***
Laura melarang Lam Hot membuka pintu kamar, setelah seseorang mengetuk dari luar; Laura membangunkanku yang hampir ketiduran. Aku segera meloncat dari tempat tidur ketika dia menyebut nama Rizal. Tidak berapa lama Rizal dan seorang temannya bersamaku di dalam kamar. Dia menyerahkan satu envelope, tak tahu pasti isinya apa. Tetapi aku menduga, isinya sejumlah uang. Kalau “iya”, lalu uang untuk apa? Jatah centeng.?”

“ Bang, ini titipan dari anak-anak. Mereka minta maaf. Mungkin besok mereka mau ketemu abang,” ujar Rizal. Sebelum meninggalkan kamar, aku mengingatkan Rizal supaya tidak memberitahukan alamat rumah dan tempat kerjaku. Didepan pintu kamar, teman Riizal mengatakan; “ Mungkin mereka mau mengajak mas kedalam kelompok mereka.” Namun, Rizal dan temannya tidak tahu apa nama kelompoknya berikut nama bossnya. Dihadapan Lam Hot dan Laura aku membuka titipan Rizal. Aku merasa surprise, tak menduga jumlah yang ada dalam envelope setara enam bulan gaji yang aku terima dari kantor. Kami bertiga saling berpandangan.

“ Hati-hati bang, jangan merasa hebat dengan pemberian uang itu. Itu hanya pengantar ke neraka.” ingat Lam Hot. Peringatan Lam Hot ini membuat Laura semakin ketakutan. Dia terus mendesakku segera keluar dari kamar hotel. Tak merasa sungkan, di saksikan Lam Hot, dia mendekapku seraya berujar ditelingaku : “ Mas, ayo kita pulang. Aku ketakutan mas, kalau nanti terjadi apa-apa.” Kemudian, dia menempelkan pipinya ke pipiku, masih membujukku supaya pulang ke rumah. Aku menyerah. Kembali Laura mencium pipiku setelah aku bersedia keluar dari kamar hotel dan pulang kerumah. “ Duh susahnya ngebujuk mas,” ujarnya gemas sambil mencubit daguku.

Laura dan Lam Hot sepakat mengantar aku duluan, mereka masih khawatir aku akan kembali ke hotel. Aku protes. Laura setuju, Lam Hot diantar suluan. Tiba di tempat kos Laura menyuruh taksi menunggu. Dia menuntunku masuk kedalam kamar, walau aku menolak. “ Aku bisa jalan sendiri,” ujarku seraya menepis tanganya tetapi tangan Laura terus menempel pada lenganku hingga ke kamar.

“Pulanglah, nanti taksinya menunggu kelamaan,” ujarku mengusir secara halus ketika masih duduk di kursi kamarku.
“ Mas, masih marah?”
“ Iya. Aku muak kepada Magdalena dan padamu juga. Kalian menganggapku bagaikan tikus sampah. Aku cukup dewasa untuk memutuskan sesuatu. Kamu dan Magda menganggapku seperti manusia tak bermoral. Entah apa lagi kepentinganmu mencampuri urusan pribadiku.”
“ Kami sangat sayang pada mas.”
“ Kami? Kami itu siapa? Laura masih sayang padaku? Sehingga sesukamu mencampuri urusan pribadiku.? Huh...Magda yang aku akrabi selama lebih lima tahunpun tak lagi menyayangiku. “ ujarku kesal.

“ Aku minta maaf mas, kalau masih mencampuri urusan pribadimu,” ujarnya nelangsa sambil beranjak dari kursi. Oalah...baru saja aku menghardiknya, tiba-tiba aku” jatuh” ketika melihat rona wajah Laura. Sebenarnya amarahku hanya pelampiasan kepada Magda. Aku segera bangkit dari tempat tidur sebelum Laura melangkah keluar dari kamar. “ Maaf Laura, aku marah dan sakit hati kepada Magda. Kamu jadi ikut korban.” Aku membujuk Laura duduk kembali. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/