Sunday, May 31, 2009

Telaga Senja (44)

Will You Still Love Me Tomorrow?
Tonight you’re mine/Completely./You give your love/So sweetly.
Tonight the li-i-ight/Of love is in your eyes,/But will you love me tomorrow?


Is this a lasting Treasure//Or just a moment’s Pleasure?
Can I belie-e-eve/The magic of your sighs?/Will you still love me tomorrow?


Tonight with words Unspoken/You say that I’m the only one,
But will my heart /Be broken
When the night (When the night..)Meets the mor- (Meets the mor..) -Ning sun.

I’d like to know/That your love/Is love I can/ Be sure of.
So tell me no-o-w/ And I won’t ask again./Will you still love me tomorrow?/ /Will you still love me tomorrow?
==============
“ Makananmu lebih enak karena sudah dibungkus dengan doa.”
Spontan Laura ketawa lepas, dia berlari ke kamarnya sambil memegang perutnya. Yeach....selesailah sudah “ dosa “ku malam ini. Perasaan tidak lagi dihantui rasa bersalah karena “kelakuanku” di resaturan, apalagi setelah melihat Laura merespons setiap guyonanku.
==============
SETELAH selesai makan malam , aku menanyakan barang titipan maminya yang kami jemput. Laura menunjukkan jari manisnya melingkar cincin bermata merah delima, mungil, luput dari perhatianku lantas dia menyodorkan tangannya mendekat kearahku ; seketika itu mengingatkan janjiku kepada Magdalena yang belum kupenuhi, mengirimkan kalung bermata berlian pengganti kalung yang buang ke toilet ketika kami “bersengketa” sehari sebelum aku kembali ke Jakarta.

“ Dari mami atau dari pacar,” tanyaku
“ Dari mami. Yang ini dari “pacarku” , cakepan yang mana,?” tanyanya.
“ Keduanya bagus. Pacar mu tinggal dimana?”
“ Di Yogyakarta,” ujarnya diiringi tawa.
“ Fotonya yang ada dalam album,” tanyaku serius.
“ Bukan! Kami sudah nggak lagi sejak tahun lalu.”
“ Oh...kamu punya pacar lain.?”
“ Belum punya mas. Cincin ini dari “pacar” yang di Yogya itu ayahku,” katanya diiringi tawa.
“ Lho, kok....”
“ Iya mas. Dia itu ayahku, kakak, sahabat dan” pacar”ku. Aku hanya putri tunggal, nggak punya adik dan kakak .” tuturnya.
“ Putri satu-satunya kok papi-maminya tega melepaskanmu jauh dari mereka, kos lagi. Kenapa nggak tinggal berdsama tantenya?

“ Sebenarnya papi-mami merasa berat melepaskanku kerja di Jakarta. Sebelumnya aku bekerja diperusahaan papi kurang lebih setahun. Tetapi aku diperlakukan sama seperti dirumah bukan sebagai pegawai, terlalu dimanjakan. Aku tidak merasa enak dengan pegawai lainnya, selain itu, aku merasa perlakuan papi terhadapku akan menghambat perkembangan karir, karena nggak ada tantangan, sehingga kuputuskan keluar dari perusahaan papi.

Mami terus membujukku dengan urai airmata selama beberapa hari agar menungurungkan niatku. Aku juga hampir membatalkan niatku, aku kasihan kepada mami bila aku pisah ,dia dan aku seperti kehilangan sahabat. Mami tempatku curhat ketika pikiranku sumpek. Tetapi aku sudah tekad, ingin membina karir melalui usahaku sendiri. “
“ Kenapa nggak mau kerja di pemerintahan. Bukankah ada oom mu mempunyai jabatan menentukan.?”
“ Sampai sekarang belum ada niat masuk pegawai negeri.” jawabnya.
“ Kenapa nggak tinggal dengan oom Felix.?”
“ Apa bedanya aku tinggal dengan papi-mamiku ? Oom dan tante juga terlalu memanjakanku. Kapan aku dewasa? Mereka juga nggak setuju aku naik motor. Aku maklum kekhawatiran mereka karena aku hanya putri semata wayang, takut terjadi apa-apa. Tapi kelangsungan hidup ditangan Tuhan, bukan.!?”

“ Apa lagi sih yang Laura cari? Putri satu-satunya, orangtua punya perusahaan.!”
“ Kepuasan batin mas.!”
“ Kepuasan yang bagaimana maksudmu? Bukankah semua telah tersedia?”
“ Belum mas! Aku belum punya apa-apa. Harta orangtuaku bukan milikku.”
“ Ya, belum sekarang. Tetapi nanti tokh menjadi milikmu sendiri.?”
“ Nanti? Nantinya kapan mas? Setelah kedua orangtuaku meninggal? Papiku juga menyatakan itu. Aku merasa puas bila dapat menyalurkan hasrat dan karunia yang ku miliki melalui jerih payahku, sederhana bukan?”

“ Nggak. Jalan pikranmu rumit. Kamu juga bekerja, sekarang, untuk mencari uang dan sebenarnya semua telah tersedia didepan mata.”
“ Aku tidak membantah itu mas. Tapi semuanya jerih payah orangtuaku, kelak menjadi milikku setelah kedua orangtuaku menghadap khaliknya. Lalu, maksud mas, aku akan membelengu diriku sebelum mereka “pergi”? Diam dan cukup berpangku tangan? Capek sekolah hanya mengharap jerih payah orangtua? Masa semut lebih “wise” dari diriku.!?”

“ Ah ..itu semut jaman dulu, ketika gula atau manisan sangat terbatas, sekarang bertabur dimana-mana. Kini semut nggak perlu pontang-panting seperti dulu, mengumpulkan makanan untuk satu musim,” kelakarku.

Percakapan kami terhenti setelah dering telpon. “ Telpon dari adik Lam Hot,” ujar Laura. Lam Hot merasa kesal setelah menunggu lama tak kunjung datang kerumahnya dan tak menemuiku di tempat kos. Dia mengira aku membatalkan kepindahanku setelah bertemu dengan Laura.

“ Bang, aku seharian nungguin, kapan jadi pindahan.?” tanyanya diujung telpon.
“ Besok saja, sekarang sudah kemalaman.”
“ Gimana sih bang, katanya mau mejauhi Laura, kok malah ngendon disana.?”
“Ya, Besok sudah pasti, sebentar aku mau pulang,” jawabku mengakhiri percakapan.
“ Adik Lam Hot marah?” tanya Laura.
“ Ya. Dikirain aku nggak jadi pindahan.”
Laura kaget mendengar rencana kepindahanku “ Mas mau pindah? Pindah kemana? Kok nggak bilang-bilang?” tanyanya. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, May 28, 2009

Telaga Senja (43)


Cintamu terbayang selalu/ hingga waktu tidurku/
Saat kau menyebut namaku/ kau memanggilku sayang
Ketika cinta semakin dalam/ Segalanya pun berubah
Kenangan indah tak terlupakan/ Menjadikan suatu pertanda
Kau buka pintu hatiku/ Dalam kesepianku kau beri
Sentuhan cinta darimu/ Hapuslah airmataku
Cintamu terbayang selalu/ Semua dalam perjalan yang panjang
Saat kau menyebut namaku/ Kau memanggilku sayang.

===============
Ironisnya, ketika Djaudut ditanyakan hubungan keluarganya dengan Ron, dia selalu mengaku sepupu jauh, pada hal aku tahu pasti orangtua mereka kakak adik, satu ibu satu ayah. Memang kebetulan pula orangtua Ron hanya pedagang kresek ( kios kecil dipinggir jalan, pen). Ah...termasuk manusia lanteung juga kawan itu, kataku dalam hati seraya terus melihat foto-foto keluarga tante Laura.
==============
TENGAH asyik melihat foto, aku mendengar suara bariton menyapaku: “ Selamat malam! Tan Zung iya ? “ tanyanya seraya menyodorkan tangannya. Aku sambut tangannya dengan sedikit kikuk. Wajah persis sama dengan foto yang tergantung , ini pasti Felix om Laura, simpulku dalam benak. Dia memanggil pembantu perempuan,” mbak tambah lagi minuman mas Tan Zung,” perintahnya seraya meletakkan kacamatanya diatas piano merk Baldwin.

Felix permisi meninggalkanku diruang tamu sendirian. “ Zung ditinggal dulu, om mau bicara dulu dengan tante dan Laura di ruang belakang,” ujarnya.
Sepeninggalnya, mataku terus bertualang menjelajah sudut-sudut ruangan yang dipenuhi dengan barang-barang antik serta ragam kristal pajangan buatan Italy. Disalah satu sudut ruangan, dua vas bunga ukuran sedang berisi bunga angrek segar, mengapit satu guci berukuran besar lapis luarnya beraksara Jepang; Diatasnya, tergantung gambar Ibunda Maria.

Hati terusik ketika melihat seuntai rosario melingkar pada plakat pualam berwarna hijau muda, Diatas plakat itu bertuliskan ayat Alkitab. Hmm, seandainya Laura memilkinya, aku tak akan sungkan memintanya. Aku beranjak dari tempat duduk dan menyentuh rosario yang sudah lama tak pernah menghiasi leherku. Rosario itu menukil kenangan, tempo dulu, ketika mengenyam pendidikan di sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun yang dikelola oleh yayasan Katolik. Ketika itu, tangan seorang imam berkewarganegaraan Belanda mengalungkan rosario itu kemudian menjabat tanganku erat.

Sedang khusuk menyentuh rosario dan membaca ayat suci yang tertulis diatas plakat itu kemudian mencium salib yang tertaut dengan rosario, Laura menyapaku dari belakang. “ Zung, maaf menungguku terlalu lama,” ucap Laura lantas mengajakku keruang tamu. Felix dan Martha menyusul bergabung dengan kami.

Dengan santun Felix menanyakan keberadaan orangtuaku dan jumlah bersaudara, sedikit menyinggung pekerjaan. Kemudian tante Martha menanyakan sudah berapa lama tinggal di Jakarta, tammat dari universitas mana. “ Punya saudara di Jakarta,?” tanyanya.

Sebelum melanjutkan pertanyaan lainnya, aku minta ijin pulang meski Felix dan istrinya Martha ingin mengobrol lebih lama,” Kenapa buru-buru? Besok kan nggak kerja,?” ujar Felix.

“ Mas Tan Zung ada janjian,” tukas Laura. Felix dan istrinya Martha mengijinkan kami pulang setelah Laura memberi alasan. “ Sering main kesini Zung,” ajak Martha sementara Felix memanggil sopir dan menyuruh mengantarkan kami pulang.
***
Laura mengajakku mampir direstauran setelah aku menolak makan malam dirumah om Felix. “ Kita makan dirumah saja iya mas,” ucapnya sebelum memesan makanan. Aku buru-buru membayar setelah melihat dia membuka dompetnya. “ Jangan mas, kan aku yang ngajak mampir!” suaranya memelas.

“ Boleh kau yang bayar, tetapi lain kali aku nggak mau kau ajak makan lagi,” balasku.

Wajahnya sedikit berubah mendengar ucapanku, juga kasir mengenyitkan keningnya. Ah....Laura bukan Magda, Susan dan Rina; ketiganya sudah terbiasa dengan suara ketus dan celutukanku ala Medan. Sadar atas ucapanku rada kasar, aku bisikkan ketelinganya, “ Laura, maaf suaraku agak kencang. Aku kelaparan,” ujarku menciptakan alasan.

Laura tidak menjawab, dia hanya melihatku, bibirnya mengukir senyum. Mungkin saja senyumnya tulus, tetapi aku merasakan senyuman ngenyek. Terpaksa putar otak bagaimana cara mengobati hatinya yang “tercubit” karena ucapanku. Laura menegurku karena berhenti disisi jalan sambil melongok kiri kanan ; “ Ngapain mas berhenti disini.?”

“ Menunggu taksi,” jawabku
“ Kenapa naik taksi? Mobilnya masih parkir diseberang sana, sopirnya sedang menunggu kita mas,” balasnya ketawa geli. Akupun tak dapat menahan rasa malu meski kututupi dengan tawa. Aku benar-benar merasa bersalah karena sikap ketusanku tadi. Dalam perjalanan pulang Laura terus ketawa sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. “ Memang benar mas kelaparan hingga pangling begitu?” tanyanya masih ketawa.

“ Bukan. Aku terus merasa bersalah karena Laura belum menerima maafku,” balasku.
“ Ah..mas, kenapa jadi serius? Nggak apa-apa kok. Aku tahu kebiasaan orang Sumatera, berbicara, aku punya banyak teman dari sana ketika masih kuliah,” ujarnya menghibur.

Menutupi rasa grogi, aku membantu Laura menyiapkan makanan yang kami beli di resaturan. “ Mas waktu kuliah tiggal dengan orangtua atau kost?” tanyanya.
“ Aku kost, kenapa?”

“ Mas kelihatan sudah terbiasa melayani diri sendiri,” ujarnya diiring tawa.
" Aku juga sudah terbiasa melayani orang lain," balasku. Rasa grogi dan malu sedikit terusir.
Aku kaget ketika Laura memintaku memimpin doa sebelum makan. Belasan tahun aku sudah meninggalkan kebiasaan seperti ini, kecuali bila dihadapan orangtuaku.
" Beberapa waktu lalu ketika makan direstauran, mengapa Laura nggak berdoa.?"
" Aku berdoa dalam hati mas. Ketika itu aku sungkan berdoa dihadapan mas."
" Lho, berdoa kan pada Tuhan! Sungkan atau malu.?"

" Mas, ayolah, aku lapar nih.!" bujuknya.

" Aku bilang apa sama Tuhan.!?"
" Aku yang pimpin doa iya!" ucapnya setelah aku mengulur jawab.
" Iya. Doanya singkat, padat.!"
Laura tak dapat menahan ketawanya mendengar permintaanku. " Iya, wis, aku berdoa seniri," katanya, kemudian menundukkan kepala, hening sejenak, kemudian berucap,"Amin."
Setelah dia selesai berdoa, aku mengambil sedikit makanan dari piringnya, kemudian mencicipinya. " Memang rasa makanannya beda dengan makananku."

" Nggak ah... wong masaknya sama kok," ujarnya serius.

" Makananmu lebih enak karena sudah dibungkus dengan doa."
Spontan Laura ketawa lepas, dia berlari ke kamarnya sambil memegang perutnya. Yeach....selesailah sudah " dosa "ku malam ini. Perasaan tidak lagi dihantui rasa bersalah karena "kelakuanku" di resaturan, apalagi setelah melihat Laura merespons setiap guyonanku. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (42)




http://www.youtube.com/watch?v=FIlWx4XI6oI


===========
Esoknya, setengah jam lebih awal Laura telah tiba dirumah kemudian menitipkan
motornya kepada ibu kos ku. “ Kita naik taksi saja mas.” ujarnya.
============

Aku terpesona dengan penampilannya sore itu.” Kita mau kerumah tante Laura bukan?” tanyaku menyakinkan.
“ Iya, kenapa mas.?”
Aku kembali kekamar menukar t-shirt yang warnanya agak pudar dengan warna yang lebih cerah untuk mengimbangi pakaian yang membalut tubuhnya. Meski bukan pacar tetapi aku nggak ingin dia merasa malu kepada keluarganya karena penampilanku. Dia menertawaiku ketika keluar dari kamar,” Kenapa t-shitnya diganti, tadi juga bagus kok,” katanya.
“ Bagus yang mana, yang ini atau yang tadi.!?”
“ Keduanya bagus kok mas.!”
“ Apa perlu aku pakai keduanya,?” godaku.
***
AKU agak minder ketika memasuki lingkungan perumahan tante Laura. Hampir semua rumah yang kami lalui berukuran besar dan mewah dengan model arsitek Eropah berikut mobil mewah tongkrong di grasi dan pekarangan rumah. Sepasang anjing jenis herder menyambut kedatanganku dan Laura dengan gonggongan menggelegar. Tetapi keduanya menghentikan gonggongan setelah melihat sosok Laura, lantas tangannya menyentuh dan mengusap-usap tubuhnya; Kedua anjing itu menyambutnya dengan kibasan ekor pertanda" welcome", tampaknya kedua anjing itu telah megenali Laura.

Pembatu pria menyilakan kami masuk ke rumah lewat pintu samping, “ maaf, ruang tamu sedang dipel mbak ” ujarnya. Laura mengajakku masuk setelah tantenya menyuruh kami datang ke ruang belakang; Dia buru-buru meninggalkan kami, mungkin, karena hanya mengenakan daster "rumahan".

” Lho, mbak Laura bawa teman iya, kok nggak beritahu bu le,? Maaf iya mas, aku tinggal dulu,” ujarnya buru-buru meninggalkan kami.
“ Dia tanteku nomor dua, adik lagsung mami, namanya Martha. Mami punya dua adik perempuan, satu lelaki.” jelas Laura.
“ Pantas!”
“ Pantas kenapa mas?” tanyanya heran.
“ Cantiknya persis dengan Laura,” pujiku.
“ Yang benar mas!?”
“ Ya. Tante yang lain tinggal dimana.?”
“ Di Solo, adik ibu yang lelaki di Perancis sedang menyelesaikan program doktoralnya,” urainya.

Sebuah foto ukuran besar terpajang di dinding ruang tamu, agaknya aku pernah ketemu dengan orangnya, tetapi lupa dimana. “
“ Mas, Kenal kan oom itu.?”
“ Ya, Tetapi aku lupa dimana pernah ketemu.!”
“ Dikantor kita. Oom itu salah seorang pemegang saham dan adik oom itu direktur utama perusahaan kita, mirip iya.?” jelasnya seraya menatap foto itu.
“ Lho, kok Laura nggak pernah cerita? Minggu lalu, Laura mengenalkan sepupumu penjaga toko di proyek Senen.”
“ Kebetulan ketemu dengannya mas.”

Tante Martha menemui kami diruang tamu, dia mengajak Laura ke dapur setelah berkenalan denganku; “ Maaf mas, sebentar ditinggal dulu, ada sedikit yang perlu kami bicarakan,” ujarnya.

Belum berapa bulan di Jakarta bergaul dengan sejumlah orang dengan latar belakang budaya hetrogen, sedikit mengubah kebiasaanku berbicara, menyampaikan pendapat misalnya; Gaya meledak-ledak hampir tak pernah muncul lagi, kecuali aksen yang masih sukar disembunyikan. Tak jarang, aksenku, menjadi bahan olok-olokan di kantor maupun didalam pergaulan umum; penempatan kata” dong” dan “sih” juga belum pas.

Seingatku, hanya Laura yang belum pernah menertawaiku jika aksen Batak ku keluar, dan hanya dia pula yang paling sabar melayaniku berbicara meski nada suaraku kuat dan tak pernah menegur, bila menyebut “kau” dalam percakapan dengannya. Beda dengan Rina yang keturunan “Japang” ( Jawa-Padang, pen); dia berang dan segera menegurku bila menyebutnya ”kau”.

Belakangan aku semakin merasakan perbedaan orang Batak, kebanyakan, dengan suku Jawa. Orang Batak mempunyai temperamen meledak-ledak, sementara suku Jawa mempunyai sifat atau karakter “rendah hati dan sabar”; sifat ini dimiliki oleh Laura, aku telah merasakan selama aku mengenalnya. Juga ketika kami dikantor, Laura tidak pernah merasa “lebih” atau patentang-patenteng dengan pegawai lainnya meski oomnya salah satu pemilik saham dan adik oom itu sendiri adalah direktur utama.

Selain itu, sebahagian keluarganya mempunyai jabatan penting di pemerintahan, selebihnya pengusaha sukses. Sebelum dia keruangan belakang dengan tantenya, satu persatu Laura menyebutkan nama dan pekerjaan mereka yang ada dalam foto yang tergantung diruang tamu tantenya.

Tanpa sadar aku senyum sendiri sambil melihat foto lainnya, ingat pengalaman masa kuliah, tempo dulu. Seorang teman, Djaudut, merasa keluarga dekat dengan seorang konglemerat yang kebetulan semarga dengannya. Sedikit saja di “toel” mengenai hubungan kekerabatannya dengan konglemaret itu, mulutnya langsung ngerocos sampai “berbusa-busa”: “ ompung (kakek) kami kakak adik kandung,” akunya. Namun, omong kosongnya tak berlangsung lama, ketika ditanyakan marga isteri konglemerat serta jumlah anak-anaknya, dia gelagapan karena tidak tahu.

Ironisnya, ketika Djaudut ditanyakan hubungan keluarganya dengan Ron, dia selalu mengaku sepupu jauh, pada hal aku tahu pasti orangtua mereka kakak adik, satu ibu satu ayah. Memang kebetulan pula orangtua Ron hanya pedagang kresek ( kios kecil dipinggir jalan, pen). Ah...termasuk manusia lanteung juga kawan itu, kataku dalam hati seraya terus melihat foto-foto keluarga tante Laura. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung


Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, May 22, 2009

Telaga Senja (41)

Late at night when all the world is sleeping /I stay up and think of you /And I wish on a star that somewhere you are /Thinking of me too

Cause I'm dreaming of you tonight /Till tomorrow I'll be holding you tight /And there's nowhere in the world I'd rather be /Than here in my room dreaming about you and me

Wonder if you ever see me /And I wonder if you know I'm there /If you looked in my eyes /Would you see what's inside /Would you even care?

I just wanna hold you close /But so far all I have are dreams of you /So I wait for the day /And the courage to say how much I love you /Yes I do!
I'll be dreaming of you tonight /Till tomorrow I'll be holding you tight /And there's nowhere in the world I'd rather be /Than here in my room dreaming about you and me

Corazón
I can't stop dreaming of you /No puedo dejar de pensar en ti /I can't stop dreaming /Cómo te necesito /I can't stop dreaming of you /Mi amor, cómo te extraño

Late at night when all the world is sleeping /I stay up and think of you /And I still can't believe /That you came up to me and said "I love you" I love you too!

Now I'm dreaming with you tonight /Till tomorrow and for all of my life /And there's nowhere in the world I'd rather be /Than here in my room dreaming with you endlessly /
Dreaming of you tonight /Till tomorrow I'll be holding you tight /And there's nowhere in the/ world I'd rather be /Than here in my room /I'll be dreaming of you tonight /Endlessly /And I'll be holding you tight / Dreaming...with you...tonight !
=========
“ Istrahat dikamarku saja mas, nanti aku bangunin,” saranya.
“ Aku mau telephon orangtuaku,” dalihku
“ Mas, besok kita berangkat sama ke kantor. Aku jemput mas,” ujarnya sebelum aku meniggalkannya.
==========
ESOK paginya Laura yang seharian dipanggil Lala nyamperin ke tempat kos. Aku kaget ketika keluar dari kamar mandi melihat Laura duduk diruangtamu. Buru-buru aku menutupkan tubuhku yang setengah telanjang sambil berlari kecil masuk kekamarku.
“ Laura datangnya pagi benar, aku belum siap nih.”
“ Nggak usah buru-buru mas, masih ada waktu,” ujarnya mengumbar senyum.
“ Mas, mau dibuatkan kopi?” tanyanya.
“ Nggak usah, biar aku buat sendiri,” jawabku dari dalam kamar.

Tanpa merasa canggung Laura mengetuk pintu kamar menanyakan tempat gula. Laura ketawa ketika mendengar aku kehabisan gula. “Habis dilalap semut iya mas?” teriaknya dari balik pintu.
“ Iya, semut nakal melahapnya tanpa sisa,” balasku bercanda.

Pagi tiu tidak seperti biasanya, ibukos menyediakan dua pasang piring dan cangkir sarapan pagi.” Iya itu buat kalian berdua,” ucap ibukost ketika aku tanyakan mengapa menyiapkan sepasang piring dan cangkir. Ah...ibu bikin perkara, kataku dalam hati. Diajak takut dia mau, nggak diajak nggak sopan.

Belum aku tawarin, Laura mendekat kemeja makan; dia mengisi air putih kecangkir dan mendekatkan roti serta pisau roti ke depanku , kemudian memindahkan kopi yang dia seduh dari meja ruang tamu. Oalahh...sibuk kali pun kawan ini, pikirku. Laura menolak ketika aku ajak serapan bareng. “ Terimakasih mas, aku masih kenyang,” katanya. “ Nggak apa-apa mas, aku duduk disini?” tanyanya.

“ Ngga takut dilihat oleh pacarmu.?”
“ Aku ngga punya mas.”
“ Laura sudah putus.?”
“ Putus dengan siapa, mas sok tahu ah...!”
“ Lho, aku lihat foto mu mesra dengan lelaki lengkap dengan toga wisuda.”
“ Mas, nakal. Lihat didalam albumku iya.?”

Laura tersipu malu ketika aku bertanya: “ Kok fotoku ada dalam album, Laura dapat dari siapa?”
“ Ada deh. Emang nggak boleh?” tanyanya sedikit manja.
“ Nggak ada yang larang. Memang fotoku bertebaran dimana-mana kok,” ucapku geer.

Tanpa aku minta Laura sibuk menyimpan piring dan cangkir serta membersihkan meja makan setelah selesai serapan. Dia mengingatkanku membawa berkas-berkas yang dibawa dari kantor, lantas menyerahkan kunci motor vesva miliknya.

Sebenarnya aku mulai merasa risih setelah selama dua minggu beruntun Laura mengajakku pergi dan pulang bareng dengannya, sementara aku telah merasakan ada getaran kasih pada dirinya. Sikap dan ucapannya dikantor dan selama perjalanan selalu bernuansa cinta. Sebelum terkapar dalam keramahtamahan dan kelembutannya, kepalaku pusing mencari alasan untuk menjauhinya, setidaknya menghindar pergi pulang bareng.


Minggu ketiga aku menemui adik ingin meminjam uang untuk beli motor bekas, tetapi dia menolak dengan alasan takut tabrakan. Adikku heran kenapa rencanaku begitu tiba-tiba. Dia bergeming meski aku sudah sampaikan alasan; “ Aku tak ingin ada korban perempuan lain lagi, cukupllah sekali calon kakakmu Magda merasakan penyiksaanku,” uraiku.

Lam Hot adikku memberi saran, agar aku mencari rumah dekat dengan kantor; “ Meski lebih mahal tetapi tidak mengeluarkan biaya transport sekaligus punya alasan menjauh dari Laura. Nggak apa, aku yang bayarin untuk bulan ini,” ujarnya. Esok harinya kami mencari tempat kos disekitar kantor. Adikku langsung membayarkan kepada pemilik rumah, tetapi dia merasa kesal ketika dia melihatku masih bimbang. “ Abang serius nggak mau menjauh dari Laura, kok kelihatannya ragu-ragu.?” tanyanya dengan wajah masem.

“ Terlalu mahal,” keluhku.
Gimana sih, katanya akuntan. Abang hitung saja sendiri berapa biaya transport bulanan tambahkan dengan biaya kos setiap hari. Oh...iya, aku lupa, abang bebas biaya transport karena diantar jemput nona Laura,” ujarnya ngakak.

Sabtu akhir bulan sebelum aku pindah, Laura mengajakku kerumah tantenya di Kebayoran Baru. Aku berusaha menolak dengan alasan aku ada janji dengan seseorang. Laura terus membujukku hingga aku luluh. “ Nggak lama kok mas, hanya mau jemput titipan dari mami.”
Esoknya, setengah jam lebih awal Laura telah tiba dirumah kemudian menitipkan motornya kepada ibu kos ku. “ Kita naik taksi saja mas.” ujarnya.

Los Angeles. May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (40)




http://www.youtube.com/watch?v=3QoLoSQT1qY

Have you ever been in love /You could touch the moonlight / When your hearts shooting stars / Youre holding heaven in your arms /Have you ever been so in love /Have you ever walked on air /Ever felt like you were dreamin /When you never thought it could /But it really feels that good /Have you ever been so in love
Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting star / Youre holding heaven in your arms /Have you ever been in love, have you... / The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it dont let go, I know

Have you ever said a prayer /And found that it was answered /All my hope has been restored /And I aint looking anymore /Have you ever been so in love, have you... /Some place that you aint leavin /Somewhere youre gonna stay /When you finally found the meanin /Have you ever felt this way
The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it, dont let go, /I know... /Coz have you ever been so in love, so in love /You could touch the moonlight /You can even reach the stars /Doesnt matter near or far
Have you ever been so in love /Have you ever been in love /Have you ever been in love /So in... love...
========
“ Zung! cinta itu kadangkala bagai bayang, siapa dapat mengurai lekuk dalam bayang itu.?” ucap Neneng diiringi tawa.
“ Demikian juga dengan pemilik bayangan itu, tak menyadari bayangannya jatuh dalam pelukan rindu seseorang,!” balasku renyah.
========

AKU dan Neneng menemui Laura setelah pulang kantor. Laura kaget melihat kedatanganku dan Neneng. Dia tidak dapat menyembunyikan wajah kecewanya ketika aku mengulurkan tanganku; Juga tidak menyahut ketika aku menyapa dan bertanya sakit apa. Secara tidak langsung Neneng berusaha menjelaskan kepada Laura tentang keberangkatanku ke Medan melalui sejumlah pertanyaan yang diajukannya kepadaku.
Laura mulai tertarik dengan penjelasanku kemudian bertanya: “ Jadi mas pulang bukan karena mau menikahi Rina.?”

“ Tidak. Kamu kenal Rina ?”
" Ya. Dia satu angkatan denganku beda jurusan."
Neneng heran mendengar tuturan Laura, kemudian dia meninggalkanku dan Laura setelah melihat komunikasi terjalin akrab. Laura membujukku agar pulang belakangan;” Mas, tolong temani Laura ke apotik," pintanya. " Tunggu sebentar mas aku mau ganti pakaian,” imbuhnya, setelah aku menganggukan kepala tanda setuju.
Sementara menunggu Laura mengganti pakaian, aku iseng membuka album yang terletak diatas televisi ukuran 19 inci. Sejumlah foto lama dan baru tertata rapi, mataku tertarik dengan satu lembar foto lengkap dengan pakain toga wisuda. Seorang lelaki mendekap Laura mesra, pipi keduanya menyatu sembari terseyum.

Dibawah foto itu terselip fotoku setengah badan bekas guntingan. Dihalaman paling belakang masih ada fotoku terpampang dengan pose berbeda dibingkai dengan gambar heart. Segera aku menutup album setelah mendengar langkah Laura keluar dari kamarnya.
“ Mau ke apotik atau ke pesta nih?” tanyaku. Laura tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Sebelum kami keluar, Laura memperkenalkanku kepada ibu kos.
“ Ini toh mas Tan Zung itu?” ucap ibu kos. Aku menyambut tangan ibukosnya, hhm..namaku ternyata telah berkibar dirumah ini, kataku dalam hati.

Aku merasa geli ketika aku naik beca dengan Laura; Ingat “perintah “ kedua Magdalena ketika cinta masih berbunga-bunga: “Tidak boleh naik beca berduaan dengan perempuan kecuali dengan Magda atau nenek-nenek.”
“ Mas, kok senyum sendiri, ada yang lucu.?”
“ Nggak ada. Sakit apa sih kamu.?” tanyaku mengalihkan pertanyaanya.
“ Hanya flu.”
“ Bukan karena merindukan seseorang.?”
“ Nggak tahu,” jawabnya lantas dia menatapku.
“ Besok sudah bisa masuk kantor.?”
“ Belum tahu mas.!”

“ Apa perlu lagi kita ke apotik, bukankah obatnya sudah ada di sisimu.?”
Laura kembali menatapku diiringi senyum. Segera dia menyuruh tukang beca berhenti. Sesaat kemudian Laura menghentikan taksi: “ Pak ke Pecenongan,” ujarnya seraya menarik tanganku masuk kedalam taksi.
“ Ke Pecenongan mau ngapain,?” tanyaku.
“ Kita makan dulu, aku lapar mas.”

Sikap Laura sedikit agresif menghilangkan rasa engganku duduk bersentuhan dengannya. Agaknya Laura merasakan jika dia telah memiliki "bayangan" yang belakangan ini pemilik bayang itupun menangkap bias, sebagaimana pengakuan Neneng teman sekantor kami.
Tiba di restauran, Laura lulusan salah satu universitas negeri di Yogyakarta itu memintaku memilih makanan untuk kami berdua. Hmmm....sikapnya mengingatkanku masa lalu ketika Susan memintaku memesan makan malam disebuah restauran tergolong mewah.
“ Laura mau pesan apa?"
" Terserah mas mau pesan apa.”
“ Aku pesan soto saja, seminggu ini aku kecarian.”
“ Mas, pesan yang lain. Disini nggak ada soto. Apa mas nggak bosan, setiap hari dikantor makan soto?” ujarnya ketawa.

Laura tidak sedikitpun merasa canggung ketika kami menikmati makan malam, dia menambah makanan dan minuman ketika piring dan cangkirku mulai kosong. Sikapnya membuat aku gerah sementara bayang wajah Magda menghantuiku. Kemarin malam sebelum berangkat ke Jakarta, menurutku, kami menyemai ulang cinta yang hampir layu meski melalui jalan berliku, namun akhirnya tetesan embun pagi menambah subur semaian , kelopak itu mulai merekah.

Keramahan Laura selama makan malam itu, membuat hati galau dan semakin tak mampu duduk lebih lama bersamanya. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan bila Laura bicara "nyerempet" tentang cinta. Bayang-bayang wajah Magda dan airmatanya masih terasa hangat membasahi telapak tanganku.
Mungkin Laura mulai merasakan ketidak tertarikanku menanggapi setiap pembicaraannya, dia mengajak pulang. Laura buru-buru membuka dompetnya ketika aku mau membayar makanan kami. “ Aku yang ajak mas makan, bukan.!?” protesnya.

Tiba dirumah, Laura berusaha menahanku mengobrol lebih lama, sementara hatiku meluap ingin segera pulang kerumah menelephon Magdalena.
“ Laura, aku mau istrahat dulu. Selama di Medan aku kurang istrahat, sibuk ngurusin Rina.”
“ Istrahat disini saja mas, nanti aku bangunkan,” sarannya.
“Aku mau telephon orangtuaku,” dalihku . Dengan perasaan berat, Laura mengijinkanku pulang.
“Mas, besok kita berangkat sama ke kantor. Aku jemput mas,” ujarnya sebelum aku meniggalkannya. ( Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (39)

Rescue me from the mire/Whisper words of desire/Rescue me - darling rescue me /With your arms open wide/Want you here by my side/Come to me - darling rescue me /When this worlds closing in/Theres no need to pretend/Set me free - darling rescue me

I dont wanna let you go/So Im standing in your way/I never needed anyone like Im needin you today

Do I have to say the words? /Do I have to tell the truth? /Do I have to shout it out? /Do I have to say a prayer? /Must I prove to you how good we are together? / Do I have to say the words

Rescue me from despair/Tell me you will be there/Rescue me - darlin rescue me / Every dream that we share/Every cross that we bear/Come to me - darlin rescue me
SEPANJANG perjalanan dalam pesawat, benak diliputi sejuta tanya. Sukar menerjemahkan scenario yang baru saja aku dan Magda lakoni. Aku sukar mengerti makna pemberian kalung itu. Apa pula yang membuat hatinya berubah sehingga dia mau menerima kalung yang akan aku kirimkan minggu depan, sementara tadi malam dia menolak keras pemberianku?. Atau adakah “roh” lain berbisik kepadanya, bahwa kalung itu adalah hasil dari meja judi? tanyaku dalam hati sekedar menghibur diri.

Kejadian kemarin malam mengingatkan nasihat Susan, dosen sekaligus pacarku(dulu) atas Magdalena: “ Jangan bersikap kasar dengannya, dia perempuan polos berhati lembut. Lima tahun tahun pacaran, buat perempuan sudah lebih dari cukup mengenal kepribadian teman prianya. Meski kalian tak lagi berhubungan, hatinya tak akan mampu melupakanmu. Apalagi Tan Zung cinta pertamanya. Sebaliknya kamupun demikian,” nasihat Susan kala itu.
***
AKU merasa surprise ketika tiba, kedua orangtua Rina dan adikku Lam Hot serta Rima pacarnya menjemputku di airport. Ayah Rina merangkulku erat. “ Terimakasih nak. Rina sehat-sehat saja?” tanyanya dengan mata berbinar. Ibu Rina juga memelukku setelah suaminya melepaskan pelukannya. “ Rina sehat. Dia tinggal bersama dengan keluarga calon isteriku.” jawabku
“ Rina masih marah kepada ibu?” tanyanya ketika kami dalam mobil menuju kerumah.
“ Nggak. Rina nggak pernah marah kepada bapak dan ibu.”
“ Berapa ibu harus bayar uang kostnya, sebelum ibu nanti menjemputnya.”
“ Oh..tidak usah. Rina sudah dianggap keluarga kami. Juga om dokter Robert bersedia memeriksa kandungannya hingga bersalin secara gratis.. Ibu jangan menjemput Rina dalam waktu dekat ini. Biarkan dulu dia disana menenangkan diri.”

” Ayah dan Ibu Rina terdiam mendengar jawabanku. “Terimakasih Allah, malaikatMu telah menolong anakku,” ucap ibu Rina lirih. Dalam hatiku berujar, malaikat tanpa sayap. Tak puas berbicara didalam kenderaan selama dalam perjalanan dari airport, kedua orang tua Rina mengajakku ke rumah mereka.

Lagi-lagi keduanya minta maaf, karena telah menudingku menghamili anaknya Rina. Juga, mereka menyesalkan adiknya Wiro di Medan karena memaksaku nikah dengan Rina.
Sepanjang percakapan kami menyangkut dengan putrinya, aku merasa risih dengan sikap ayah dan ibu Rina karena menganggapku sebagai dewa penolong putrinya. Sementara Lam Hot berulangkali minta maaf dikamar.

“ Bang, kenapa hari itu abang bilang, bertanggungjawab?”
“ Aku tidak mengatakan bertanggungjawab karena aku menghamilinya. Sebenarnya kita semua bertanggungjawab atas janin dalam kandungannya, persetan siapa yang telah menghamilinya. Aku mau mengambil tanggung jawab karena merasa kasihan setelah kamu ikut-ikutan seperti calon mertuamu, lanteung itu, merajam bahkan tega mengusir Rina dari rumah; kalian semua pengecut. Coba kamu bayangkan, seandainya Rina bunuh diri, dua nyawa melayang percuma, hanya karena manusia-manusia sok moralis seperti kau dan calon mertuamu .

“ Wajarlah kedua orangtuanya kesal dengan Rina, karena menaruh aib ditengah keluarga mereka.”
“ Tetapi tidak harus mengusirnya seperti hewan. Nah, sekarang mereka menyesal setelah Rina merasa terbuang di kota yang tak pernah dikenalnya. Sekarang menyesal dan merengek supaya Rina kembali.“

***

HARI pertama masuk kantor setelah cuti empat hari, aku merasakan suasana “gerah”, berbeda ketika minggu pertama masuk kerja, aku merasakan welcome. Ketika aku ingin menemui atasanku manager keuangan, suasana begitu cepat berubah, Neneng asisten manager yang mentrainingku mengajakku ke luar ruangan kerja.“
“Mas tidak mengambil cuti honey moon?”
“ Siapa yang menikah.?”
“ Lho! pulang ke Medan bukan karena menikah.?”
“ Bukan. Aku hanya ada urusan keluarga. Neneng tahu darimana kalau aku nikah ? Oh..Itu sebabnya rekan-rekan agak sinis terhadapku.?”
“ Iya mas.Selama beberapa hari ini mas jadi omongan. Anggapan kami, baru berapa bulan di Jakarta sudah buat masalah, menghamili anak orang lagi,” ujarnya cengengesan.
“ Neneng...! Tolong kamu jelaskan kepada mereka. Aku tidak merasa nyaman dengan sikap mereka.”

“ Iya. Aku akan jelaskan. Aku juga akan telephon Laura.”
“ Kenapa dengan Laura, sakitkah dia?”
“ Iya. Dua hari ini dia tidak masuk. Dia kecewa setelah mendengar berita bahwa kamu menghmili perempuan yang baru kamu kenal.”

“ Aneh! Aku tak pernah bersenandung nada cinta kepada siapapun selama aku menata hidup di sini. Laura ? sungguh aku tak menyadari bila Laura larut dalam pelukan bayang-bayangku.”
“ Zung! cinta itu kadangkala bagai bayang, siapa dapat mengurai lekuk dalam bayang itu.?” ucap Neneng diiringi tawa.
“ Demikian juga dengan pemilik bayangan itu, tak menyadari bayangannya jatuh dalam pelukan rindu seseorang,!” balasku renyah. ( Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan ZungMagdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, May 16, 2009

Telaga Senja (38)





http://www.youtube.com/watch?v=JSRW4ecIDyQ

I gotta take a little time /A little time to think things over /I better read between the lines /In case I need it when Im older /Now this mountain I must climb /Feels like a world upon my shoulders /I through the clouds I see love shine /It keeps me warm as life grows colder

In my life theres been heartache and pain /I dont know if I can face it again /Cant stop now, Ive traveled so far /To change this lonely life
I wanna know what love is /I want you to show me /I wanna feel what love is /I know you can show me

Im gonna take a little time /A little time to look around me /Ive got nowhere left to hide /It looks like love has finally found me / In my life theres been heartache and pain /I dont know if I can face it again /I cant stop now, Ive traveled so far /To change this lonely life

*) I wanna know what love is /I want you to show me /I wanna feel what love is /I know you can show me
I wanna know what love is /I want you to show me /And I wanna feel, I want to feel what love is /And I know, I know you can show me

Lets talk about love /I wanna know what love is, the love that you feel inside /I want you to show me, and Im feeling so much love /I wanna feel what love is, no, you just cannot hide /I know you can show me, yeah
*) Show me love is real, yeah I wanna know what love is...

===========
Kesehatan Rina tampaknya telah pulih, sepanjang perjalanan, didalam mobil, Rina “mengerjai”ku karena aku pergi tanpa permisi dan meninggalkan surat. “ Mas, lain kali kalau bikin surat, pakai perangko dong.” sentilnya disambut tawa Magdalena.
===========

AKU merasakan rasa sukacita dihati Magdalena. Berulangkali dia menatapku kemudian mengalihkan pandangannya kedepan ketika aku membalas tatapannya. “ Magda, aku belum pernah melihatmu berpakaian seperti itu, kenapa.!?”
Magda tersentak setelah menyadari pakaian yang membungkus tubuhnya agak tipis. Namun dia menutupi rasa malunya dengan menjawabku: “ Pakaian ini kukenakan khusus orang yang selalu menyakitiku,” ujarnya pelan, tangannya mengusap pipiku.

“ Magda ngingau. Sikapmu sendiri penuh misteri dan jawaban selalu berkelok.”
“ Bang, sudahlah! Ayo cepatan dikit aku lapar nih.!”desisnya.
“ Aku juga, tetapi kali ini aku yang milih tempat untuk serapan. Jangan ada yang ribut,” gurauku.
“ Kita mau kemana” tanya Magda ketika aku membelokkan mobil menyimpang dari jalan menuju rumahnya.
“ Kita serapan dulu sebelum kita melanjutkan pertengkaran,” jawabku. Magda tak mau turun ketika mobil kuhentikan di warung kopi si”panjang”.
Gue juga ogah. Biar saja mas Tan Zung ke sana,” celutuk Rina.
“ Penumpang harap tenteram,” balasku dengan canda.
Halah, sopir serep saja bertingkah, !” balasnya.

“ Zung kita serapan dirumah saja. Biar aku dan Rina yang masak. Masih ada waktu lima jam lagi sebelum abang berangkat.!”
“ Rina, emang elu sudah bisa masak?” tanyaku.
“ Sudah mas lanteung.! Ayo buruan, masya kamu bawa kami ke warung kopi, dasar.!” Magda tertawa mendengar gerutu Rina.

“ Zung, ayolah sebelum mami bangun.”
“ Iya tuh, ntar jadi ketahuan kelakuan elu,” selah Rina.
“ Salah apa aku?”
“ Duh...mas pake nanya lagi, sudah urakan, kabur dan itu nggak salah!?”
“ Iya..iya aku mengaku salah. Sudah puas kalian?”
“ Aku nggak ikutan bang,” jawab Magda diiringi tawa.

Aku berusaha menghangatkan suasana setelah kami di dapur memasak serapan pagi. Segera aku membuka lemari pendingin: “ Masak apa kita pagi ini,” ujarku dengan mimik serius.
Magda dan Rina tertawa melihat tingkahku. “ Mas, rebus air saja, itu yang paling gampang. Setelah itu mas kedepan duduk, tunggu dua bidadari menghidangkan untuk tuan paduka.!”
***
KEDUA sahabat mengantarkanku ke airport. Tidak ada acara khusus pelepasan seperti keberangkatan beberapa bulan lalu. Magda hanya mengingatkan jangan main judi, main perempuan dan mabuk-mabukan. “

Magda membuka kalung yang dikenakannya kemudian melingkarkan dileherku; Dia merapatkan tubuhnya seraya mengancingkan kalung itu; dia berkata: “ Zung, kamu menolak ini, abang nanti hanya mendengar namaku tanpa jasad,” ancamnya seraya memberi liontin berbentuk heart, pemberiannya tempo dulu, yang aku tinggalkan di meja kamar tidurku.
“ Beritahu aku kelautan mana kamu mau berlabuh.”
“ Huh..abang senang iya aku pergi untuk selamanya.!?”
“ Nggak. aku mau ikut bersamamu.”
“ Heh...ngapaian kalian ngomong jorok.” hentak Rina.

“Nggak Rin, kami tidak ngomong jorok, hanya berbicara persiapan kami menuju rumah masa depan, bila satu diantara kami akan mengkhianat.” ujarku bergurau.
Nafas Magda sengal ketika jari tanganku membuka kalung yang baru saja dikalungkan, lantas dia bertanya: “ Zung! Kenapa dibuka lagi? Abang masih marah.?” Matanya sendu memandang kearahku, sementara Rina menatapku dengan wajah geram.

“ Magda, ada yang kamu lupa, liontin belum kamu tautkan dengan kalung ini,” ujarku pelan seraya menyerahkan liontin yang baru saja diselipkan ketanganku.
Magda dan Rina saling berpandangan. “ Halah, mas belagu,” ucap Rina diiringi cubitan disisi perutku.

Bangngng...., jangan kagetin aku lagi. Aku jadi penakut karena abang selalu marah dan salah mengerti terhadapku,” mohon Magda sendu seraya menyandarkan kepalanya diatas dadaku. Aku mengusap kepalanya yang masih bersandar diatas dadaku.

“ Magda, aku tak marah lagi. Maafkan aku kalau tadi malam menyakiti perasaanmu. Tapi, minggu depan aku akan mengirimkan kalung untukmu, pengganti yang kamu tolak tadi malam. Magda mau menerimanya bukan?”
Magda mengangkat wajahnya menatapku, kelopak matanya memerah, berujar: “ Ya bang.”
Aku merangkulnya erat dan mengangkat tubuhnya sesaat dia menjawab “ Ya”.

“ Bang, banyak orang, lepaskan aku bang,” pintanya dengan suara lembut ke telingaku.
“ Persetan dengan mereka,” balasku sembari mencium keningnya. Rina mengusap airmatanya, dia ikut terharu melihat suasana mengharukan itu.
Sebelum aku meninggalkan mereka, Rina berucap pelan: “ Mas, maaf aku telah merepotkan. Jangan marah kepada papi dan mami iya mas,” pintanya.
“ Oh nggak. Aku nggak marah. Jaga kesehatanmu baik-baik, telephon aku kalau ada yang perlu.”
“ Eh, mbak Magda, jagain adikku Rina,” kelakarku.
“ Iya, mas jelek,” balas Magda. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (37)





http://www.youtube.com/watch?v=p1V2-FodTec
Forever And For Always
In your arms I can still feel the way you/want me when you hold me/I can still hear the words you whispered/when you told me/I can stay right here forever in your arms


And there ain't no way--/I'm lettin' you go now/And there ain't no way--/and there ain't not how/I'll never see that day....
[Chorus:]
'Cause I'm keeping you/forever and for always/We will be together all of our day
Wanna wake up every/morning to your sweet face--always
Mmmm, baby/In your heart--I can still hear/a beat for every time you kiss me/And when we're apart,/I know how much you miss me/I can feel your love for me in your heart

*)
And there ain't no way--/I'm lettin' you go now/And there ain't now way--/and there ain't no how/I'll never see that day....
[Repeat Chorus]
(I wanna wake up every morning)
In your eyes--(I can still see/the look of the one) I can still see/the look of the one who really loves me

(I can still feel the way that you want)
The one who wouldn't put anything/else in the world above me
(I can still see love for me) I can/still see love for me in your eyes
(I still see the love)
*)
Repeat Chorus (2x)]
I'm keeping you forever and for always/I'm in your arms

==============
Ah....persetan dengan cinta. Selamat tinggal cinta, tampaknya aku masuk dalam kumpulan manusia terbuang dari kehidupan asmara. Kini, diriku ikut menambah bilangan insan putus asa mengikuti pilihan Magdalena, sendiri dan menyendiri untuk selamanya.
==============

SEMENTARA pikiran masih mengembara,aku mendengar suara mobil mendekat kearahku. Seseorang memanggil namaku dari dalam mobil: “ Mas... ayo masuk, airportnya masih jauh.” Aku terus melangkah tanpa memperdulikan suara itu meski memanggilku berulang, aku sangat familiar dengan pemilik suara itu, Rina. Dia turun dari mobil sementara Magda memarkirkan mobil dipinggir jalan, persis didepanku.

“ Mas, gila.! Tadi malam bilang nggak ada masalah, tetapi sekarang mas sediri malah buat masalah. Kenapa sih mas,?”
“ Aku tak mau merepotkan kalian.”
“Tetapi bukan begini caranya mas, pakai ninggalin surat segala, huh.!” ujarnya seraya mengikuti langkahku.

“ Rina, kenapa kamu ikut-ikutan memusuhiku.?”
“ Ya, aku sebal karena kelakuan mas.”
“ Tapi kan tidak ada hubungannya dengan dirimu. Ini sangat personal.!”
“ Ya, Aku tahu dan aku tidak ikut campur masalah pribadi mas dengan mbak Magda. Tetapi aku tidak senang cara mas meninggalkan rumah dengan cara diam-diam .”

“ Surat itu kutujukan untuk Magda, kenapa Rina jadi sewot.?”
“ Kenapa? Karena aku mas titipkan dirumah mbak Magda, secara tidak langsung mas juga mengusirku dari rumah itu.”
“ Rina, aku tidak punya hak mengusirmu. Dan, itu bukan rumahku.”
“ Ya, bukan rumahmu, tetapi rumah sahabatmu. Aku juga tinggal dirumah itu karena mas punya hubungan dengan mereka, bukan? Bagaimana aku tenang tinggal disana karena sikap mas yang urakan. Mas, tolong telephon ibukost tempatmu dulu. Rina mau kembali kesana,” ujarnya kesal.

“ Rina ! keluarga Magdalena telah menerimamu sebagai anggota keluarga.”
" Aku tahu, tetapi karena ulahmu aku tak merasa betah disana."
" Rina jangan kecewakan mereka.!"
" Karena sikap mas telah mengecewakanku," suaranya melemah. Tiba-tiba Rina berhenti, wajahnya pucat.
“ Mas, perutku mulas, aku tak dapat jalan lagi,” keluhnya. Butir -butir keringat mulai terkucur di keningnya.
“ Rina, maaf. Jika aku telah menyusahkanmu. Ya, aku akan menelephon ibukos setelah aku tiba di airport,” ujarku.
“ Mas,tolong antar aku ke mobil, aku mau rebahan,” pintanya. Magda keluar dari mobil berlari kearah kami setelah melihat Rina hampir limbung.

Magda tak kuasa menahan marah ketika aku turun dari mobilnya setelah membaringkan Rina di kursi belakang. Dia menyusulku turun dari mobilnya berucap dengan suara tertahan: “ Zung, Rina tak bersalah, kenapa dia ikut jadi korban?. Bang..tolongin aku, Rina sedang sakit.”
“ Pergilah kamu urus sendiri, aku takut ketinggalan pesawat.”
“ Abang kan berangkat sore hari.? Ayolah bantu aku dan Rina, nanti setelah dia kembali pulih, aku akan antarkan abang ke airport,” bujuknya.
Rina memanggil Magdalena. Sejenak mereka berbicara, diakhir pembicaraan aku hanya mendengar Rina berucap: “ Mbak Magda, aku nggak apa-apa kok.”

Magdalena kembali menemuiku disisi mobilnya. “ Zung, nggak mau menolong aku dan Rina?”
“ Ya, iya, ayolah,” ujarku seraya menarik tangannya. Magda tertegun ketika aku memeluknya.
“ Zung ! Kenapa kamu selalu memilih jalan berliku,?" tanyanya dengan tatapan kuyu.
" Telusur jalan luruspun aku selalu tersandung," jawabku

" Mengapa bang.?" tanyanya lantas menarik tanganku menjauh dari mobil.
" Sepanjang jalan itu berkubang dan bertabur duri serta kerikil tajam."
" Bukankah itu membuat abang melangkah lebih hati-hati?"
" Benar, tetapi setelah aku hampir berhasil melaluinya wajahku terbentur tembok, lembam."

" Tetapi belum berdarah-darah seperti yang aku alami, bukan.!?" balasnya ketawa.
" Jadi kamu baru puas setelah aku berdarah-darah, itu maksudmu.?"
" Bukan, abang hanya berhalusinasi," ujarnya ngenyek menirukan kalimatku kemarin malam. " Iya, aku melihat abang menapak disana, tetapi langkahmu tak pasti," imbuhnya.
" Aku tak tahu harus begaimana lagi. Jalan itupun Magda telah penuhi ranjau sebelum aku tiba diujung jalan."
" Tidak pernah aku menghempang apalagi menaruh ranjau di jalan yang akan abang lalui.!"
" Menghempang itu sama dan sebangun dengan membenci," ucapku, bibirku mendarat diwajahnya.
" Aku bermimpi bang?” ujarnya menatapiku setelah menerima ciuman.
“ Ya !. Kamu sedang bermimpi, kalau aku membencimu,” ujarku sambil menarik tangannya melangkah masuk ke tempat duduk pengemudi.

“ Bang, aku nggak membencimu, sungguh.” ujarnya seraya membalas cium di pipiku, berulang. Aku menoleh kebelakang kearah Rna setelah Magda”memperkosa”pipiku. Rina tersenyum sambil menggeleng-geleng kepalanya. Kesehatan Rina tampaknya telah pulih, sepanjang perjalanan, didalam mobil, Rina masih menyindirku karena aku meninggalkan rumah Magdalena tanpa permisi, meninggalkan surat pula. " Mas, lain kali kalau bikin surat, apalagi surat sakti pakai perangko dong." sentilnya disambut tawa Magdalena. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (36)









http://www.youtube.com/watch?v=rriGtwl1oGE

Dont think I cant feel theres something wrong /Youve been the sweetest part of my life so long /I look in your eyes, theres a distant light /And you and I know therell be a storm tonight
This is getting serious /Are you thinking bout you or us


(chorus)
Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice /Baby think twice

Baby think twice for the sake of our love, for the memory /For the fire and the faith that was you and me /Baby I know it aint easy when your soul cries out for a higher ground /coz when youre halfway up, youre always halfway down /But baby this is serious /Are you thinking bout you or us

(repeat first chorus)
Baby this is serious /Are you thinking bout you or us

Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice / Dont do what youre about to do /My everything depends on you /And whatever it takes, Ill sacrifice /Before you roll those dice /Baby think twice

=============

“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering-kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?”

================

“ Aku telah berusaha, tetapi Magda selalu punya dalih dan dalil yang tak dapat kumengerti. Magda, aku berjanji, mulai malam ini akan berusaha semampuku untuk membuang bejana itu sebagaimana aku telah membuang kalung simbol kasihku ketempat yang pantas, jamban.”
“ Bang, aku tak pernah merasakan keberadaan bejana itu.”
“ Karena kamu memenjarakan pikiranmu sendiri. Selamat malam Magda,” ujarku. Aku meninggalkan kamarnya setelah kami puas saling menumpahkan “rasa”.

Aku menghentikan langkah ketika Magda memanggilku dengan suara bergetar: “ Bang, jangan pergi, aku kedinginan, tolong ambilkan air minum.”
Aku merebahkan tubuhnya perlahan keatas tempat tidur. Aku mengusap airmata dan mendekap dirinya, aku merasakan getaran tubuhnya. " Magda, aku ingin membalut luka yang pernah aku torehkan. Aku telah mengenalmu cukup lama, aku tahu pintu masih kau bukakan. Hanya saja kamu ragu menyilakan aku masuk dan duduk bersama."

" Masih mau minum?" tanyaku usai mencium keningnya.
" Ya. Aku haus bang.!"
Aku bergegas kedapur mengambil air hangat. Sendok demi sendok air aku sorongkan kemulutnya.
“ Boleh aku pergi,?” tanyaku setelah dia merasa cukup.
" Ya. terimakasih. Zung, bersabarlah. Mungkin pintu akan dibukakan untukmu."
" Barangkali juga pemilik pintu itupun sedang bermimpi."
" Jangan berhenti mengharap bang.!"
" Magda, mengharap "sepupu"nya mimpi," bisikku ditelinganya. " Selamat malam !" imbuhku lantas meninggalkan kamarnya.
" Malam baik, mimpi baik bang.! ucapnya lemah.

Rina menyongsong setelah aku membuka kamarku. “ Sudah beres mas? Mas serius membuang kalung itu ke toilet?”
“ Ya!. Rina tahu dari mana?”
“ Tadi aku nguping didepan pintu kamar. Aku takut mas marah-marah lagi kepada mbak Magda. Tadi aku sudah bawa air dalam baskom, kalau tadi mas marah , aku siram. Idiih...mas norak.!” ujarnya diiringi tawa lirih meninggalkanku.
***

AKU berusaha melupakan kejadian yang baru saja terjadi dalam peraduan malam tetapi mataku tak dapat diajak kompromi, tidur. Aku gelisah, tempat tidurku bagaikan bara membakar kujur tubuhku.

Aku bangkit dan menuliskan pesan singkat dalam kertas kecil serta liontin pemberiannya beberapa tahun silam diatas meja : “ Magda, aku berangkat ke airport lebih awal. Terimakasih atas kebaikan hatimu dan keluarga menerima Rina dirumah sebagai anggota keluarga. Juga, terimakasih telah mengijinkan aku menginap dirumah serta menjamuku dengan ramah. Maaf, aku mengembalikan liontin pemberianmu dulu. Aku tak punya alasan lagi untuk mengenakannya. Kidung malam itu telah menjadi untaian nada-nada nestapa.” Peluk ciumku. Tan Zung yang hampir berhenti mengharap.

Segera aku berkemas meninggalkan rumah Magdalena. Perlahan aku membuka pintu rumah, takut kedengaran oleh Magda dan Rina. Aku berjalan menembus udara dingin dan berkabut menyusuri sisi bahu jalan sambil menunggu kenderaan. Tanpa menawar, segera melompat keatas beca bermesin menuju pasar Peringgan sebelum airport dibuka. Aku memesan secangkir kopi dan roti panggang yang sudah lama tak kunikmati. Kopi tetap terasa pahit dikerongkongan meski sudah berbaur gula dan susu.

Setengah jam telah berlalu, duduk bagai patung bernyawa tanpa nikmat aroma kopi dan roti panggang "si tengku" asal Aceh itu. Aku segera meninggalkan warung kopi menuju airport. Aku datang masih kepagian, petugas keamanan tidak mengijinkan beca masuk kedalam airport terpaksa aku berjalan kaki dengan tubuh masih menggigil menahan dinginnya pagi.

Pikiran terus berkelana jauh, kemudian kembali lagi menukil senandung duka yang Magdalena dendangkan. Beban terasa berat melebihi koper yang aku tenteng, sementara kaki menyentak setiap benda yang ada didepanku. Aku berhenti dan duduk disisi jalan persis dipinggir taman kecil berisi aneka bunga dan pepohonan kecil. Semerbak wangi aneka kembang serta senandung pagi burung-burung dipepohonan tak jua mampu meringankan getaran tubuh menahan duka.

Aku berhasil “menyelamatkan” Rina, tetapi tak mampu menolong diriku sendiri, kataku dalam hati. Diriku bagai diterjang badai terhempas tak berdaya. Kata demi kata Magdalena, malam itu, kembali kurangkai dalam benak.

Betulkah aku membangun mahligai mimpi.?” tanyaku lagi dalam hati. Begitu bodohnya diriku selama ini, aku hanya dipermainkan perasaan? Benarkah? Ah....persetan dengan cinta. Selamat tinggal cinta, tampaknya aku masuk dalam kumpulan manusia terbuang dari kehidupan asmara. Kini, diriku ikut menambah bilangan insan putus asa mengikuti pilihan Magdalena, sendiri dan menyendiri untuk selamanya. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (35)

Look into my eyes - you will see /What you mean to me /Search your heart - search your soul /And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for /You can't tell me it's not worth dyin' for You know it's true /Everything I do - I do it for you

Look into your heart - you will find /There's nothin' there to hide /Take me as I am - take my life /I would give it all - I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /Ya know it's true /Everything I do - I do it for you

There's no love - like your love /And no other - could give more love /There's nowhere - unless you're there /All the time - all the way yeah
(background quite)
To your heart baby

Oh - you can't tell me it's not worth

tryin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /I would
fight for you - I'd lie for you /Walk the wire for you - ya I'd die for you /Ya know it's true /Everything I do - oooww - I do it for you
============
Zung, benarkah abang mengasihiku.?"“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!""Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada waktunya aku akan menerimanya."
============

" Magda! Meski aku bagai menjaring angin, tetapi aku merasakan mentari masih memantulkan sinar dalam setiap sudut kalbu yang hampir membeku,” ujarku meyakinkan dirinya. Magda bergeming, dia hanya menatapku, hampa.

“ Zung, aku juga tidak mengerti kenapa aku masih tetap bersimpuh dalam lorong panjang tanpa seberkas sinar. Aku berusaha bangkit, namun disana aku masih mendengar lolongan serigala seperti menerkamku serta lengkingan suara misteri amat menakutkan. Aku juga telah berusaha mendekat pada dermaga diujung pantai, tetapi urung, aku takut gelombang akan menjemputku dan menggulung jauh kesamudera luas tanpa seorang menolongku.”

“ Magda, berhentilah berhalusinasi. Masih ada waktu menyongsong mentari pagi dalam pelukan rindu.”
“ Zung, aku mohon pengertianmu. Aku menolak bukan karena dendam, tetapi untuk kebaikan kita bersama. Bukankah selama ini tanpa simbol-simbol kasih berwujud benda, namun kita tetap bersahabat?”
“ Ternyata semua apa yang aku rasakah selama ini adalah persahabatan fatamorgana, terimakasih dan selamat malam. Maaf, aku mau istrahat, bolehkah aku terbujur sendirian tanpa sosok apapun diruangan ini?”
“ Abang mengusirku.!?”
“Magda, apalagi yang aku harus aku katakan. Semuanya telah kamu akhiri di ujung nestapa. Kamu telah menghantarkanku keperaduan sunyi mengubur semua gejolak hatiku.”

“ Tidak bang! Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengubur gejolak itu. Aku masih khawatir, kali kedua abang akan menghantarkanku ke lembah terjal dan sunyi. Bukankah abang telah menghempaskanku ke batu cadas yang menghujam seluruh tubuhku hinga berlumur darah? Abang lupa? Ketika aku berjalan tertatih, sendiri, dibelantara liar. Aku lapar dan dahaga tak seorangpun menolongku. Dimana abang ketika itu.?”

Aku terhenyak, pertanyaan diakhir tuturannya menghujuam ulu hatiku, menyesakkan. Segera aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Perlahan aku meraih dan meletakkan kepalanya di atas pangkuanku.
“ Cukup Magda! Jangan dera lagi aku untuk kesekian kalinya. Kita akhiri saja persahabatan kita dengan baik. Ternyata butir-butir hujan sepanjang malam tak mampu menyejukkan hatimu. Magda biarkanlah cintaku terkubur bersama kebencian hatimu yang tak kunjung padam. Magda mungkin benar, selama ini aku hanya membangun mahligai mimpi siang dan malam. Dan, kamu telah menghancurkannya dengan sempurna, ketika aku terbuai dalam mimpi itu . ”

Magda mengangkat tubuhnya dari simpuh, menarik dan mencium punggung tanganku seraya berujar : “ Bang, berulangkali aku mengatakan, aku tidak dendam. Aku juga tidak mengatakan akan mengakhiri peresahabatan kita. Bukankah selama ini persahabatan kita terus berlangsung tanpa simbol kasih berwujud benda.”

“ Magda, sudahlah. Aku cukup mengerti. Tidurlah, biarkan aku sendiri menghitung-hari-hariku. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas diriku. Selamat malam.!”
Magda menatapku tajam dengan wajah marah, dia pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata.

***

PAGI dini hari, Rina memasuki kamar tidurku dengan suara tersendat membangunkan aku dari lamunan panjang pada malam itu.
“ Mas, kenapa dengan mbak Magda. Tangisnya membangunkan tidurku, ada apa sih mas? “
“ Kenapa nggak kamu sendiri yang menanyakan.?”
“ Aku nggak tega mas.”
“ Rina, kamu tinggal disini sebentar, aku akan menemuinya.”

Magda kaget ketika aku menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Magda menutup wajah dengan kedua tangannya diiringi isak tangis; “ Abang tak punya hati! Abang tak pernah mau mengerti perasaanku yang pernah kamu hancurkan. Hati yang masih berkeping-keping dan terserak abang injak remuk ketika aku berusaha menata ulang. Abang egois!”

“ Magda, aku ingin membantumu menata bersama. Aku berusaha memulihkan luka yang masih meradang dalam susut-sudut hatimu itu. “
“ Tetapi abang menoreh luka baru,” hentaknya seraya duduk dan menatapku tajam.
“ Itulah kebodohanku. Tetapi sudahlah, aku telah menyadarinya, memang aku belum layak memberi apapun pada dirimu. Kalung itu juga tak pantas melingkar dilehermu; kalung itu lebih tepat di dalam jamban, disanalah tempat yang pantas. Semoga kini hatimu puas.”

“ Abang Gila” ujarnya setengah teriak.
“ Ya, iya aku gila. Gila karena kebuntuan hatimu. Selama ini aku telah menjaga dan merawat bejana yang aku bentuk.”
“ Kapan? Bejana apa yang abang bentuk?”
“ Bejana kasih, didalamnya bergelora sejuta cinta dan harapan.”
“ Tidak! Bejana yang bentuk itu tanpa ruang, hanya onggokan butir-butir pasir dan kerikil tajam tanpa perekat.”
“ Magda, aku membentuknya dengan jarijemari kasihku. Perekatnya adalah darah dan airmata hati. Belum cukupkah?”

“ ... dan, darah dan airmata hatikupun abang tak hiraukan?”
“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?” (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (34)





http://www.youtube.com/watch?v=pSJV04IRUW0

==============
“ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina.
==============
Sebelum kami menuju keperaduan, aku mengajak Magdalena mengobrol diruang tamu tempat kami (dulu) selalu merangkai kata cinta, marah dan menangis karena cemburu. Aku sebenarnya masih wanti-wanti, karena baru saja bertengkar dengan Magda hanya karena aku mengajak Rina duduk bersamaku didepan, padahal sebenarnya tawaranku hanya basa-basi.

“ Apalagi bang yang mau dibicarakan. Istirahatlah, supaya besok nggak telalu lelah di Jakarta,” ujarnya ketika aku menahannya duduk di ruang tamu.
“ Magda serius nggak mau.?”
“ Mau bicara apalagi bang, nanti kita bertengkar lagi.”
“ Bertengkar untuk kebaikan kita bersama, apa salahnya? Anggaplah itu sebagai proses kearah yang lebih harmonis walau kadangkala melelahkan dan menjengkelkan.

" Tetapi aku takut nanti abang tak dapat menahan marah!?"
" Selama kita bicara pada lintasan yang sama kenapa harus marah.?"
" Bukankah selama ini kita telah bersenandung bersama meski kerap ditingkahi pertengakaran?
" Magda selalu berdalih. Ya, sudahl kalau kamu tak berekenan, kita tidur saja.” jawabku kesal.

“ Nah kan? Belum kita mulai abang sudah marah. Aku cuma tanya, kita mau bicara apa.?”
“ Bicara tentang kekerasan hatimu.”
“ Rin, kamu jadi saksi, siapa diantara kami yang keras kepala,” tawanya.

" Baiklah Magda, kalau memang tidak ada waktu kita untuk bicara." ujarku, lalu meningglkannya di ruang tamu.
“ Bang, mau kemana!?” panggil Magda ketika aku berjalan menuju kamar tidur.
Aku terus melangkah tak perduli teriakannya. Magda menyusulku ke kamar, “ Bang, aku nggak suka yang beginian, gampang merajuk. Aku tadi kan hanya bercanda.” ujarnya geram dikamarku.
Aku menyambut kekesalannya dengan ketawa. “ Aku nggak marah. Aku mau mengambil hadiah untukmu.”
Huh..! Abang nakal!” balasnya, lalu mencubit pinggangku, sakit meninggalkan bekas.

Aku mengambil dan menyerahkan kalung bermata berlian hasil kemenangan dimeja judi di Jakarta, disaksikan Rina.
“ Zung, kamu nyolong dimana?” ujarnya heran seraya menatapi kalung itu, bibirnya merekah.
“ Itu hasil tabunganku selama 5 tahun. Magda, seumur hidup, aku tidak pernah mencuri kecuali mencuri hatimu, itupun hampir kandas. Mau nggak? Kalau nggak, aku akan berikan kepada Susan” ujarku disambut ketawa Rina kemudian meninggalkan kami berdua diruang tamu.

“ Zung, aku simpan dulu, nanti kalau abang mau nikah akan kuberikan kepada calonmu.”
“ Calon yang mana? Aku justru telah memberikan kepada pilihanku.!”
“ Zung, aku serius.!”
“ Aku juga serius. Aku menyerahkan dengan hati yang tulus. Terserah Magda menggangap sebagai apa, calon isteriku atau ito ( sepupu, pen).!”
“ Zung, terimakasih, tapi aku tak sanggup menerima ini,” ujarnya sambil menyerahkan kembali kalung ketanganku.
“ Magda.....!? Baik, tapi ingat inilah saat terakhir aku bertegur sapa denganmu,” ujarku meninggalkannya sendirian diruang tamu. Dia berusaha menahan tanganku. Aku menepiskan tangannya seraya masuk kekamar tidur yang telah dibenahinya.

Magda mengikutiku hingga ke kamar: “ Zung kok nggak bisa memahami perasaanku. Bukankah kita sudah sepakat, tidak saling membenci. Bang, selama lima tahun bersahabat, kita saling berbagi kasih meski kita lalui dijalan berliku. Senyum, tawa dan tangis terukir seiiring perjalanan waktu. Abang melupakan kesepakatan kita, bersahabat tidak harus menikah, tetapi kenapa malam ini abang telah berubah?”

“ Sebab aku bukan robot,” jawabku sambil menelentangkan tubuhku.
“ Bang, duduklah dulu. Kita bicara baik-baik saja. Besok abang mau kembali jangan siksa lagi aku seperti ini,” ujarnya. Magda menarik tanganku agar aku duduk kembali.
“ Magda, apalagi yang diributkan. Aku sudah menerima kembali kalung yang kamu tolak. Siapa menyiksa siapa!. Hentikan tangismu itu, aku bosan melihat air mata.”
“ Iya, aku tahu abang juga telah bosan melihatku. Itu sebabnya aku tidak mampu menerimanya kalung itu , “ ujarnya dengan isak tangis.

“ Magda! Hentikan tangismu, nanti mami bangun. Atau malam ini aku menginap di hotel.?”
“ Zung! Berpalinglah kearahku, kenapa abang memalingkan wajahmu. Aku masih seperti yang dulu, menyangimu sebagai sahabat, aku masih merindukanmu ketika abang jauh dariku. Tetapi aku tak mampu menerima kalung itu. Aku takut abang salah mengerti.”

“ Justru aku cukup mengerti, maka aku memberanikan diri memberikan kepadamu, bukan kepada perempuan lain atau kepada Susan, faham?” ujarku seraya bangkit duduk menatap tajam matanya.
Magda membalas tatapanku, berujar : “ Zung, bagaimana aku meyakinkan diriku, kalau pemberian itu dari ketulusan hatimu. Aku ragu, abang masih membangun mahligai mimpi.!”
“ Magda tidakkah kau melihat dalam bening mataku wajahmu masih menyatu ? Tidak adakah satu diantara kelima indera yang kamu miliki berucap jujur pada dirimu? Tidakkah engkau mendengar senandung itu diantara riak kerinduan? Dan, ketahuilah Magda. aku selalu mencari jalan terbaik untuk memulihkan hati kita yang terluka. "

“ Zung, aku belum yakin. Hati masih terkoyak, lukaku belum sepenuhnya pulih.!"
“ Magda, apakah senyum dan tawa yang terangkai dalam persahabatan kita terbungkus dusta.? Aku yakin tidak, Magda ! Untuk kali terakhir aku memohon dari lubuk hati yang terdalam, kenakanlah ini setiap saat sebagai pelipur lara,” ujarku seraya menggegam kedua tangannya.

" Zung, benarkah abang mengasihiku.?"
“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!"
"Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada watunya aku akan menerimanya." (Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (33)






http://www.youtube.com/watch?v=XbBpZhA92uQ

===============
“ Seluruh inderaku masih dapat merasakan dan membaca rangkaian titik serta garis berikut aneka warna itu menyatu dengan nuansa teduh.”
“ Abang terus menyimpan mimpi-mimpi."
” Aku tidak bermimpi, Magda.!"

===============

KETIKA aku dan Magda masih bertengkar tentang hati kami yang “ tersumbat”, inanguda, maminya Magda, datang kedapur bersama Jonathan. Lagi-lagi inangudaku yang baik itu “menghajar” Magdalena ketika melihatku didapur sedang memasak air, sementara Magda hanya berdiri membiarkanku sendiri memasak dan membenahi gelas, gula dan kopi.
“ Bah! Magda, kok tega benar membiarkan itomu .....?”
“ Mam, nggak usah cerewet, ini urusanku dengan abang,” potongnya.
Eehhe borukkon tahe( oalah putriku, pen). Kalian jauh saling nyariin, dekat ribut terus,” ucap maminya, disambut gelak Jonathan.

Inanguda mengajakku, Magda dan Jontahan duduk bersama didapur. Mami mengutarakan ulang, niat baiknya untuk “menampung“ Rina hingga melahirkan. Magda dan Jonathan menerima niat maminya dengan tulus.
“Mam, aku juga sudah sampaikan kepada Rina, dia setuju.” ujar Magda, diakurin anggukan Jonathan. Ditengah percakapan kami, inanguda menanyakan siapa lelaki yang tidak bertanggungjawab, menghamili Rina.?”
“ Ya bang, kemana kabur lelaki itu,?” tanya Jonathan.

“Namanya Paian. Kampungnya aku lupa, tetapi menurut informasi yang aku peroleh, dekat Narumonda. Ketika dia pulang kampung, dia janji pada Rina hanya dua minggu. Ternyata berita dari teman Paian satu kampung, dia telah menikah dengan paribannya.”
Mami Magda mengulang nama yang kusebut. “Paian ? Jangan-jangan anak amangborumu.!?”(paman,pen) tukas inanguda seraya melihat Magda dan Jonathan bergantian. Jonathan dan Magdalena menanyakan amangborunya yang mana.
Amangboru parsotul yang menikahkan anaknya empat bulan lalu. Dulu pernah namborumu menginginkan Magdalena jadi mantunya.!” jawabnya lalu menopangkan tangan dikeningnya sambil dia mengumpat lirih, "kurang ajar."

“ Itu dia orangnya mam.!?” tanya Magdalena.
“ Zung, Sudah pasti, nama dan marganya itu.!?” tanya inangudaku. “ Jon, panggil dulu Rina.” lanjutnya.
“ Jangan mam, aku nggak setuju Rina ikut dalam pembicaraan ini. Nanti dia semakin terpukul,” ucap Magda. Dengan perasaan gelisah campur marah Mami Magda menghubungi seseorang dengan telpon. Dia berbicara agak perlahan, supaya tidak kedengaran oleh Rina.
Eda! ( panggilan kepada sesama perempuan, kakak atau adik, pen) Paian sekarang dimana?” tanya inanguda mengawali percakapannya .
“ Oh.... di Jakarta. Di Jakarta dimana? Eda pernah tahu kalau dia pernah punya pacar di Jakarta?

Mami Magda kembali bergabung bersama kami dengan wajah muram setelah mengakhiri pembicaraanya dengan tante Paian di Medan.
“ Memang dia itu anak kurang ajar. Dia membohongi namborumu. Katanya belum punya pacar, sehingga dia di jodohkan dengan putri ompungmu par Jl. Serdang itu.

“ Mam, nggak usah diceritain pada Rina, kalau Paian itu famili dekat dengan kita.”
“ Iya mam.! . Kalau aku ketemu pingin kuhajar dia itu anak, berengsek.!” timpal Jonathan.
“ Bang, kalau nanti kembali ke Jakarta, nggak usah cerita kepada keluarga Rina kalau kami punya kaitan famili dengan Paian berengsek itu,"pinta Magda.
“ Kami ? Kalau seperti yang dituturkan mami, aku juga punya tautan famili dengan Paian. Benar nggak inanguda.?’ tanyaku.
“ Ya. iyalah, abang ngajak ribut terus. Ayo bang, buatkan teh untuk kami..eh..untuk kita.”
Hah...kakak parbada ( cerewet, pen) ,” ujar Jonathan sambil menggoyang-goyang bahu Magdalena.
***
Sebelum aku kembali ke Jakarta, aku minta Rina telpon kedua orangtuanya, menjelaskan keberadaannya di Medan. Juga menjelaskan kepada adikku Lam Hot, perihal hubunganku dengan Rina, tetapi dia menolak untukmenghubungi mereka dengan lewat telpon.
“ Nanti aku buat surat saja mas.”
Setelah makan malam Rina memberikan dia envelope tanpa perekat. “ Mas boleh baca kalau mau, mungkin ada yang perlu aku tambahkan.” ujarnya.

Aku membaca setelah inanguda dan Jonathan meninggalkan kami di meja makan.
“ Hot, kamu tidak usah sok tahu. Gue nggak ada hubungan khusus apapun dengan kakakmu Tan Zung. Kamu juga nggak usah sok prihatin. Kamu baik-baik saja dengan adikku Rima. Jangan perbuat kesalahan yang sama seperti gue.”

Kemudian aku membaca surat kepada papinya.“ Papi, Rina tidak usah dipikirkan lagi. Aku sudah cukup dewasa memikirkan diriku. Tolong papi telephon om Wiro agar jangan mencampuri urusanku atau aku akan bunuh diri.! Mas Tan Zung tidak ada urusannya dengan Rina. Papi dan mami juga nggak perlu tahu siapa ayah anakku kelak.”

Aku membujuk Rina agar telpon orangtuanya. “ Telponlah papi dan mami, mereka sangat merindukanmu,” pintaku setelah membaca suratnya. Dengan berat hati Rina mau bericara dengan orangtuanya setelah aku memutar telepon ke Jakarta. Suaranya tersendat ketika memulai pembicaraannya. Rina tidak bicara banyak, dia mengulang apa yang dituliskan dalam suratnya.

Papi , mami, Rina tidak dirumah om Wiro, aku dirumah keluarga yang sangat mengasihi dan memperdulikanku. Rina jangan dicari lagi, aku cukup dewasa memilih jalan hidupku. Mas Tan Zung besok mau kembali ke Jakarta. Papi, dia tak ada punya hubungan apapun denganku. ” isaknya diakhir pembicaraan. Rina menelungkupkan wajahnya diatas kursi masih diiringi isak tangis. Magda ikut larut mendengar percakapan Rina dengan kedua orangtuanya. Magda segera menahan tubuh Rina yang hampir terjatuh dari kursi.

Aku dan Magda memopongnya, membaringkannya di sofa. Magda terus mengipasi tubuh Rina yang sangat lemah. “ Zung! Kok bengong, ambilkan air minum untuk Rina,” pintanya menyadarkan ku. Rina siuman setelah minum air putih. Magda merangkulnya, “ Rina nggak usah bersedih, aku dan mami akan membantumu sampai Rina melahirkan. Pikirkan kesehatan dan bayi dalam rahimmu.” Rina masih dalam isak mendekap Magda sembari mencium pipinya dan berujar, “ Terimakasih mbak Magda.”

Aku, Magda dan Rina duduk bersama membicarakan rencana selanjutnya setelah kami melihat Rina telah mampu menguasai kesedihannya. Magda berjanji akan membantu Rina hingga nanti kepersalinan. Magda marah ketika aku menanyakan berapa Rina harus membayar kamarnya per bulan.

“ Zung, kami tak pernah mengharap bayaran dari Rina! Aku dan mami tulus mau membantu Rina.” ucapnya seraya mencubit lenganku. Magda segera menyadari suaranya agak keras, “ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, May 13, 2009

Telaga Senja (32)




http://www.youtube.com/watch?v=kJyJwbAa1i8

“Amazed”
Every time our eyes meet/This feeling inside me /Is almost more than I can take Baby when you touch me /I can feel how much you love me /And it just blows me away /Ive never been this close to anyone or anything /I can hear your thoughts /I can see your dreams


I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

The smell of your skin /The taste of your kiss /The way you whisper in the dark Your hair all around me /Baby you surround me /You touch every place in my heart /Oh it feels like the first time every time /I wanna spend the whole night in your eyes

I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

Every little thing that you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Oh, every little thing that you do /Baby Im amazed by you.

===================
“ Bangggg....iya...iyalah..abang yang nyetir,” jawabnya buru-buru. “ Abang tersinggung.?” tanyanya ketika aku diam tak menjawabnya. (Bersambung)

===============

Aku menawarkan Rina duduk didepan bersamaku, setelah ”berdamai”dengan Magda, aku yang menyetir mobil. Rina menolak dengan santun, dia milih duduk dibelakang.Selama dalam perjalanan menuju rumah, aku tidak merasakan perubahan Magdalena baik wajah maupun tutur bicaranya. Namun aku dikagetkan dengan protesnya ketika aku dan dia duduk di teras, sementara Rina pergi kekamar tidur karena merasa kelelahan.
“ Zung, aku nggak habis mengerti. Abang tersinggung ketika menawarkan aku yang menyetir dan Rina duduk bersamaku. Bang, ketika aku mengalah demi memenuhi kerinduanmu, malah menawarkan kepada Rina.!?”

“ Magdalena! Aku hanya basa-basi. Aku yakin dia tak akan mau duduk didepan bersamaku,”
“ Aku mengerti. Tetapi ternyata abang belum dapat membaca utuh perasaanku. Bukankah abang menginginkan aku duduk bersamamu, karena besok mau kembali ke Jakarta.?”
“ Magda tersinggung? “
“ Zung, apakah pertanyaanmu aku harus jawab?”
“ Magda, maafkan aku, lupakanlah itu. Yakinlah, aku tak ada maksud lain. Magda, aku rindu kita menyeduh air bersama, mau ikut aku kedapur?” ajakku seraya menarik tangannya menuju dapur. Magda tak meronta.

“ Aku masak air, kamu persiapkan cangkir , gula dan kopi,” pintaku. Magda tak peduli dengan “perintah”ku. Dia mematung sambil menatapku.
“ Apakah aku harus panggil Rina untuk membantuku.?”
“ Terserah abang.!”
“ Nggak menyesal.?”
“ Nggak.!”
“ Rin, Rina! Kisini, bantuin aku.?” teriakku dari dapur. Magda menahanku ketika aku”berpura-pura” beranjak pergi menemui Rina.

“ Abang mau kemana?”
“ Mau jemput Rina kekamarnya.!?”
Ngapain.?”
“ Magda, aku haus.!”
“ Belum cukup diriku memuaskan “dahaga” mu.?”
“ Lebih dari cukup. Tetapi kenapa Magda membiarkan aku sendiri merangkai bunga dalam bingkai bisu.?”
“ Abang sendiri yang menginginkannya.!”

“ Magda! Ternyata kamu juga belum dapat memahami secara utuh apa yang tersimpan dalam sudut-sudut hati. Aku tak pernah mengharap daun itu gugur meski sinar mentari menerpanya, kini. Aku senantiasa menjaga dan merawatnya meski angin selatan hendak menggulungnya keatas deburan ombak, liar dan buas.”
“ Dan , daun itu sesungguhnya telah terbawa ombak ganas itu kan bang.!?”
“ Tetapi dengan segala daya yang masih tersisa, aku tetap bersamanya dalam deburan ombak liar nan ganas itu , mengharap kelak, akan berlabuh dimulut dermaga penantian akhir.”
“ Tetapi sepanjang mataku memandang, tak tampak bantaran dermaga kecuali gulungan ombak yang sangat menakutkanku.”

“ Lihatlah dengan indera lain.!”
“Aku sudah tak memilikinya bang.!”
“ Percayalah untuk kali terakhir, aku akan menghantarkanmu berlabuh di dermaga itu Magda.!”
“ Abang masih bermimpi.!?”

“ Tidak. Aku tidak bermimpi. Tidak ada seorangpun mampu menolaknya bila pemilik waktu itu akan berkata: "berlabulah.”
“ Aku juga masih ragu jika pemilik waktu itu masih ada diantara kita.”
“ Seluruh inderaku masih dapat merasakan dan membaca rangkaian titik serta garis berikut aneka warna itu menyatu dengan nuansa teduh.”

“ Abang terus menyimpan mimpi-mimpi."

” Aku tidak bermimpi, Magda.!" (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, May 11, 2009

Telaga Senja (31)











http://www.youtube.com/watch?v=nElc2vMU-b0

In my life I see where I've been /I said that I'd never fall again /Within myself I was wrong My searchin' ain't over... over /I know that

When you love a woman /You see your world inside her eyes /When you love a woman /You know she's standin' by your side /A joy that lasts forever /There's a band of gold that shines waiting / Somewhere... oh yeah

If I can't believe that someone is true /To fall in love is so hard to do /I hope and pray tonight /Somewhere you're thinking of me girl /Yes I know... I know that

When you love a woman /You see your world inside her eyes /When you love a woman /You know she's standin' by your side /A joy that lasts forever /There's a band of gold that shines, waiting somewhere... oh...

It's enough to make you cry. /When you see her walkin' by /And you look into her eyes /When you love a woman /You see your world inside her eyes /When you love a woman /Well you know she's standin' by your side /A joy that lasts forever

There's a band of gold that shines /When you love a woman... /When you love, love, love /When you love a woman /You see your world inside her eyes.

==============
“ Mestinya menanyakan langsung kepadaku. Aku terlalu bodoh datang ke dr Robert bila aku menghamili Rina. Sama saja aku menyibak aibku. Sesekali pakai logika,” ujarku sambil menghentakkan wajahnya dengan telapak tanganku untuk mencairkan suasana..
==============

Wajah Magda kembali cerah setelah melihat rasa dongkolku hilang, senyumnya bagai sinar rembulan. Aku merangkul mengusir rasa takutnya terhadapku. “ Magda, jangan ulangi lagi seperti kemarin malam itu. Sepertinya aku tak punya harga diri,” bisikku di telinganya.

“Ya bangngng.... Aku tadi kan sudah minta maaf. Abang masih sakit hati.!?”
“Aku kembali mencium keningnya berucap: “ Nggak ! Aku nggak marah lagi. Aku sudah maafkanmu tuan putri.!”
“ Zung! Jangan marah -marah terus, aku ketakutan .....!”
“ Magda juga jangan terlalu cemburuan.!”
“ Aku juga nggak tahu kalau aku cemburu. Kapan kembali ke Jakarta bang.?”
“ Besok! Aku dapat izin dari kerjaan hanya empat hari.Kenapa.?”

“ Sabtu lusa Dany teman kita nikah, temanin aku bang,” bujuknya.
“Magda jangan terlalu sering menghadiri acara pernikahan, apalagi kalau bukan teman dekat. Nanti kamu sukar dapat jodoh.”
“ Abang sok tahu. Lagian, memang aku nggak butuh jodoh. Aku kan sudah katakan dulu kepada abang.”
“ Jadi masih setia menungguku.?”
“ Menunggu ngapain?”
“ Nikah!”
“ Nggak! Abang ngaco. Temani aku Sabtu nanti iya.?”
“ Aku sih mau saja, hanya masih trauma menghadiri pesta pernikahan bersama denganmu.”
“ Lho, kok trauma ?”
“Ingat peristiwa dulu, aku hampir mati ditabrak motor vesva, untunglah hanya kakiku yang babak belur.”
“ Bang! sekali lagi abang ingatkan, aku tak akan mau bicara dengan abang seumur hidup dan nggak usah telpon aku untuk selamanya.” ujarnya dengan mata melotot.

Buru-buru aku minta maaf, sebelum keluar jurus-jurus mautnya. Seperti biasanya, tensi Magda langsung turun apabila langsung minta maaf.
“ Bagaimana bang jelek, mau nggak temanin aku Sabtu lusa,? tanyanya setelah aku mencium punggung tangannya.
“ Diancam, pastilah mau. Tapi aku butuh keterangan sakit dari dokter dan Magda harus telephon bossku, katakan aku sedang sakit.”

***

Aku, Magda dan Rina menghadiri resepsi pernikahan teman satu almamater kami. “ Rina! aku dan Magda nggak pacaran lagi. Tidak usah kamu merasa sungkan jalan bersama kami,” ujarku setelah Magda berulangkali menegurnya karena sering menjauh dari kami.
“ Aku nggak enak hati mas, menggangu kenyamanan kalian berdua. Tak pacaran tapi kok mesra,” balasnya.

“ Kemarin aku sudah katakan, memang hubungan kami unik, bahkan maminya juga bingung melihat tingkah laku Magda, cemburuan. Padahal dia sudah janji tidak akan menikah dengan siapapun, juga dengan aku. Aneh iya Rin?”
“ Heh..ngomongin aku iya,” hentak Magda dari belakang.
“ Iya. Aku beritahukan rencana pernikahan kita kelak.”
“ Abang mau nikah dengan bayanganku,?” ujar Magda disambut tawa Rina.

Rina tampak kurang bersemangat selama mengikuti resepsi. Magdalena berusaha mengajak Rina terus bicara, setelah aku berbisik kepada Magda : “ Jangan biarkan Rina diam seperti orang bengong; dia masih terpukul. Kamu nggak usah pikirkan aku.”
“ Benar? Abang nggak merajuk?”
“ Iya nggaklah. Kecuali ada lagi orang yang ”menculikmu” dan duduk bersanding dengan lelaki lain kutembak mati kau.” ujarku mengingatkannya persitiwa silam.
“ Bang! Kenapa lagi mengungkit masa lalu? Memang abang pikir aku menerima sikap papi kala itu,?” suaranya pelan.

Lho kok Magda serius. Kita nggak usah ribut disini, malu dilihatin orang banyak.”
“Abang sendiri yang mulai. Sudah ah... kita pulang saja.” ujarnya sambil beranjak dari kursi.
Aku meremas pahanya dibawah meja, kuat. “ Magda, kasihan Rina. Dia akan terpukul kalau kita terus-terusan ribut.” bisikku ketelinganya. “ Ayo wajahmu jangan cemberut seperti itu, jelek.” tambahku. Magda mau bertahan dan kembali lagi dengan suasana sejuk.
“ Sesekali aku menimpali percakapan Magda dan Rina yang sudah terlihat akrab, meski baru dua hari berkenalan. Setelah selesai acara resepsi Magda mendekatkan mulutnya kekupingku, berbisik: “ Bang, jangan sewot kalau aku yang menyetir mobil agar Rina tidak merasa enggan lagi denganku.”
“ Terserah yang punya mobil. Aku kan hanya penumpang,” jawabku lantas menyerahkan kunci mobil.
“ Abang selalu begitu, boleh nggak bang aku yang nyetir.?"

" Magda, besok aku mau pulang. Kamu tega membiarkan aku duduk sendirian dibelakang, setelah kemarin kamu melukaiku.?"
" Ya...iyalah..abang yang nyetir," jawabnya buru-buru. " Abang tersinggung.?" tanyanya ketika aku diam tak menjawabnya. (Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:http://tanzung.blogspot.com/