Friday, May 22, 2009

Telaga Senja (40)




http://www.youtube.com/watch?v=3QoLoSQT1qY

Have you ever been in love /You could touch the moonlight / When your hearts shooting stars / Youre holding heaven in your arms /Have you ever been so in love /Have you ever walked on air /Ever felt like you were dreamin /When you never thought it could /But it really feels that good /Have you ever been so in love
Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting star / Youre holding heaven in your arms /Have you ever been in love, have you... / The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it dont let go, I know

Have you ever said a prayer /And found that it was answered /All my hope has been restored /And I aint looking anymore /Have you ever been so in love, have you... /Some place that you aint leavin /Somewhere youre gonna stay /When you finally found the meanin /Have you ever felt this way
The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it, dont let go, /I know... /Coz have you ever been so in love, so in love /You could touch the moonlight /You can even reach the stars /Doesnt matter near or far
Have you ever been so in love /Have you ever been in love /Have you ever been in love /So in... love...
========
“ Zung! cinta itu kadangkala bagai bayang, siapa dapat mengurai lekuk dalam bayang itu.?” ucap Neneng diiringi tawa.
“ Demikian juga dengan pemilik bayangan itu, tak menyadari bayangannya jatuh dalam pelukan rindu seseorang,!” balasku renyah.
========

AKU dan Neneng menemui Laura setelah pulang kantor. Laura kaget melihat kedatanganku dan Neneng. Dia tidak dapat menyembunyikan wajah kecewanya ketika aku mengulurkan tanganku; Juga tidak menyahut ketika aku menyapa dan bertanya sakit apa. Secara tidak langsung Neneng berusaha menjelaskan kepada Laura tentang keberangkatanku ke Medan melalui sejumlah pertanyaan yang diajukannya kepadaku.
Laura mulai tertarik dengan penjelasanku kemudian bertanya: “ Jadi mas pulang bukan karena mau menikahi Rina.?”

“ Tidak. Kamu kenal Rina ?”
" Ya. Dia satu angkatan denganku beda jurusan."
Neneng heran mendengar tuturan Laura, kemudian dia meninggalkanku dan Laura setelah melihat komunikasi terjalin akrab. Laura membujukku agar pulang belakangan;” Mas, tolong temani Laura ke apotik," pintanya. " Tunggu sebentar mas aku mau ganti pakaian,” imbuhnya, setelah aku menganggukan kepala tanda setuju.
Sementara menunggu Laura mengganti pakaian, aku iseng membuka album yang terletak diatas televisi ukuran 19 inci. Sejumlah foto lama dan baru tertata rapi, mataku tertarik dengan satu lembar foto lengkap dengan pakain toga wisuda. Seorang lelaki mendekap Laura mesra, pipi keduanya menyatu sembari terseyum.

Dibawah foto itu terselip fotoku setengah badan bekas guntingan. Dihalaman paling belakang masih ada fotoku terpampang dengan pose berbeda dibingkai dengan gambar heart. Segera aku menutup album setelah mendengar langkah Laura keluar dari kamarnya.
“ Mau ke apotik atau ke pesta nih?” tanyaku. Laura tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Sebelum kami keluar, Laura memperkenalkanku kepada ibu kos.
“ Ini toh mas Tan Zung itu?” ucap ibu kos. Aku menyambut tangan ibukosnya, hhm..namaku ternyata telah berkibar dirumah ini, kataku dalam hati.

Aku merasa geli ketika aku naik beca dengan Laura; Ingat “perintah “ kedua Magdalena ketika cinta masih berbunga-bunga: “Tidak boleh naik beca berduaan dengan perempuan kecuali dengan Magda atau nenek-nenek.”
“ Mas, kok senyum sendiri, ada yang lucu.?”
“ Nggak ada. Sakit apa sih kamu.?” tanyaku mengalihkan pertanyaanya.
“ Hanya flu.”
“ Bukan karena merindukan seseorang.?”
“ Nggak tahu,” jawabnya lantas dia menatapku.
“ Besok sudah bisa masuk kantor.?”
“ Belum tahu mas.!”

“ Apa perlu lagi kita ke apotik, bukankah obatnya sudah ada di sisimu.?”
Laura kembali menatapku diiringi senyum. Segera dia menyuruh tukang beca berhenti. Sesaat kemudian Laura menghentikan taksi: “ Pak ke Pecenongan,” ujarnya seraya menarik tanganku masuk kedalam taksi.
“ Ke Pecenongan mau ngapain,?” tanyaku.
“ Kita makan dulu, aku lapar mas.”

Sikap Laura sedikit agresif menghilangkan rasa engganku duduk bersentuhan dengannya. Agaknya Laura merasakan jika dia telah memiliki "bayangan" yang belakangan ini pemilik bayang itupun menangkap bias, sebagaimana pengakuan Neneng teman sekantor kami.
Tiba di restauran, Laura lulusan salah satu universitas negeri di Yogyakarta itu memintaku memilih makanan untuk kami berdua. Hmmm....sikapnya mengingatkanku masa lalu ketika Susan memintaku memesan makan malam disebuah restauran tergolong mewah.
“ Laura mau pesan apa?"
" Terserah mas mau pesan apa.”
“ Aku pesan soto saja, seminggu ini aku kecarian.”
“ Mas, pesan yang lain. Disini nggak ada soto. Apa mas nggak bosan, setiap hari dikantor makan soto?” ujarnya ketawa.

Laura tidak sedikitpun merasa canggung ketika kami menikmati makan malam, dia menambah makanan dan minuman ketika piring dan cangkirku mulai kosong. Sikapnya membuat aku gerah sementara bayang wajah Magda menghantuiku. Kemarin malam sebelum berangkat ke Jakarta, menurutku, kami menyemai ulang cinta yang hampir layu meski melalui jalan berliku, namun akhirnya tetesan embun pagi menambah subur semaian , kelopak itu mulai merekah.

Keramahan Laura selama makan malam itu, membuat hati galau dan semakin tak mampu duduk lebih lama bersamanya. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan bila Laura bicara "nyerempet" tentang cinta. Bayang-bayang wajah Magda dan airmatanya masih terasa hangat membasahi telapak tanganku.
Mungkin Laura mulai merasakan ketidak tertarikanku menanggapi setiap pembicaraannya, dia mengajak pulang. Laura buru-buru membuka dompetnya ketika aku mau membayar makanan kami. “ Aku yang ajak mas makan, bukan.!?” protesnya.

Tiba dirumah, Laura berusaha menahanku mengobrol lebih lama, sementara hatiku meluap ingin segera pulang kerumah menelephon Magdalena.
“ Laura, aku mau istrahat dulu. Selama di Medan aku kurang istrahat, sibuk ngurusin Rina.”
“ Istrahat disini saja mas, nanti aku bangunkan,” sarannya.
“Aku mau telephon orangtuaku,” dalihku . Dengan perasaan berat, Laura mengijinkanku pulang.
“Mas, besok kita berangkat sama ke kantor. Aku jemput mas,” ujarnya sebelum aku meniggalkannya. ( Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment