Friday, May 22, 2009

Telaga Senja (39)

Rescue me from the mire/Whisper words of desire/Rescue me - darling rescue me /With your arms open wide/Want you here by my side/Come to me - darling rescue me /When this worlds closing in/Theres no need to pretend/Set me free - darling rescue me

I dont wanna let you go/So Im standing in your way/I never needed anyone like Im needin you today

Do I have to say the words? /Do I have to tell the truth? /Do I have to shout it out? /Do I have to say a prayer? /Must I prove to you how good we are together? / Do I have to say the words

Rescue me from despair/Tell me you will be there/Rescue me - darlin rescue me / Every dream that we share/Every cross that we bear/Come to me - darlin rescue me
SEPANJANG perjalanan dalam pesawat, benak diliputi sejuta tanya. Sukar menerjemahkan scenario yang baru saja aku dan Magda lakoni. Aku sukar mengerti makna pemberian kalung itu. Apa pula yang membuat hatinya berubah sehingga dia mau menerima kalung yang akan aku kirimkan minggu depan, sementara tadi malam dia menolak keras pemberianku?. Atau adakah “roh” lain berbisik kepadanya, bahwa kalung itu adalah hasil dari meja judi? tanyaku dalam hati sekedar menghibur diri.

Kejadian kemarin malam mengingatkan nasihat Susan, dosen sekaligus pacarku(dulu) atas Magdalena: “ Jangan bersikap kasar dengannya, dia perempuan polos berhati lembut. Lima tahun tahun pacaran, buat perempuan sudah lebih dari cukup mengenal kepribadian teman prianya. Meski kalian tak lagi berhubungan, hatinya tak akan mampu melupakanmu. Apalagi Tan Zung cinta pertamanya. Sebaliknya kamupun demikian,” nasihat Susan kala itu.
***
AKU merasa surprise ketika tiba, kedua orangtua Rina dan adikku Lam Hot serta Rima pacarnya menjemputku di airport. Ayah Rina merangkulku erat. “ Terimakasih nak. Rina sehat-sehat saja?” tanyanya dengan mata berbinar. Ibu Rina juga memelukku setelah suaminya melepaskan pelukannya. “ Rina sehat. Dia tinggal bersama dengan keluarga calon isteriku.” jawabku
“ Rina masih marah kepada ibu?” tanyanya ketika kami dalam mobil menuju kerumah.
“ Nggak. Rina nggak pernah marah kepada bapak dan ibu.”
“ Berapa ibu harus bayar uang kostnya, sebelum ibu nanti menjemputnya.”
“ Oh..tidak usah. Rina sudah dianggap keluarga kami. Juga om dokter Robert bersedia memeriksa kandungannya hingga bersalin secara gratis.. Ibu jangan menjemput Rina dalam waktu dekat ini. Biarkan dulu dia disana menenangkan diri.”

” Ayah dan Ibu Rina terdiam mendengar jawabanku. “Terimakasih Allah, malaikatMu telah menolong anakku,” ucap ibu Rina lirih. Dalam hatiku berujar, malaikat tanpa sayap. Tak puas berbicara didalam kenderaan selama dalam perjalanan dari airport, kedua orang tua Rina mengajakku ke rumah mereka.

Lagi-lagi keduanya minta maaf, karena telah menudingku menghamili anaknya Rina. Juga, mereka menyesalkan adiknya Wiro di Medan karena memaksaku nikah dengan Rina.
Sepanjang percakapan kami menyangkut dengan putrinya, aku merasa risih dengan sikap ayah dan ibu Rina karena menganggapku sebagai dewa penolong putrinya. Sementara Lam Hot berulangkali minta maaf dikamar.

“ Bang, kenapa hari itu abang bilang, bertanggungjawab?”
“ Aku tidak mengatakan bertanggungjawab karena aku menghamilinya. Sebenarnya kita semua bertanggungjawab atas janin dalam kandungannya, persetan siapa yang telah menghamilinya. Aku mau mengambil tanggung jawab karena merasa kasihan setelah kamu ikut-ikutan seperti calon mertuamu, lanteung itu, merajam bahkan tega mengusir Rina dari rumah; kalian semua pengecut. Coba kamu bayangkan, seandainya Rina bunuh diri, dua nyawa melayang percuma, hanya karena manusia-manusia sok moralis seperti kau dan calon mertuamu .

“ Wajarlah kedua orangtuanya kesal dengan Rina, karena menaruh aib ditengah keluarga mereka.”
“ Tetapi tidak harus mengusirnya seperti hewan. Nah, sekarang mereka menyesal setelah Rina merasa terbuang di kota yang tak pernah dikenalnya. Sekarang menyesal dan merengek supaya Rina kembali.“

***

HARI pertama masuk kantor setelah cuti empat hari, aku merasakan suasana “gerah”, berbeda ketika minggu pertama masuk kerja, aku merasakan welcome. Ketika aku ingin menemui atasanku manager keuangan, suasana begitu cepat berubah, Neneng asisten manager yang mentrainingku mengajakku ke luar ruangan kerja.“
“Mas tidak mengambil cuti honey moon?”
“ Siapa yang menikah.?”
“ Lho! pulang ke Medan bukan karena menikah.?”
“ Bukan. Aku hanya ada urusan keluarga. Neneng tahu darimana kalau aku nikah ? Oh..Itu sebabnya rekan-rekan agak sinis terhadapku.?”
“ Iya mas.Selama beberapa hari ini mas jadi omongan. Anggapan kami, baru berapa bulan di Jakarta sudah buat masalah, menghamili anak orang lagi,” ujarnya cengengesan.
“ Neneng...! Tolong kamu jelaskan kepada mereka. Aku tidak merasa nyaman dengan sikap mereka.”

“ Iya. Aku akan jelaskan. Aku juga akan telephon Laura.”
“ Kenapa dengan Laura, sakitkah dia?”
“ Iya. Dua hari ini dia tidak masuk. Dia kecewa setelah mendengar berita bahwa kamu menghmili perempuan yang baru kamu kenal.”

“ Aneh! Aku tak pernah bersenandung nada cinta kepada siapapun selama aku menata hidup di sini. Laura ? sungguh aku tak menyadari bila Laura larut dalam pelukan bayang-bayangku.”
“ Zung! cinta itu kadangkala bagai bayang, siapa dapat mengurai lekuk dalam bayang itu.?” ucap Neneng diiringi tawa.
“ Demikian juga dengan pemilik bayangan itu, tak menyadari bayangannya jatuh dalam pelukan rindu seseorang,!” balasku renyah. ( Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan ZungMagdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment