Friday, July 17, 2009

Telaga Senja (81)

Lay a whisper on my pillow /Leave the winter on the ground /I wake up lonely,there's air of silence /In the bedroom and all around

Touch me now, I close my eyes /And dream away...

*)It must have been love, but it's over now /It must have been good, but I lost it somehow /It must have been love, but it's over now /From the moment we touched till the time had run out
Make believing we're together /That I'm sheltered by your heart /But in and outside I turn to water /Like a teardrop in your palm /And it's a hard winter's day /I dream away...

**)It must have been love, but it's over now /It was all that I wanted, now I'm living without /It must have been love, but it's over now /It's where the water flows, it's where the wind blows

*) It must have been love, but it's over now /It must have been good, but I lost it somehow /It must have been love, but it's over now />From the moment we touched till the time had run out
**)
====================
“ Kenapa nggak mau?”
“ Kenapa!? Nantilah Laura ceritakan.”
“ Kasihan dia , datang jauh-jauh dari Perancis, kenapa Laura nggak respek.”
“ Mas...!? Laura bilang, nanti aku ceritakan.!” balasnya kesal.
=====================
KARAKTER seseorang bisa berubah sewaktu-waktu, lembut berubah keras dan sebaliknya. “Format” itu dapat berubah sesuai dinamika yang sedang menggelinding. Laura yang sehariannya lembut, setidaknya selama aku mengenalnya, tiba-tiba berubah garang. Aku terhenyak mendengar hardikannya, kala menanyakan kenapa tidak punya respek terhadap Gunawan. Kali kedua, seingatku, Laura bersikap seperti itu meski telah berulangkali sikapku menjengkelkannya. Memang sih, masih kalah “galak” jika dibandingkan dengan Magda.

“ Laura, kenapa kamu marah? Sebagai seorang lelaki, aku dapat membayangkan kekecewaan Gunawan. Banyak cara untuk menghindar Laura, tetapi tidak seperti sikapmu itu, apalagi terhadap mami,” tegurku.

“Mas, terimakasih khotbahmu,” jawabnya setengah teriak menirukan ucapan kekesalanku sehari sebelumnya, ketika kami di pinggir pantai. Laura bangkit dari tidurnya masih berucap; “ Mestinya juga mas harus respek terhadapku. Tadi aku katakan, saatnya Laura akan menceritakan, mengapa!” Laura langsung merebahkan dirinya setelah “memuntahkan” kekesalannya, lantas menutupi wajahnya dengan selimut. Aku hanya mendengar isak tangis ekspresi kekecewaanya dari balik helai selimut, entahlah terhadapku atau terhadap maminya.

Aku tak ingin lebih lama dikamar bersama Laura yang sedang berakit galau. Aku minta ijin untuk menemui Rio di lobby; “ Laura, aku sebentar keluar menemui Rio dan Lam Hot. Nggak baik mereka menunggu terlalu lama.” ujarku. Aku bangkit mendekatinya setelah dia tak menyahut; menyingkap selimut penutup wajahnya. Dia membalikkan tubuhnya membelakangiku sesaat aku menyibak selimut dari wajahnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya mirip Magda bila sedang ngambek.

Mengobati hatinya yang sedang “berkabung” ku usap wajahnya lembut sambil mengulang permintaanku, mau menemui Rio dan Lam Hot. Meski dia tak menjawab, tetapi aku tahu pasti hatinya sedikit teduh setelah mengusap wajahnya. Dia masih memunggungiku tetapi tangannya memegang telapak tanganku kemudian melepaskanya, pertanda “just go”.
Rio, Rima dan Lam Hot menanyakan Laura ; “ Mana mbak Laura,?” tanya Rima. Tak ada jalan lain kecuali berbohong menutupi prahara yang baru saja terjadi. “ Laura keletihan, dia masih istrahat sebentar,” jawabku.
***
Kami meninggalkan hotel; Lam Hot mengantar Rima pulang kerumah eyangnya, sementara aku mengajak Rio jalan ke kampus Universitas negeri di kota itu yang sejak SMA aku impikan, namun orangtua tidak setuju sekolah terlalu jauh.
”Cukuplah abangmu di Jawa,” ujar orangtuaku ketika itu. Setelah puas mengitari suasana kampus yang kebetulan tidak ada kegiatan, aku mengajak Rio ke Keraton.
“ Bang, apa nggak lebih baik kita jalan bareng dengan kak Laura?” tanyanya.
“ Justru aku menghindarinya,” balasku.

Rio menjadi guide sejak dari kampus hingga di Keraton. Dia masih penasaran melihat kisruhnya hubunganku dengan Laura. Malam hengkang dari hotel, siang meninggalkan Laura di kamar, sendirian.
“ Parah kali rupanya persoalan kalian,” ujarnya sambil ketawa.
“ Laura sedang menghadapi masalah pribadi, tetapi bukan aku penyebabnya. Sepanjang yang aku perhatikan, Laura mempunyai masalah dengan maminya.”

“ Memang abang nggak punya hubungan khusus dengannya.”
“ Seperti aku katakan kemarin malam, kami hanya sebatas teman. Iya, kadangkala ada getaran juga. Itulah sebabnya aku meninggalkan Laura “menangisi” dirinya sendiri di dalam kamar. Aku khawatir jika bertahan dikamar, dari mulutku akan keluar kata-kata bujuk karena tak tega melihat penderitaannya. Bisa-bisa Laura akan menanggapi lain atau perasaannya semakin melambung.”
“ Sampai kapan abang bisa bertahan seperti ini.”
“ Maksud Rio.?”
“ Berteman dengan dua perempuan; keduanya mengharap balas cinta kasih dari abang.”

“ Aku mengharap, aku hanya bunga-bunga hidupnya. Laura mengetahui kalau aku masih punya pacar di Medan, bahkan dia sudah pernah bicara ketika Magda berulang tahun. Hingga saat ini aku belum mampu melupakan hubungan kami yang sudah terajut selama lima tahun lebih, meski akhir-akhir ini banyak bentroknya daripada akuran. Seandainyapun hubunganku berakhir dengan Magda, aku tak mungkin menjalin hubungan dengan Laura.”

“ Lho, kenapa? Apa yang kurang dengan Laura?”
“ Aku sudah janji dengan orangtua tidak akan menikah selain orang batak. Inipun panjang ceritanya kenapa, Rio.”
“ Bah! sama nasib kita bang. Sebelum aku kesini, sudah teken mati kepada bapak-mama, tidak boleh nikah dengan halak ion ( orang sini, pen). Kalau nggak, tak diperbolehkan berangkat. Alasan mereka, karena aku anak panggoaran ( anak sulung, pen), parah bang orang tua pikirannya masih ortodok. Tetapi mau tak mau awak harus turut, kalau nggak, tak jadi berangkat kesini,” keluh Rio.

“ Rio sudah punya pacar.?”
“ Belumlah. Ketemu perempuan batak, mantiknya( sombong, red) bukan main. Kalau aku mau sama orang sini, bejejer bang, apalagi kalau kami sedang show. Tetapi seandainya aku ketemu seperti kak Laura, tak peduli biar aku telah teken mati, akan kusambit bang. Apalagi yang kurang? Sandaran awak pohon beringin!?”
“ Rio, mengkhianati pacarpun tak elok, apalagi orangtua. Rio jangan silau. Memang, keinginan untuk memiliki cinta dan harta amat manusiawi. Tetapi milikilah itu dengan kejujuran." ( Bersambung)
Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/