Thursday, January 28, 2010

Telaga Senja (217)

=================
Namun kelegaan itu segera sirna kala mendengar derap langkah menjauh dari pintu. Ayah tak kunjung membuka pintu, bahkan aku mendengar langkahnya semakin redup dari pendengaranku. Magda turun dari mobil dan berlari menemuiku ketika aku berdiri lemah, bagai kehabisan tenaga, bersandar di depan pintu rumah.
===================

Magda tak mampu menahan rasa gundahnya. Dia mendekapku,” Papa, kenapa sedih? Kuatlah pap.”
“ Mam, kita pulang. Ayah tadi sudah mau bukakan pintu. tetapi berbalik ketika mendengar suaraku,” kesalku dengan suara putus asa.
“ Bersabar lah. Barangkali amang pergi hanya sebentar,” bujuknya seraya mengelus wajahku. Tubuhku tetap tersandar di depan pintu. “ Pap, kita telah menempuh jalan sejauh ratusan kilo meter, menembus malam dan memakan waktu berjam-jam. Kenapa papa nggak sabar menunggu hanya beberapa waktu? Pap.....ayo..jangan seperti orang putus asa. Lihat mama..!” serunya menumbuhkan semangatku, seakan Magda dapat membaca hati orangtuaku malam itu. Hanya beberapa saat setelah Magda memberiku semangat, kami mendengar suara ibu dan papa mendekat ke pintu.

Ibuku tersentak seakan tak percaya saat melihat Magda bersamaku didepan pintu.
Babababah..Magda ikut? Kenapa datang diam-diam inang,” ujarnya seraya merangkul Magda erat serta menciumi sepuasnya. Magda membalas pelukan ibu.
“ Kenapa datang malam-malam inang.?”
“ Abang Tan Zung ketakutan jika inang menolak kehadiran kami. Kata abang, malu kalau di lihat orang,” adu Magda tanpa rasa sungkan.
Loak ma ho. Hea do palaoon anakhon niba?” ( Bodoh benar kamu. setega itukah mengusir anak sendiri, pen) ujarnya seraya melirikku. Ayah bergegas meninggalkan kami menuju ke dapur setelah menyalam Magdalena. Tak begitu lama, ayah membawa piring berisi beras kemudian dia dan ibu menaburkan diatas kepalaku dan Magda. “ Pir ma tondim ianakhon nami ( kuat batin, panjang umurmu anak kami, pen).

Magda tak mampu menahan rasa haru setelah menyaksikan dan merasakan kehangatan sambutan kedua orangtuaku, bahkan memberi berkat. Magda memeluk ibuku sangat erat diiringi isak kebahagiaan. “ Inang..maafkan kami, karena telah melangkah tanpa sepengetahuan inang dan amang.”
“ Sudah lah inang. Nggak perlu ditangisi lagi,” balas ibuku dengan suara serak.
“ Katanya inang sakit? Inang sakit karena kami iya?”
“ Bukan. Eh..tahe parmaenkon.” ( Oalah..mantuku ini , pen) Seminggu ini, ompung jagain inang karena sakit ,” tambahnya.

“ Ompung ( nenek, pen) dimana,” tanyaku tak sabaran.
“ Ada dikamar,” tukas ayahku. Aku berlari menuju kamar ompung”reseh” di kamarnya. Ompung kaget ketika aku masuk kekamarnya.
“ Dari mana kau malam-malam begini? Siapa itu kawanmu?” tanyanya tetap berbaring di tempat tidur.
“ Maya..!” jawabku agak pelan. Ompung bangkit, bergairah mendengar nama Maya.
“ Siapa nya kamu bilang. Maya?” tanya ompung. Ompung ini, dulu, menjodohkanku dengan Maya. bahkan Sapinya pun terjual untuk rencana pernikahanku dengan Maya. Sayang, jodoh berkata lain.
“ Ayolah ke depan. Lihat sendiri siapa dia,” ujarku. Dengan jalan tertatih, ompung kutuntun ke ruang tengah menemui Magda , ayah dan ibuku.
Eh..maup maho. Ndang si Maya i,” ( Sialan kamu. Itu bukan Maya, pen) kesalnya saat mendekat ke Magda.

“ Ompung! Aku bilang Magda, bukan Maya,” kataku dekat telinganya. Tak peduli dengan ucapanku, ompung membalas pelukan Magda. “ Ompung, aku Magda. Isteri bang Tan Zung,” ujar Magda memperkenalkan dirinya.
Ayah mengambil alih tugas ibu yang sedang sakit, menyiapkan air panas untukku dan Magda, namun Ibu tak tega melihat kesibukan ayah. Ibu menyuruh membangunkan adikku.
***
Seusai melepas rindu, aku dan Magda ingin menyampaikan sesuatu, berkaitan dengan kisah pernikahan kami. Ayah dan Ibu kaget saat aku menuturkan kenapa timbul niat menikah sesegera mungkin.
“ Meski kami tidak menyetujui pernikahan kalian, tetapi kami tidak setuju cara mereka,” ujar ayah menunjuk om Robert.
“ Maafkan aku dan Magda karena menikah tanpa sepengetahuan ayah dan ibu,” ucapku sendu.
“ Ya amang! Tadi kami telah memberimu sipir ni tondi. Itu tanda persetujuan ayah dan ibu.” ucap ibuku sambil melirik Magda yang masih tertunduk di samping ibu.

“ Bagaimana khabar mami? tanya ibu ke Magda
“ Baik-baik inang. Mami dan om Robert sedang berpergian ke luar kota. Aku belum semput temui mami,” jawab Magda, suaranya serak.
“ Kalian belum boleh pergi kerumah mami sebelum ayah atau utusan mewakili kami mendatangi keluarga parmaen/menantu” ingat ayahku.
“ Ya amang.” jawab Magda.
“ Kapan kalian pulang? tanya ompung, seraya bangkit mau kembali ke kamar tidur.
“ Sebentar lagi ompung, “ jawabku
“ Hati-hati di jalan,” balasnya pula tanpa menoleh, disambut tawa Magda dan Ibu.

Ibuku marah ketika kuberitahu, esok harinya akan kembali. “ Besok? Ngapain nya kalian datang seperti pijak bara.!” entaknya
Inang. kami mau tinggal sampai lusa lah. Kami mau ke gereja bersama amang dan inang,?” tukas Magda menengahi.
“ Memang kamu tak ada rindu pada orangtua dan adik-adikmu,” sela ayah kesal. Magda melirikku memberi sign, diam, kemudian mengulang jawab seperti kepada ibuku.
Amang, kami pulang besok lusa. Sebenarnya ingin lebih lama, tetapi aku masih mengurus ijin cuti,” jelasnya. Ayah dan ibuku mengangguk, memahami. Wuih..beraninya isteriku menaggapi kekesalan ayah mertuanya.

Malamnya, aku “mengusir” adik-adikku dari kamarku dulu semasa di kampung. Sambutan orangtua yang sangat menyejukkan hati, membuahkan sukacita berjuta rasa. Ditengah hati berbunga-bunga, aku dan Magda saling mengingatkan kenangan masa awal pacaran hingga pernah "cerai" lantaran cemburu. " Semuanya tak berbekas lagi pap," tawanya, ketika kuingatkan surat "cerai" yang dilayangkan untukku.

“ Mam, seandainya dinding kamar ini dapat berucap, pastilah Magda kaget.”
“ Kenapa ?” tanyanya serius
“ Kala masih remaja, aku terbebas “polusi” asmara. Juga bebas dari asap rokok jahanam, meski daerah ini adalah lumbung “daun setan”. Tetapi akhirnya papa binal, setelah pindah ke kota dan mengenal asmara memabukkan itu. Apalagi ketika mama bertingkah dan merajuk, papa melampiaskannya lewat minuman dan daun setan itu.”

“ Apa bedanya dengan kamarku? Seusia papa, kamar itu dihuni putri melati, hening sepanjang hari dan malam. Tetapi ketika ketemu dengan seorang pemilik kamar ini, tangis dan tawa silih berganti," balasnya. Masih dengan hati berbunga sebelum terlelap aku berucap suka, “ Mam, tidak selamanya siksaan berbuah pahit. Buktinya, siksaan yang kita alami menghantarkan kita ke dalam bahtera menyejukkan. Kita berlabuh diberbagai tempat ; Di rumah ditengah kebun pinggiran kota, di kamar si putri melati tempat dibesarkan, dan malam ini di kamar pemuda idaman,” ujarku disambut ciuman di kening dan berucap," Papa, kita bobo." Keletihan seharian selama perjalanan, menghantarkanku dan Magda dalam tidur. ( Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung"

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/