Wednesday, September 30, 2009

Telaga Senja (131)

I HATE YOU THEN I LOVE YOU (Celine Dion & Luciano Pavarotti)
I'd like to run away from you /But if I were to leave you I would die /I'd like to break the chains you put around me /And yet I'll never try

No matter what you do you drive me crazy /I'd rather be alone /But then I know my life would be so empty /As soon as you were gone

Impossible to live with you /But I could never live without you /For whatever you do / For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

You make me sad /You make me strong /You make me mad /You make me long for you / You make me long for you

You make me live /You make me die /You make me laugh /You make me cry for you / You make me cry for you

I hate you /Then I love you /Then I love you /Then I hate you /Then I love you/more /For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

You treat me wrong /You treat me right /You let me be /You make me fight with you / I could never live without you

You make me high /You bring me down /You set me free /you hold me bound to you

I hate you /Then I love you /Then I love you /Then I hate you /Then I love you more / I love you more /For whatever you do / For whatever you do /I never, never, never /Want to be in love with anyone but you

I never, never, never /I never, never, never /I never, never, never /Want to be in/love with
anyone but you /But you

==========================
“ Mas, tak punya perasaan,” ujarnya dengan bibir bergetar.
“ Perasaanku hilang diracuni bisa ular dan belut. Pulanglah sendiri. Hati-hati dijalan, sampai ketemu di kantor,”
Laura menatapku sendu. Matanya memerah kemudian dia dan aku sama-sama berbalik langkah.Aku masuk kedalam kereta, Laura
menuju mobil membawa sejuta kecewa.
===========================
TAK MAMPU membohongi diri, aku merasa iba kepada Laura. Segera aku meloncat keluar dari kereta. Tudingan Laura benar, aku tak punya perasaan. Membiarkan dia menyetir sendiri ke Jakarta akan menambah siksa batinnya. Padahal Laura datang ke Bandung atas permintaanku. Kenapa aku segila ini membiarkannya kembali ke Jakarta tanpa aku? Bebal.

Nafasku sesak mengejarnya hingga keparkiran mobil. Laura tersentak ketika aku menyentuh lengannya, dia menduga aku copet atau pencoleng. Dia refleks memeluk tas kecil yang tergantung pada bahunya. Wajahnya sangat ketakutan. “Laura, aku capek,” ujarku dengan nafas terengah, aku terjongkok disampingnya, kaki tak mampu menahan sesaknya dada serta beban koper yang ku bawa. Laura menoleh kearahku, diam. Aku melihat matanya masih memerah tanpa air mata. Masih posisi jongkok dan nafas sengal berucap, “ Laura, biar aku yang setir mobil sampai ke Jakarta.”

Tanpa sepatah kata Laura berlalu, dia berjalan cepat, meninggalkanku di sisi jalan menuju parkiran. Aku berusaha mengikuti, tapi kakiku masih pegal tak mampu mengikuti kecepatan langkahnya. “ Laura, kita pulang bareng. Tunggu aku, kereta sudah berangkat Laura...Laura..! “ teriakku. Dia terus berlalu.

Dari kejauhan aku melihat Laura mengemudikan mobil meninggalkan pelataran parkir. Berangkatlah kau dengan damai keluhku dalam hati. Tinggalah aku kelimpungan. Tak tahu mau jalan kearah mana selain ke stasion kereta. Sejumlah pasangan mata melihat “adegan” aku dengan Laura. Meski tak satupun diantara mereka ku kenal, ada juga perasaan malu. Entah apa pula yang mereka simpulkan atas kejadian itu. Tertatih-tatih aku berjalan ke arah stasion kereta, ingin istirahat sejenak sambil menunggu kereta berikut. Tak ada penyesalan. Semuanya kuterima dengan lapang dada walau sangat menyakitkan.

Kali pertama seorang perempuan, dari sejumlah perempuan yang ku akrabi, Laura lah satu-satunya yang mampu "melawan". Magda, Susan dan yang lainnya, melakukan perlawanan bila aku mengulah, namun akan segera pulih sebelum matahari terbenam. Laura? Perempuan Jawa yang selama ini kuanggap lembut itu, dua hari terakhir mampu meruntuhkan keangkuhanku.

Aku duduk dibangku panjang bercat hijau di ruang tunggu stasion kereta. Cuaca mendung pagi menjelang siang itu mengundang rasa kantuk. Takut ketiduran, aku memangku koper kecil berisi jatah rampok itu. Seorang ibu setengah baya duduk persis didepanku sambil memangkuu bakul berisi jamu. Diapun terkantuk-kantuk sambil menahan kepalanya, mungkin dia terlalu lelah menjajakan jamunya. Kami sama-sama lelah, terkantuk-kantuk tetapi beda penyebanya, bisikku. Aku terenyuh melihat wajah ibu tampak begitu lelah. Aku pindah duduk kesebelahnya. Ingin mengambil bakul jamu dari pangkuannya untuk meringankan beban. Tetapi aku takut dituduh rampok. Aku diam. Ah..ku cari akal bagaimana aku bisa bercakap-cakap dengannya sampai tiba schedule pemberangkatan kereta berikut.

Setelah beberapa saat aku duduk disampingnya, mataku ku redupkan kemudian kepalaku oleng kekiri kekanan, seakan nagantuk berat, persis seperti ibu itu. Kepala kami berantuk. Ibu mendahuluiku meinta maaf, " Maaf mas. Ibu kelelhan," ujarnya tersipu.
" Nggak...ngagak bu. Aku minta maaf telah menggangu ibu," balasku.
Aku menhan ibu itu ketika beranjak pergi dari tempat duduknya. " Bu...aku haus boleh mau minum jamunya,?" tanyaku.

" Mas, kalau haus beli air saja. Jamu untuk kesehatan tubuh, " terangnya.
" Iya bu, aku lagi kecapekan dan sepertinya mau pilek. Tolong bu aku mau." pintaku.
Dengan sigap ibu meracik dam neyeduh jamu jenis permintaanku.
" Pakai madu dan telor mas," tanyanya.
" Iya bu, telornya empat," jawabku.
" Nggak kebanyakna mas.!?" tanya ibu itu cengengesan.
" Nggak bu. Aku mau pulang ke Jakarta jalan kaki."

" Kenapa tadi si neng marah-marah dan tinggalin mas!?"
" Si Neng yang mana .?"
" Yang tadi naik mobil?"
" Ibu lihat.?"
" Ya mas. Tapi kok tega iya si neng."
" Ya bu beginilah nasib sopir. Si neng itu majikanku di Jakarta. Aku terlambat sedikit dia marah-marah. Iya, itu tadi aku langsung ditinggal."

" Iya memang, kadang-kadang majikan nggak punya perasaan. Berlaku semaunya kepada orang kecil," belanya sambil menyerahkan seduhan jamu. Hampir saja ketawaku meledak mendengar pembelaanya. Ah...mulianya hati ibu ini. Ditengah kegetiran hidup masih mampu belain orang kecil, seperti aku yang mengaku sopir. Aku...? hanya belain perampok berdasi dan berlipstik.
Aku terus mengajak ibu bicara tentang keluarganya serta jumlah pendapatanya seharian.
" Pendapatannya nggak tentu mas. Kalau udara seperti ini agak lumayan. Tetapi biar juga jamu ini habis terjual, hanya cukup membeli makan untuk ketiga anakku. Ibu dari Tegal. Menguji nasip di Jakarta kemudian setahun lalu pindah kesini. Iyah..rejekinya sama sajalah mas," tuturnya.

"Belang"ku mulai tersingkap oleh ibu itu, ketika aku menolak pengembalian uang. " Pegang saja bu, nanti buat jajan anak-anak ibu."
" Mas ini siapa sih?"tanyanya heran. Katanya sopir, moso uangnya bersih seperti ini? Nyolong uang nyonya iya? tanyanya lagi serius.
" Nggak bu. Tadi aku baru dipecat dan langsung diberikan pesangon oleh Nyonya," balasku serius pula.

" Mas punya uang, kenapa pulang jalan kaki ke Jakarta,?" tanya ibu.
" Nggak, aku cuma bercanda bu. Aku menunggu kereta berikut."
" Mas, nggak baca itu? Keretanya senja berangkatnya tengah malam." ujarnya sambil menunjukkan papan pengumumaan di depan pintu masuk. " Eh..mas...mas...nyonya itu datang lagi. Kali mau jemput mas!?" ujarnya sambil menunjuk kearah Laura yang sedang berjalan kearah kami. Hah...dia lagi..dia lagi, kataku lirih.
" Mas, ketakutan? Jangan mau lagi mas. Lawan saja. Nanti kalau dia main paksa lapor saja polisi," geramnya.

"Iya bu. Tetapi aku kasihan sama nyonya. Dia nggak punya teman pulang ke Jakarta. Mungkin si nyonya menyesal, makanya dia balik lagi," ujarku serius. Aku melirik Laura sudah mendekat. Ku mainkan lagi jurus lempar bola saat Laura sudah duduk didepan aku dan ibu penjual jamu. Aku mengharap Lauara menyambut umpan bolaku.

" Bu, keretanya berangkat tengah malam iya? Boleh aku numpang tidur ditempat ibu.?"
" Pie toh mas, kami tinggal di gubuk. Nggak punya kamar. Mau tidur bareng-bareng di tempat sempit,?" tanyanya polos.
" Iyalah bu. Daripada aku disini seperti gelandangan, aku ikut ibu iya?" ujarku sambil ikut merapikan botol jamunya. Laura diam sambil menatap kami. Tak bergemingpun dia, ah..! Sebelum kami berangkat, aku berbisik pada ibu, " Bu tanyakan nyonya, mungkin dia mau minum jamu."
"Biarain saja. Nyonya seperti dia malu minum jamu di stasion," ketusnya.

Laura menarik ikat pinggangku dari belakang ketika jalan dengan ibu penjual jamu. Ibu menoleh kebelakang ketika aku langkahku tertahan.
" Mas jadi ikut ibu,?" tanyanya.
" Terimakasih bu, kami mau pulang bareng, " ujar Laura.
" Iya mas? Mau pergi dengan nyonya.?" tanya ibu memastikan.
" Ya..iya..bu. Aku mau sama nyonya," jawabku seperti orang ketakutan. Laura langsung mengangkat koper kecil berisi "sampah". Aku berpura-pura mengahalangi Laura mengambil koper dari tanganku," Nyonya jangan!. Biar aku yang bawa...jangan nyonya.!" seruku. Ibu itu geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkahku, sambil menunjuk-nunjuk dengan ibu jarinya, seakan berucap," Ah sialan lu , kerjain ibu iya." ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, September 29, 2009

Telaga Senja (130)


Cats : Where have I been wrong
I’ve searched the places /I’ve searched them all /Searched among the faces /Searched along the road

Where am I to find you? /Where am I to go? /Never understanding /Why you run out on me
Please tell me /Where have I been wrong?
Where have I been wrong? /Where have I been wrong? /Have I to pay /For loving you?

Where have I been wrong? /I can’t go on /I can’t make pain /With someone new /I don’t feel the cold rain /I don’t feel the wind /Walking round in circles /Never reaching the end
Where am I to find you? Where am I to go? Never understanding /Why you walked out on me
Please tell me /Where Where have I been wrong?

Where have I been wrong? /Where have I been wrong? /Have I to pay /For loving you?
Where have I been wrong? /I can’t go on /I can’t make pain /With someone new
===================
" Sudah Laura. Cukup! Tidak usah lagi menabur cuka dalam luka," balasku memotong kalimatnya.
" Mas terluka? Siapa melukai siapa?"
" Iyalah, aku terlanjur telah melukaimu. Terserah kamu mau memaafkan atau tidak." ujarku sambil menginggalkannya di kamar.
====================
PENYESALAN selalu datang terlambat. Bebal? Iya itulah “reward” yang paling pantas kuperoleh saat pertama aku menerima kepercayaan dari bossku. Tia sudah tidak ada lagi dalam kamarku ketika aku terusir dari kamar Laura. Semua berkas yang telah selesai ku sulap raib bersamanya. Aku pasrah apapun yang terjadi, termasuk pemecatan dari kerjaan aku siap menerimanya.

Pagi itu, bagai tubuh tanpa roh, jiwa melayang entah kemana. Satu persatu barang bawaanku kukumpulkan. Disudut koper itu ku temukan envelope kuning berukuran kwarto. Disampulnya tertulis; “ Untuk pak Tan Zung & Ibu Lala” Dibawah sudut envelope tertulis ucapan singkat:
” Terimakasih atas kerjasama yang baik.” Diujung tulisan tertanda Cecep & Tia. Tangan ku gemetaran setelah membuka sedikit di jung envelope.

Khawatir Laura datang ke kamar, aku membawa koper ke dalam kamar mandi. Masih dengan tangan gemetar aku menemukan beberapa gepok lembaran uang sepuluh ribuan di dalam envelope itu. ( saat itu nilai nominal tertinggi masih Rp 10.000). Jumlah uang yang ada setara dengan 2/3 dengan jumlah yang seharusnya mereka kembalikan ke kas perusahaan atau setara dengan dua tahun gajiku. Posisi envelope kupindahkan ke paling bawah pakaian, tak tahu berbuat apa. Niat mengembalikan uang itu urung karena schedule keberangkatan kereta kurang dua jam lagi.

Sepertinya handuk tak mampu lagi menampung peluh bercucuran dari kening, sementara tubuhku ditutupi keringat dingin. Aku segera membenamkan tubuh dalam bath tub yang berisi air dingin, sedikit membantu mengurangi gelisah. Aku tak pedulikan ketukan pintu kamar ketika sedang berendam dalam kemelut jiwa di kamar mandi. Ketukan pintu itu kembali menggangu kesendirian. Aku menghukum diriku sendiri. Sikap sinis Laura dan “hadiah” hasil jarahan Tia membuat diriku merasa terasing. Kini ketukan pintu kamar itu semakin “ganas”. Aku bergegas keluar dengan lilitan handuk pada bawah tubuhku yang masih masih kuyup.

Laura mempelototiku ketika aku membuka pintu. “ Mas, kenapa susah benar membuka pintunya? Sedang asyik menghitung jerih payahmu,?” tanyanya, sorotan matanya tajam menusuk ke seluk -seluk kalbu, sesak aku. Aku diam tak mau menanggapi ucapannya. Laura menahanku ketika berbalik menuju kamar mandi.

“ Kenapa mas diam,? Puas dengan hasil keringatnya?” cecernya. Hampir saja aku meledak, kalau bukan menyadari kesalahku. “Iya, Laura aku telah menghitung semuanya, cukup banyak. Mereka juga memberi bagian untuk mu?” ujarku pelan bak orang ketakutan.
“ Mas, pikir aku manusia sampah!?”
“ Nggak! Aku hanya meberitahukan, kalau mereka memberimu sampah...eh..maksudku jatah...”
“ Makan mas sendiri jatahmu itu,” kejarnya.
“ Iya, mau tak mau aku makan jatah ku. Bagaimana dengan jatahmu?” ujarku enteng tanpa beban lagi. Habis sudah rasa takut, timbul rasa jengkel. Laura menahanku saat mau kembali kekamar mandi.

“ Laura, aku mau pakaian dulu? Emang maumu ingin melihatku seperti ini? Dasar perempuan genit,” gurauku. Tiba-tiba Laura melepaskan pegangannya. “ Jawab dulu, Laura mau melihatku berkubang basah lebih lama lagi . Nggak apa-apa, aku siap menahan dingin demi kepuasanmu,” ejekku. Aku segera manangkap tangannya ketika mau mendarat dipipiku.
” Minta kok main tampar. Uhhh...dasar permpuan,” ucapku ngenyek.
“Masss...!” teriaknya sambil melepaskan tangannya dari gemgamanku, lantas dia meninggalkanku dikamar.

“ Sampai ketemu di Jakarta mbak,” teriakku dari selah pintu ketika dia berlari kecil kekamarnya. Laura terus melangkah tanpa menolehku. Empat puluh lima menit menjelang keberangkatan kereta aku kaget atas kedatangan Tia ke kamarku. “ Ayo mas, sebelum kereta berangkat, “ ujarnya. Sebelumnya, aku sudah ada niat pulang bareng dengan Laura meski tiket kereta telah ditangan. Tetapi karena kami langsung”perang” saat bertemu, niat itupun batal.
Tampaknya Tia puas hasil rekayasaku. Hal itu kurasakan selama perjalanan ke stasion kereta. Bicaranya lancar dan ceria. Selain itu dia masih menyisipkan kalimat pujian, gombal habis. Tia segera permisi meninggalkanku di halte setelah melihat kedatangan Laura. “ Mas, aku mau balik lagi kekantor. Tuh..Lala datang,” tunjuknya kearah mobil Laura. Sadar Laura amarahnya masih membara, mungkin juga cemburu, kunyalakan lagi sumbu kompor ke seribu.

Aku menahan Tia sejenak, pura-pura menanyakan sesuatu. Ditengah orang banyak, aku mencium pipi Tia sebelum dia berlalu. Aku tahu itu tabu. Aku tak peduli. Yang penting aku mau “kerjain” Laura. Tia masih sempat berpapasan dengan Laura ketika mau menemuiku di sisi pintu kereta. Buru-buru aku masuk kereta setelah Laura mendekat kearahku. Dia mengejarku ke pintu masuk, berteriak memanggilku,” Mas...tunggu sebentar. Kita pulang bareng. Aku nggak ada teman,” ajaknya. Nggak enak dilihatin orang banyak, aku turun dari kereta. Aku segera menjauh ketika Laura menarik koper kecil yang ku tenteng.

“ Jangan Laura. Isinya banyak sampah,” ujarku sambil menghindar dari jangkauan tangannya.
“ Mas...aku capek nyetir sendiri. Mas..tolong aku.”
“ Aku juga capek Laura. Semalan aku hanya tertidur di kamar mandi. Aku mau istrahat di kereta sambil menghitung ulang sampah hasil jarahan itu,” sindirku.
“ Mas, tak punya perasaan,” ujarnya dengan bibir bergetar.

“ Ya.Perasaanku telah hilang diracuni bisa ular dan belut. Pulanglah sendiri. Hati-hati dijalan, sampai ketemu di kantor.”
Laura menatapku sendu. Matanya memerah kemudian dia dan aku sama-sama berbalik langkah. Aku masuk kedalam kereta, Laura menuju mobil membawa sejuta kecewa. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, September 28, 2009

Telaga Senja (129)


IL Divo: Everytime I Look At You
I used to think that I was strong/I realise now I was wrong/'Cause every time I see your face/My mind becomes an empty space/And with you lying next to me/Feels Like I can hardly breathe

I close my eyes/The moment I surrender to you/Let love be blind/Innocent and tenderly true/So lead me through tonight/But please turn off the light/'Cause I'm lost every time I look at you

And in the morning when you go/Wake me gently so I'll know/That loving you was not a dreamAnd whisper softly what it means to be with me/Then every moment we're apart/Will be a lifetime to my heart

I close my eyes/The moment I surrender to you/Let love be blind/Innocent and tenderly true/So lead me through tonight/But please, please turn off the light / 'Cause I'm lost every time I look at you/Lost. Every time I look at you

====================
“ Boleh aku masuk,?”
“ Perlu apa?”
“ Memenuhi janjiku tadi malam. Aku mau menjelaskan kenapa aku “memperbaiki” laporan keuangan.”
“ Aku mau istirahat mas. Kita selesaikan di Jakarta saja,” ujarnya sambil menutupkan pintu.
====================

AKU tetap berdiri didepan pintu kamarnya. Sel-sel otak mulai berfungsi normal tetapi suhu tubuhku panas seperti terbakar, karena tak sedikitpun alkohol yang kuteguk mau keluar dari perut walau telah kupaksakan keluar. Ku coba konsentrasi sambil memikirkan bagaimana caranya aku masuk kedalam “lubang jarum” sementara ujung benang basah dan kusut pula.

Aku sengaja bersandar di depan pintu kamar sambil melorotkan tubuhku duduk diatas karpet. Berulangkali menghela nafas seperti orang mengeluh dan sesekali kepalaku menyentuh pintu kamar, kemudian terkulai dalam topangan tangan diantara dua lutut tertekuk.

Beberapa petugas dan tamu yang berlalu dari depanku ketawa geli setelah menjawab pertanyaan mereka,” kenapa duduk di luar,?”
“ Aku diusir isteri dari dalam,” jawabku sambil mendongkakkan kepala. Sepasang perempuan lari terbirit-birit setelah melihat sorotan mata memerah kehilangan sinar , “ Idihh.. matanya seram,” serunya.

Perlahan aku mendengar engsel pintu kamar dibukakan. “ Mas, masuk, ntar kedinginan,” ajak Laura. Aku diam tak menyahut ajakannya, kepalaku tetap masih terkulai diatas topangan tangan.

Akhirnya benang kusut itu masuk juga dalam lubang jarum itu, bisikku dalam hati. Laura mengulang ajakannya agar aku masuk kedalam kamar, kali ini dia menarik lenganku setengah paksa,” Ayo masuk, nanti mas sakit.”
Aku menuruti ajakannya masuk kedalam kamar. Tanpa sepatah kata, Laura langsung naik ketempat tidur dan membungkus seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut. Aku mendekati dan menyingkap selimut dari kepalanya, “ Laura, permisi aku mau tidur diluar.”

“ Mau tidur dengan Tia? Pergilah!” ketusnya.
“ Bukan! Aku mau tidur di emperan hotel.! jawabku
“ Mau bawa selimut mas?” tanyanya serius. Bah! mati kartu aku. Tak ada lagi kalimat bujuknya, semua terampas oleh keangkuhanku sejak kemarin subuh. Tega nian dia membiarkanku tidur diemperan.? Aku berbalik langkah setelah menututupkan wajahnya dengan selimut tanpa sepatah kata, tetapi aku enggan kembali ke kamarku , disana Tia sedang berbaring. Akhirnya kuputuskan tidur di kamar mandi. Aku menggelar handuk diatas bath tub , tidur tanpa alas kepala.

Pilihan tidur di kamar mandi tanpa rencana sebelumnya, ternyata dapat menurunkan suhu tubuh karena minuman alkohol berlebihan. Untuk beberapa saat aku tertidur pulas, hal ini kurasakan setelah rasa berat dikepala telah hilang. Dalam lelapnya tidur, tanpa kusadari, rupanya Laura menutup tubuhku dengan selimut. Aku terjaga setelah merasakan tubuhku kembali hangat. Aku keluar dari kamar sambil membawa selimut. Laura tertidur meringkuk menahan dinginnya ruangan. Perlahan, agar tidak terjaga, aku kembali menyelimutinya.

Menjelang pagi, aku terbangun namun masih tergolek di bath tub. Kepala mulai terasa sakit karena tidur di bath tub tanpa alas. Laura kembali mendatangiku ke kamar mandi dengan membawa selimut dan bantal. Dia kaget ketika aku menangkap tanganya saat mau menyelimutiku. “ Lebih baik nggak usah pakai selimut, enak begini dingin,” ujarku. Tak ada respon, dia meninggalkanku tergeletak di kamar mandi, sendirian.

Tidak lama setelah dia meninggalkanku di kamar mandi, hidungku terganggu mencium bau asap rokok. Aku bangkit, keluar dari kamar mandi, melihat Laura duduk mengangkat kakinya keatas coffe table seraya menyedot rokok menthol berwarn biru.
Aku mendekatinya seraya menegur: “ Belakangan ini Laura merokok berlebihan. Lagian, masya sih kamu merokok dalam kamar, pengap,” tegurku.

" Aku merokok berlebihan ? Apa pedulimu mas? Aku juga beli rokok dari hasil keringatku sendiri. Mas tak tahan asap rokok? Gampang, keluar saja dari kamar,” jawabnya tanpa menolehku.
“ Laura, kenapa kamu ketus seperti itu?”
“ Memang mas siapa? Aku iya aku, kamu iya kamu, faham!?” hentaknya. Kalimatnya terasa menghujam ulu hatiku. Pisau berbalik gagang. Kalimat itu pula yang ku hujamkan kepadanya kemarin malam sebelum ke klub malam.

"Boleh aku bicara tentang pembukuan yang aku robah itu itu?"
" Tak ada yang melarang mu bicara."
" Walau terlambat, aku telah menyadari kesalahan itu. Aku terbawa perasaan atas "kebaikan"Tia dan Ririn. Aku janji akan memperbaikinya lagi sebelum kembali ke Jakarta."
" Kemarin dulu, sebelum mas berangkat aku telah ingatkan. Tetapi karena Tia menyodorkan madu, jadi lupa diri. Mas tak sadar kalau didalam madu yang mas teguk itu bercampur racun."

" Ya Laura. Aku telah menyadari semuanya. Laura masih menyimpan marah.?"
" Marah!?" Ya, karena begitu mudahnya mas menjual diri.!"
" Tetapi Laura, aku sudah menyadari dan mengaku salah. Aku telah melacurkan diri dan profesiku . Aku bodoh dan terjatuh kedalam lembah terjal. Laura nggak mau menolongku.?"
" Manusia luar biasa seperti mas, masih mengharap tolong dari aku yang kamu anggap perempuan jalanan.?"

" Laura! Aku tak pernah menganggapmu perempuan serendah itu. Mestinya sebagai sahabat Laura dapat memahami kenapa semuanya ini terjadi.
" Tetapi terlalu menyakitkan mas. Hanya dalam tempo dua hari, perubahan dirimu begitu dahsyat. Berulangkali aku mencoba menyadarkanmu, tetapi cacimaki yang ku dapat. Sekarang setelah,...."
" Sudah Laura. Cukup! Tidak usah lagi menabur cuka dalam luka," balasku memotong kalimatnya.
" Mas terluka? Siapa melukai siapa?"
" Iyalah, aku terlanjur telah melukaimu. Terserah kamu mau memaafkan atau tidak." ujarku sambil menginggalkannya di kamar. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Sunday, September 27, 2009

Telaga Senja (128)

CATS:One Way Wind
You said some winds blow forever/and I didn’t understand/but you saw my eyes were asking/and smiling you took my hand so we walked along the seaside/where trees grow just one way/pointing out the one direction/that the wind blows day after day.

One way wind/one way wind/are you trying to blow my mind ?/One way wind/one way wind/is she her that I hoped to find/
why you blow the cold every day /tell me what are you try to say.

No I don’t know all about you/and maybe I never will/but I do know ev’ry word of/our talking upon the hill/and whenever I will see you /for maybe one more time/I’m sure I’ll get the answer/that the wind has still in mind.

==================
“ Teman dari Jakarta,” jawabku ketika Tia menanyakan siapa perempuan itu. Selanjutnya aku tak tahu Laura pergi entah kemana.
“ Bukannya kemarin calon isterinya datang dari Jakarta.?”
“ Baru saja kami “cerai” ujarku disambut tawa Tia.
==================
TEGURAN Laura menyangkut pekerjaan terus menggangu pikiran kala aku dan Tia pergi ke klub malam. Bagaimana pula Laura tahu kalau aku telah merekayasa hasil audit kami padahal aku melakukannya tanpa sepegetahuannya. Mungkinkah dia masuk kekamar tanpa sepengetahuanku? Pikiran terus berkecamuk hingga tiba di klub malam. Tia menegur setelah melihat perubahan diriku, lantas mengajak melantai. Meski tak punya gairah, aku mengikuti irama musik seiring dengan langkah Tia. “ Pikirin apa sih mas?” tanya Tia setelah merasakan gerakanku seadanya walau dia berulangkali mendekapku erat.

Aku semakin gelisah saat wajah Tia menempel diatas dada, aku melihat sosok mirip Laura masuk, dia memilih duduk di ujung ruangan. Perlahan aku melepaskan pelukan Tia dan mengajaknya kembali duduk. Aku menutupi kegelisahan itu dengan menambah porsi minuman. Tia hanya senyum ketika aku meminta minuman “double”.

Mataku liar mencari sosok Laura dalam temaran cahaya ditengah riuhnya pengunjung. Tia mendekatkan mulutnya ke telingaku sambil menunjuk ke sebuah meja, ” Sepertinya aku mengenal perempuan itu. Dia Lala, panggilan akrab Laura, dari kantor pusat iya mas!?” tanyanya.

Benar, Laura duduk sendirian. Aku melihat dua kursi kosong disana. Awalnya aku ingin menemuinya tapi urung, bahkan aku menolak ketika Tia mengajakku bergabung dengan Laura. Sejenak Tia meninggalkanku menuju meja Laura sekaligus ia ingin memastikannya.

Tia dan Laura berpelukan, bicara sejenak kemudian kembali menemuiku. Tia heran ketika aku menolak duduk bersama Laura.” Bukankah mas sekantor dengan Lala? Lala datang dalam rangka apa?” tanyanya. Tia pun kaget ketika aku beritahu, Laura datang untuk membantu menyelesaikan pekerjaanku. “ Tadi Tia nggak lihat siapa temanku ribut didepan kamar,?” tanyaku.

“ Nggak, Aku nggak tahu dengan siapa mas ribut!. Ah...ayolah kita kesana, aku nggak enak nih,” ujarnya sambil menarik lenganku secara paksa. Laura tak membalas sapaanku ketika aku menemui ke tempat duduknya, kecuali memandangku dengan tatapan kosong. Aku semakin kalap. Kalau saja Tia tidak bersama kami, ingin segera meninggalkannya.

Sementara Laura dan Tia masih asyik ngobrol, minuman dengan porsi double terus ku libas. Pada pesanan berikut, tangan Laura menahan gelasku berisi minuman, “ Cukup!” hentaknya dengan tatapan tajam. Tia senyum kecut mendengar hentakan Laura. Merasa ada “angin” aku mengajak Laura turun tetapi ditolak. Wuih...angin palsu rupanya batinku.
Gagal dengan Laura, aku menarik tangan Tia, mau. Menghilangkan rasa dongkol terhadap Laura, sengaja aku menahan Tia lebih lama di depan mengikuti alunan musik hingga kaki terasa pegal. Kembali ke tempat, aku tak menemukan Laura disana kecuali gelasku dan gelas Laura telah kosong. Tia ikut-ikutan mencegahku ketika menambah minuman. Dia menyodorkan minumannya yang masih tersisa. Tak lama berselang, Tia mengajak kembali ke kamar setelah seseorang datang menjemput kami. Sebelum keluar dari ruangan, aku pastikan kalau Laura sudah tidak ada lagi didalam night club.

Tia bersikeras mengantarkanku masuk kekamar walau aku menolaknya. “ Mas jalannya sempoyongan,” dalihnya. Padahal aku merasakan langkahnya juga sudah tak beraturan. Tiba dikamar, aku menemukan Laura duduk sendirian dengan kepulan asap rokok menyengat. Untuk kesekian kali aku melihat Laura mengenakan pakaian minim setelah beberapa minggu sebelumnya kami jalan ke pantai di Yogya. Laura menyambut sapaan Tia lantas berdiri meninggalkan aku dan Tia di kamar. Dia menepiskan tanganku dan tak mau menjawab ketika aku menanyakan dia mau kemana.

Sepeninggal Laura, Tia terhempas diatas tempat tidurku.” Mas aku numpang tidur sebentar, kepalaku pusing,” mohonnya.
Tingkah Laura sejak di klub malam hingga aku menemukannya sendiri di kamarku, menambah rasa ingin tahu, apa maunya. Aku tinggalkan Tia sendiri dikamar setelah aku berusaha memulihkan “ ganguan syaraf “ lewat semedi singkat dikamar mandi.

Dengan suara pelan dan bujuk rayu aku mengetuk kamar Laura, namun tak ada jawaban. Hal itu berlangsung kurang lebih lima belas menit. Aku tetap bertahan didepan pintu kamarnya sambil mengetuk pintu kamar dengan irama ketukan yang berbeda. Mungkin merasa terganggu atau kasihan, Laura membuka pintunya tanpa sepatah kata. Tampakku ekpresi wajahnya tak bersahabat, kemudian mengajukan pertanyaan bodoh, “ Aku menggangumu Laura.!?”

“ Ya” jawabnya singkat tanpa menyilakan aku masuk.
“ Boleh aku masuk,?”
“ Perlu apa?”
“ Memenuhi janjiku tadi malam. Aku mau menjelaskan kenapa aku “memperbaiki” laporan keuangan.”
“ Aku mau istifrahat mas. Kita selesaikan besok di kantor Jakarta saja,” ujarnya sambil menutupkan pintu. (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, September 18, 2009

Telaga Senja (127)



http://www.youtube.com/watch?v=pdLklXD5YYc
(music: right click on mouse then click “open in new window”)

Shania Twain : The Woman In Me

Not always strong/And sometimes i’m even wrong/But i win when i choose/And i can’t stand to lose
But i can’t always be/The rock that you see/When the nights get too long/And i just can’t go on
The woman in me/Needs you to be/The man in my arms/To hold tenderly/Cause i’m a woman in love/And it’s you i run to/Yeah the woman in me/Needs the man in you

When the world wants too much/And it feels cold and out of touch/It’s a beautiful place/When you kiss my face

The woman in me/Needs you to be/The man in my arms/To hold tenderly/Cause i’m a woman in love/And it’s you i run to/Yeah the woman in me/Needs the man in you/Yeah the woman in me/Needs the man in you
I need you baby/Yeah yeah/Oh baby...
============== =
Ya Laura, akhirnya, sejak siang, sepeninggalmu aku menjadi manusia bejat.. Maaf Laura, semuanya telah terlanjur, biarkan aku mereguk kebebasan ini tanpa direcoki oleh siapapun, faham?”
=================
ENTAH apa yang masih terselip dalam benak Laura. Dia “pergi dan datang” sementara aku sudah kehabisan akal memahami sikapnya sejak dini hari kemarin. Belakangan, nuansa kalimatnyapun agak berubah dibanding sejak aku mengenal dia, puitis.
“ Mas, aku pergi hanya sejenak, berhening. Merawat luka dalam kesendirian, setelah mas mengenyahkanku dari rangkaian persahabatan yang kita rajut berbulan-bulan. Bahkan makanpun enggan bersamaku.!?”
“ Laura, belakangan ini kamu selalu menimpakan salah atasku. Seingatku tadi siang, aku telah mengajakmu makan siang, bukan ,?” ingatku.

“ Iya mas. Setelah lebih dahulu menolak ajakanku. “
“ Laura, kembalilah ke kamarmu, nanti aku datang menyusul bila kamu masih ingin ribut.”
“ Justru aku datang mau mengakhiri silang faham antara aku dan mas.”
“ Semuanya cukup jelas kok. Tidak ada silang faham. Kita saling memahami keberadaan kita. Aku, iya aku, kamu, iya kamu, titik," tegasku. Namun, Laura seakan tak peduli dia terus membujukku kekamarnya.

“ Untuk yang terakhir mas. Kita bicara baik-baik . Aku janji tidak akan mencampuri urusan pribadi mas.”
“ Besok pagi saja. Aku mau pergi dengan Tia.”
“ Mau pergi kemana lagi sih!?” rengeknya.
Lho, katamu, nggak mau mencampuri urusanku. Kok malah tanya aku mau pergi kemana. Perlu apa kamu tahu jika aku mau pergi kemana !?” ujarku, lantas meninggalkan dia. Buru-buru Laura menarik lenganku, kuat.
“ Tidak mas, sekarang saja,” paksanya, bibirnya gemetar diikuti kelopak mata hampir mengucurkan air mata.

“ Baiklah Laura. Tetapi aku tak bisa lama-lama. Aku telah ada janji dengan Tia.” ujarku sambil mengikuti ke kamarnya. Tiba di kamar, Laura menghempasakan tubuhnya keatas tempat tidur diikuti jeritan tangis. Meski dia menutupi wajahnya dengan bantal, jeritan tangis dan suara lirih kudengar. Sayang, hatiku sudah keburu” bebal” seakan tak punya telinga hati yang mendengar seperti sediakala.

“ Laura, tadi kamu mengajakku mau bicara baik-baik, tidak untuk mendengar tangisanmu. Menurutmu, cukupkah tangisan menyelesaikan masalahmu,?” tanyaku kesal.

Laura tak menggubris teguranku, bahkan tangisannya terus berlanjut. Lagi-lagi Laura menjerit ketika aku permisi keluar kamarnya. Buru-buru dia bangkit dari tempat tidur melemparkan bantal dan berteriak; “ Mas, mau kemana ? Aku datang jauh-jauh bukan atas kemauanku. Mas memintaku datang kesini, kali kedua mas melemparkanku ke tong sampah seperti barang busuk. Aku juga punya harga diri mas!” isaknya.

“ Ya. Aku akui itu. Tetapi kamu terlalu banyak maunya. Aku tak sanggup melayanimu Laura. Aku lelah. ...”
“ Lelah? tetapi mas masih mau pergi dengan perempuan lain!?”
“ Aku katakan, lelah menghadapi tingkahmu. Bukan dengan perempuan lain, tahu!?”
“ Mas, kejam...!” teriaknya seraya melangkah kearah pintu kamar.
“ Iya..kejam dan bejat..dan apalagi yang mau kamu sebut..hah....!?” balasku teriak sambil berbalik meninggalkan kamar, tetapi Laura menghalangiku ketika mau keluar .

“ Tidak mas! Mas nggak boleh pergi,” cegahnya dengan rintihan. Walau hati kesal, hatiku mulai luluh medengar rintihan dan melihat liris-liris yang terukir diatas dahinya serta wajahnya mengharap bujuk. Bujuk mendulang bujuk. Dengan nada suara pelan aku memohon:” Untuk kali ini Laura, ijinkan aku pergi. Aku sudah terlanjut buat janji dengan Tia. “
“ Mas, mau pergi kemana,?”
“ Mau pergi hanya sebentar. Nanti aku segera balik, kesini. Laura mau ditemani tidur,?” tanyaku serius.

“ Nggak mas. Aku hanya butuh bicara,” jawabnya, seraya menggelengkan kepalanya.
“ Katakanlah sekarang juga. Kenapa harus menunggu nanti.!?”
“ Ayo kita duduk mas!” ajaknya, lantas menarik tanganku kearah kursi.
“ Laura, maaf, aku tak bisa. Malam ini aku harus pergi dengan Tia,” tolakku kemudian meninggalkannya. Laura mengikutiku hingga ke pintu kamarku.

" Kok tega amat sih mas!? Aku mau bicara hanya sebentar, tentang pekerjaan kita. Aku tak mau lagi mencampuri urusan pribadi mas," jelasnya didepaan pintu kamarku.

" Iya sudah kita bicarakan di night club saja. Mau ikut? Aku sudah janjian dengan Tia."
" Bagaimana mas bisa berpergian dengan Tia. Kan pekerjaaannya yang kita periksa?"
" Aku tahu itu. Semuanya ini gara-gara ulahmu. Kalau saja Laura nggak banyak tingkah, ini nggak bakal terjadi. Dimatamu, semua yang aku lakukan salah. Dan, aku paling sakit hati atas tuduhanmu tanpa dasar itu, kecuali karena cemburu."
" Kan, aku sudah minta maaf dan mas telah memaafkan aku. Kenapa sekarang hal itu dipermasalahkan lagi. ?"

" Aku hanya mengingatkanmu. Itu sebabnya selalu menjauh darimu , takut terulang lagi.!"
" Tadi aku sudah janji, tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Aku tahu diri mas!" balasnya dengan suara tersendat.
" Laura, katakanlah sekarang. Tentang pekerjaan? Ada yang salah?"
" Ada. Masalahnya sangat serius mas!"
" Mana lebih serius dengan masalah kita.?"
" Nggak ada masalah dengan aku. Aku hanya kasihan dengan mas, terbawa permainan Tia dan Cecep."
" Kamu mengasihani setelah menyiksaku."
" Aku tak pernah menyiksa mas. Tetapi aku sangat membenci perubahan sikap yang begitu tiba-tiba setelah bertemu dengan Tia dan Ririn."
" Nantilah aku jelaskan lagi, mengapa itu terjadi,okey!?" Aku segera menutupkan pintu, ketika melihat Tia beranjak menemuiku keluar.

“ Teman dari Jakarta,” jawabku ketika Tia menanyakan siapa perempuan itu. Selanjutnya aku tak tahu Laura pergi entah kemana.
“ Bukannya kemarin calon isterinya datang dari Jakarta.?”
“ Baru saja kami “cerai” ujarku disambut tawa Tia. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, September 17, 2009

Telaga Senja (126)






"Have You Ever Been in Love" Ringtone to your Cell /Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting stars /Youre holding heaven in your arms /Have you ever been so in love

Have you ever walked on air /Ever felt like you were dreamin When you never thought it could /But it really feels that good /Have you ever been so in love

Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting star /Youre holding heaven in your arms /Have you ever been in love, have you...

The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it dont let go, /I know

Have you ever said a prayer /And found that it was answered /All my hope has been restored /And I aint looking anymore /Have you ever been so in love, have you...

Some place that you aint leavin /Somewhere youre gonna stay /When you finally found the meanin /Have you ever felt this way

The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it, dont let go, /I know...

Coz have you ever been so in love, so in love /You could touch the moonlight /You can even reach the stars /Doesnt matter near or far /Have you ever been so in love

Have you ever been in love /Have you ever been in love /So in... love...



===============
“ Begitu malangnya nasib lelaki yang mengkhianatimu Tia. Dia mensia-siakan kejujuran yang terbentang dalam bening matamu,” balasku ngegombal. Weleweleh...kejujuran? Wong kemarin saja dia mancing-mancing kok. Bahkan baru saja juga dia mengajakku ke night club. Sekali gombal tetap gombal, puich...burgshiiik...
===============

TERNYATA lidah buaya tidak saja baik untuk rambut. Juga baik untuk petualang cinta seperti aku. “ Lidah buaya” manjur ketemu “ lidah belut.” ( belut punya lidah nggak sih?) Setelah makan siang yang penuh dengan bualan gombal, Tia mengajakku nonton. “ Siang begini kita nonton Tia. Apa serunya. "
“ Seru? Tergantung penontonnya. Apa bedanya pagi, siang dan malam ?” tawanya gurih. ( yach gombal lagi..) Tia menyuruh sopir kembali kekator setelah kami mampir di jewelry shop di bilangan down town.

Uang " centeng" dan pemberian Susan masih ditangan, setelah Laura tidak bersedia menyimpannya. Takut habis dimeja judi, aku belanjakan beli arloji dan cincin yang sudah lama ku idam-idamkan. Tia super aktif ketika aku masih memilih-milih jenis arloji dan cincin yang akan kubeli.

“ Koko, tolong ambilkan yang itu,” tunjuknya kearah arloji seraya menanyakan harga. Aku agak aneh mendengar jawaban pemilik toko. Di Jakarta aku hanya sering mendengar kala menawar beca atau bajaj; “ pek go; gopek; seceng. Di Casino sering kudengar; ceban, ban go, cepek ceng dan cetiau.” Kalau nggak salah dengar pemilik toko itu menyebut , “ La pek ban.” Kemudian Tia menjawab: ” Boleh gopek ban.?” tawar Tia. Pemilik setuju.

“ Sekalian dengan cincin iya mas? “tanyanya genit. Aku tak menanggapi pertanyaannya.
“Kok hanya senyum. Ada yang lucu?” tanyanya sementara tangannya ramah mencubit lenganku.?
“ Aku mau beli anting-anting juga,” jawabku disambut tawa lebar si koko. Tia buru-buru mau membayar arloji dan cincin yang kupilih. Penjaga toko kebingungan menerima pembayaran ketika aku dan Tia sama-sama menyodorkan pembayarannya. Tia akhirnya mengalah setelah melihat aku ngotot menolak pemberiannya.

Ketika arloji dan cincin melingkar di jarimanisku, aku benar-benar puas setelah menang dari godaan Tia. Hampir saja kepercayaan bossku Adrian kugadaikan demi sejumlah barang yang nilainya tidak terlalu berarti dibandingkan dengan uang"jarahan" Tia dan Cecep. Meski Tia merasa kecewa atas penolakanku, dia tetap bersikap hangat. Pegangan tangan Tia semakin erat ketika kami keluar dari toko.

Kami menelusuri trotoar pada sisi jalan menuju bioskop. Tia meminta ke penjual tiket nomor kursi dipojok belakang. Tak begitu banyak penonton siang itu. Seperti biasanya, aku tak begitu tertarik menonton film apalagi produksi dalam negeri, cengeng dan membosankan. Aku tertidur diatas kursi. Tia berulangkali membangunkanku. Terakhhir dia menyandarkan kepalaku ke bahunya, sementara kepalanya disandarkan disisi kepalaku, tangannya “parkir” diatas pahaku. Menjelang usai pemutaran film, dia meremas pahaku, berujar: “Mas, bangun filmnya sudah selesai.”

Aku dan Tia kembali kehotel menjemput semua berkas yang telah di audit. Tia meninggalkanku dikamar dan mengingatkan akan menjemputku. ” Siap-siap mas, aku jemput pukul delapan,” ujarnya dengan tatapan mata penuh bening-bening kepalsuan. “ Iya. Aku menunggu, jangan kelamaan,”balasku.

Sepeninggal Tia, aku “menyusun”tenaga persiapan nanti malam. Meski hatiku masih galau karena aku tak tahu keberadaan Laura, aku terus mencoba melupakannya, berhasil. Aku tertidur pulas untuk beberapa lama. Terbangun ketika alarm jam dalam kamar hotel itu membangunkan tepat setengah jam sebelum Tia menjemputku.
***
Dengan selembar handuk menutupi tubuhku, aku keluar dari kamar mandi membukakan pintu setelah seseorang mengetuknya berulang, ternyata Tia. Aku menyilakan Tia masuk. Tanpa kusadari, Tia mengikutiku masuk kedalam kamar mandi. Dia menyergapku seperti orang kerasukan. Nafasnya sengal. Pergulatan “ buaya” dengan “ belut” dikamar mandi itu berlangsung spontan namun tak lama. “Gemuruh ombak” itu segera berlalu setelah mendengar ketukan pintu kamar. Tia buru-buru keluar dari kamar mandi kemudian duduk dikursi tengah seakan serius membuka -buka majalah.

Dengan tubuh setengah telanjang, hanya mengenakan celana jean tanpa hem, aku keluar. Seperti aku duga sebelum membuka, Lauralah orangnya yang mengetuk kamar itu. Dugaanku benar. Laura berdiri didepan pintu. Sengaja pintu ku buka lebar-lebar agar dia melihat ada perempuan”belut” duduk didalam kamar.

“ Laura, apa lagi yang kamu butuhkan ?” tanyaku sambil menarik lengannya menjauh dari pintu kamar. “ Bukankah Laura telah memutus tapak jalan yang kita akan lintasi. Sebelumnya, Laura telah menebar duri disepanjang jalan hingga ke ujung. Laura! Tak ada lagi yang tersisa kecuali melati melekat diatas dadaku. Itupun hampir layu. “ ucapku getir.
“ Mas, salah mengerti. Aku tak pernah memutus tapak jalan itu, bahkan aku memberi jumbai berwarna cerah disepanjang jalan sebagai makna perasahabatan diantara kita. Aku tidak memutus mas.!”

“ Oh..begitu.!? Tetapi malam ini, tolong aku jangan diganggu, biarkan aku menapak kemana kakiku akan melangkah. Laura dapat mencabut dan membakar jumbai itu. Aku tak butuh ornamen bermakna keberpuraan-puraan. Aku juga telah berulang kali mengatakan, kita hanya berteman sebatas sahabat, tanpa harus saling meributkan. Tetapi entah kenapa Laura selalu cemburu bahkan dengan beraninya kamu menudingku manusia tak bermoral, bejat. Iya Laura, akhirnya, sejak siang, sepeninggalmu aku menjadi manusia bejat.. Maaf Laura, semuanya telah terlanjur, biarkan aku mereguk kebebasan ini tanpa direcoki oleh siapapun, faham.?” (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, September 16, 2009

Telaga Senja (125)





There's something in your eyes/that's far too revealing/Why must it be like this love without feelin'/Something's wrong with you I know/I see it in your eyes/Believe me when I say/It's gonna be okay

I told you from the start I/won't be demanding/I won't be demanding/If you have a change your heart/I'll be understanding/I'll be understanding/When love becomes a broken heart/and dreams begin to die/Believe me when I say/We'll work it out some way

(*)
I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want/It's what I want/I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for/I'll be the first to help you try/Believe me when I say/It's hard to say goodbye

We've lost that loving touch we/used to feel so much//I try to hide the truth that's in my eyes/The love without feeling/But when I feel we're not in love, I know I'm losing you/Believe me when I say/We'll work it out some way

(*)
If it's what you want/It's what I want/I want what's best for you/I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want/It's what I want/ I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for I'll be the first to help you try/Believe me when I say/It's hard to say goodbye

I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want It's what I want/I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for/ I'll be the first to help you try

====================
“ Titik air mata kebahagian mas. Setelah aku mampu mencurahkan semua yang lama terpendam dalam hati.”
“ Kamu bahagia diatas ketersiksaan sahabat yang mengasihimu.!?”
“ Aku tak mampu lagi membedakan antara kasih dan cinta mas! Pergilah, sebelum mereka terlalu lama menunggumu.”
====================

SEJUK itu hanya berlangsung sejenak, selebihnya rangkaian kalimat getir dan gersang. Air bandang itu datangnya begitu tiba-tiba dan tertumpah ruah kala menikmati simponi pagi menjelang siang. Tak tahu lagi harus berbuat apa, kecuali pasrah. Aku membiarkan Laura keluar dari kamarku meninggalkan sejuta tanya. Selera makanku pun hilang sama seperti Laura yang telah menolak makan bersamaku. Ditengah perasaan galau, aku berangkat ke kantor Cecep membawa seluruh berkas-berkas yang telah kami selesaikan.

Tiba di bawah aku baru sadar, kalau aku sedang di Bandung. Tak tahu jalan menuju ke kantor. Aku tahu hanya alamatnya. Siang itu tak satupun taksi lalu lalang didepan hotel. Aku kelimpungan, sesak dihati. Aku kembali ke hotel duduk di lobby, mengharap, Cecep atau Tia akan menelponku. Tidak lama, Tia telah datang bersama sopir menyusulku ke hotel, sementara aku tak tahu keberadaaan Laura.

Senyum Tia mengembang dibibirnya ketika bersua denganku di lobby hotel. Siang itu pakaiannya sedikit agak “sopan” dibanding hari sebelumnya. Blouse lengan panjang bermotif kembang - kembang kecil dipadu dengan trouser berwarna gelap. Sepasang anting teruntai di ujung daun telinganya serasi dengan jenjang leher yang dibungkus dengan kulitnya berwarna kuning langsat. Tia mengajakku ke kamar hotel sebelum menuju kantornya.

Tia berhasil membujukku untuk membuka kembali berkas-berkas yang telah Laura tutup dengan akurat dan rapi. Dia meminta ada semacam “rekonsiliasi,” yang seharusnya tak bisa terjadi, setelah investigasi telah berlangsung. Aku bagai dihipnotis mengikuti kemauannya. Selain karena masih diliputi rasa kecewa atas ulah Laura, otakku liar kurang konsentrasi. Kepala Cabang Cecep menyampaikan pesan lewat Tia, agar “memperbaiki” posisi laporan akhir, tentu saja dengan “penyulapan” angka-angka.
***
Suatu ketika, adikku Lam Hot yang telah lebih dulu bekerja sebagai auditor intern perusahaannya, telah mengingatkanku agar bijak dalam menyimpulkan suatu laporan, lihat situasinya. “ Investigasi keuangan itu gampang-gampang susah. Ada sejumlah pimpinan dan manager keuangan yang cooperative, ada yang bengal. Biasanya tipe manusia seperti ini banyak maunya, dan sudah pasti bermasalah. Tak jarang diikuti ancaman terselubung. Tetapi kemauannya dituruti, “pukulannya” besar,” terangnya kala itu. Tapi tak jarang, lanjut Lam Hot, pimpinan sadar akan kesalahannya langsung mengambil inisiatif “menyelesaikan “ lewat bebagai cara diantaranya perempuan dan uang. Pada saat ini kita berada pada posisinya yang sangat sulit. Kita mau, resiko pemecatan jika sampai ketahuan. Ditolak, ancaman pisik atau kita dilaporkan dengan macam-macam fitnah. Tetapi biasanya seperti ini, kantor sudah maklum, walau kadangkala kita diperiksa juga.
***
Sebelum permintaan Cecep dan Tia diajukan, aku tertanya-tanya, bagaimana mereka tahu laporan yang aku susun, sementara aku belum pernah memperlihatkannya kepada siapapun, kecuali Laura. Aku yakin, Ririn telah membaca semua laporanku ketika pagi itu aku dan Laura ribut di luar hotel. Langsung saja aku tembak Tia, “ Ririn membocorkan laporanku iya!?” tanyaku. Meskipun Tia tidak menjawab, dari mimik wajahnya, mengatakan “iya”. Lalu kebijakan apa yang harus ku tempuh ? Peringatan adikku Lam Hot jauh hari sebelumnya agar lebih bijak, menjadi acuanku menjawab permintaan Cecep dan Tia.

Banyak jalan menuju Roma. Aku siap untuk itu walau satu jalan diantaranya terancam batu longsor. Aku pakai payung baja bila perlu, bisik hatiku. Nah kalau logsor itu langsung menelungkupiku?. Ah...lanteunglah semua itu, kataku lagi dalam hati. Jangankan mengubah angka, seandainya Tia bertingkah seperti kemarin, aku siap melayaninya sebagai pelampiasan kekecewaanku terhadap Laura, juga kepada Magda yang banyak maunya. Hari itu, aku betul-betul siap jadi “pelacur” profesi dan pelacur sungguhan. Gila!.

Aku hanya menganti angka-angka yang kubuat sebelumnya dengan yang telah mereka siapkan. Memang masih ada sejumlah angka yang mereka harus pertanggungjaawabkan namun jumlahnya hanya sekitar 25 persen dari angka yang seharusnya.
“ Tadi pagi aku telah telepon pak Adrian di Jakarta. Beliau setuju mas kembali besok pagi,” ujarnya , senyumnya merekah. “ Nanti malam nggak ada acara kan? Temanin Tia iya, kita ke night club? ajaknya. Bah! tahu pula dia “cekian” ku? " Hm...Iya aku nggak kemana-mana, bolehlah. Dengan siapa kita kesana?
“ Kita berdua mas.!”
“ Pukul berapa kita berangkat ?” tanyaku semangat.
“ Menurut mas, baiknya pukul berapa.?
“ Terserah Tia. Yang mengundang kan kamu !?”

Bagai kerbau dicucuk hidung, mungkin iya juga siang itu aku jadi “kerbau”, aku turut saja apa maunya Tia. “ Kita makan dulu mas. Mas kelihatannya belum makan siang, “ ujarnya menduga-duga. Wah...ketemu nenek sihir kedua nih, pikirku setelah tebakannya benar. Memang aku tak jadi makan siang dengan Laura karena perseteruan hati.

Sementara kami makan siang, “gombal-menggombal” berlangsung. “ Perempuan itu bernasib mujur bila bersuamikan mas. Lelaki setia meski tampak jantan.!” ujarnya. Lho, kalau tampak jantan mestikah jadi pejantan seperti hewan? tanyaku geli dalam benak.

“ Begitu malangnya nasib lelaki yang mengkhianatimu Tia. Dia mensia-siakan kejujuran yang terbentang dalam bening matamu,” balasku ngegombal. Weleweleh...kejujuran? Wong kemarin saja dia mancing-mancing kok. Bahkan baru saja juga dia mengajakku ke night club. Sekali gombal tetap gombal, puich...burgshiiik... (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (124)

http://www.youtube.com/watch?v=VnY_2mGQcNc

==========================
Laura,aku kecapekan setelah tadi malam telah melayani dua perempuan,” bisikku. Laura tak tahan menahan gelaknya. Pelan, dia sorongkan kepalaku dari pipinya. Aku kehilangan kesemibangan, aku dan Laura terjerembab ke atas tempat tidur.
==========================

GELAK duet diatas tempat tidur meredam ombak yang gelisah meski hanya sebentuk fatarmogana, namun berlangsung sempurna. Bening mata menyatu dalam rongga jiwa serta dalam deburaan nafas kasih. Gelora api yang sedang membakar hampir saja meluluhkan kekukuhan jiwa menerjang ketidakpatutan setelah malam sebelumnya lolos dari pertarungan berahi liar dengan Tia dan Ririn.

Kalau saja Laura tidak mengingatkan, pagi itu adalah pengkhiantanku yang tak terampuni terhadap Magdalena. “ Mas, cukup. Aku tidak ingin menodai kesucian hati mbak Magda dan mas meski akupun butuh. Cukup mas!?,” bujuknya dalam suara lembut. Mas , lagi-lagi mengguriskan kenangan baru dalam sudut hatiku," tambahnya seraya telapak tangan mengusap wajahku.

“ Terimakasih Laura, maaf.....aku...”
“ Nggak mas, nggak ada yang perlu dimaafkan,”potongnya seraya menutup mulutku dengan kelima jarinya. “ Ayo bangun, sebentar lagi kita menemui Cecep dan Tia di kantornya. Mas, marah...?” tanyanya ketika aku tak merespon.
“ Ya. Aku marah terhadap diriku sendiri,” balasku, lantas bangkit dari tempat tidur. Laura masih bersikap manja. Dia mengulurkan tangannya, berucap: “ Tolong aku mas!”
“ Laura, jangan nyalakan api yang telah padam,” ingatku seraya menarik tangannya dari atas tempat tidur.

“ Biarkan mas apinya menyala asal tidak liar membakar sekitar,” tawanya renyah. Sebelum Laura kembali ke kamarnya, dia mengusulkan, kami makan siang di dalam kamar. Dia akan memesan makanan lewat pelayan hotel.
“ Nggak lebih baik kita makan di luar,?” tanyaku.
“ Mas, aku pingin makan di sini. Boleh nggak.?”
“ Kenapa harus di dalam kamar. ?”
“ Aku mau makan bersama mas tanpa kehadiran siapapun. Mungkin yang terakhir sebelum aku kembali ke Yogya.”
“ Laura serius mau pulang ? Kapan?”
“ Nanti aku beritahu mas.”

“ Kamu nggak fair? Dua minggu lalu, ketika aku mau keluar, kamu marah dan menyiksa dirimu. Sekarang malah kamu mau keluar. Baiklah Laura, sebelum kamu mengundurkan diri, besok aku akan mengajukan mundur setelah semua kuberi pertanggungjawaban pekerjaanku. Untuk siang ini juga, aku tak bersedia makan bersamamu. Aku tahu, kita berjalan dalam lorong tanpa seberkas sinar penunutun harapan. Bahkan, pagi ini, Laura menaruh sembilu pemutus temali kasih disetiap tapak yang yang kita akan lalui.”

“ Mas, Selalu memberiku tetesan madu, gurih, tetapi aku tak mampu menelannya. Bukan saja bibirku getir akan cita rasanya, tubuhku pun terguncang kala madu itu menyelusiri dan menyatu dalam tubuh. Ijinkan aku mas, pergi menikmati madu yang mas teteskan di padang pasir, kering, penyempurna hati yang gersang. Mas, biarkan aku bersendung rindu di padang luas tak bertuan hingga saatnya madu yang masih merekah kering tanpa sebuah harapan. Cukup mas. Jangan lagi bersendung dengan lirik-lirik asmara yang menghantarkanku ke keperaduan abadi di tepian telaga diujung senja.....”

”.... dan senja itu telah kamu paksakan tiba sebelum waktunya. Laura juga menghantarkanku keperaduan abadi sebelum ajal menjemputku. “
“ Mas, bukan aku penentu ajal, bahkan kehidupan sekalipun. Seandainya aku memiliki keduanya, aku tidak akan pernah merasa kesepian pada harapan yang pupus.
" Laura memiliki keduanya, setidaknya hinga siang ini."
" Semuanya itu adalah kepalsuan. Sebuah ironi dalam kehidupan! Mas, manalah mungkin dirimu memiliki mentari dan rembulan, sekaligus."
" Aku tidak mengharapkan itu terjadi, tetapi jangan kamu paksakan matahari itu berhenti kala bumi itu membutuhkan sinarnya."

" Aku akan menahan jalannya matahari seandainya tanganku cukup panjang menyanggahnya. Mas, dikeheningan malam, rembulan itu berbisik ditengah gubahan lagu yang tercipta untukku,” Jangan mengharap hujan turun ditengah terik matahari.”
" Laura! Kini kamu bukan lagi sahabat yang aku kenal sebelumnya; Perempuan bersahaja, optimis dan santun serta inpiratif setidaknya bagiku."
" Terimakasih mas atas pujiannya. Sekiranya sanjungan itupun benar, semuanya berubah diluar kemampuanku seiring perjalanan waktu. Mas, meski aku menengadah keatas selaksa hari, mengharap, itu hanyalah kesia-siaan dan kebodohan."

" Cukup Laura! Tapi Laura tidak akan mengambil melati yang kupetik dan kini tersemat pada dadaku, bukan!?"
" Nggak mas.Biarkan dia luruh manakala tak seorangpun memberi air meski hanya setetes."

" Laura, aku setuju makan bersamamu, dikamar ini. Setelah itu kita berangkat bersama menemui Cecep dan Tia."
"Mas, aku tak lapar lagi. Pergilah sendiri menemui mereka. Biarkan aku sendiri untuk sesaat, sebelum aku pulang ke Jakarta," ujarnya dengan titik airmata.

" Laura! Baru saja kita menikmati keindahan pagi. Berpeluk dalam sendagurau kasih. Kenapa harus berakhir dengan rintihan dan airmata?"
" Titik air mata kebahagian mas. Setelah aku mampu mencurahkan semua yang lama terpendam dalam hati."
" Kamu bahagia diatas ketersiksaan sahabat yang mengasihimu.!?"
" Aku tak mampu lagi membedakan antara kasih dan cinta mas! Pergilah, sebelum mereka terlalu lama menunggumu." (Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, September 15, 2009

Telaga Senja (123)

Simply Red : If You Don’t Know Me By Now
If you don’t know me by now/You will never never never know me

All the things/That we’ve been through/You should understand me /Like I understand you/ Now girl I know the difference/Between right and wrong/ I ain’t gonna do nothing/To break up our happy home

Don’t get so excited/When I come home/A little late at night/Cos we only act like children//When we argue fuss and fight

If you don’t know me by now/You will never never never know me 3X

We’ve all got our/Own funny moods/I’ve got mine,/Woman you’ve got yours too/
Just trust in me /like I trust in you/As long as we’ve been together/It should be so easy to do

Just get yourself together/Or we might as well say goodbye/What good is a love affair When you can’t see eye to eye

If you don’t know me by now/You will never/Never never know me 3X

=======================
Apa yang terjadi tadi pagi, semuanya diluar sadarku. Kemudian mas menudingku cemburu? Iya , aku cemburu. Mungkin jalan terbaik untukku adalah, kembali ke tanah kelahiranku menangisi sebuah kehidupan yang tak punya makna.
========================

SENANDUNG pilu yang baru saja Laura dendangkan dalam ratapan bagai sembilu menyayat kalbu. Kebersamaan kami keseharian di kantor salah satu penyebab kenapa jalinan asmara yang telah kami akhiri itu terus "menyala". Walau aku tak akan menduakan Magda, tetapi tak akan membiarkan Laura meratapi kasih yang terajut tak sengaja itu. Aku mencium aroma keputusasaan sebagaimana Magda alami ketika aku mengkhiri hubungan kami, dulu.

" Mas, jangan berprasangka buruk walau aku mengajak istrahat dikamar ini. Aku merasa menyesal telah menggangu istrahatmu dengan perempuan itu. Tetapi, kalau mas merasa keberatan, silahkan bersama dengan perempuan itu lagi. Sampai kita ketemu nanti," ujarnya, lantas kembali merebah diatas tempat tidur. Pagi itu, aku tak ingin menambah siksa batinnya.
" Laura, aku tak menolak istrahat dikamar ini. Kenapa kamu mengusirku.?"

" Mas, aku tak mengusir, hanya mengajukan dua pilihan. Mau istrahat disini atau bersama dengan perempuan itu.?"
" Laura, aku mau ke kamar mengambil berkas-berkas, tetapi aku takut kalau perempuan itu masih disana."
" Halah...mas, bilang saja mau ditemanin," ujarnya seraya bangun dari tempat tidurnya.
" Salah satu kelebihanmu Laura, cepat memahami yang tersembunyi."
" Lho, kan mas julukin aku nenek sihir?" gelaknya. " Ayolah mas, ntar merajuk lagi," lanjutnya. Lengan Laura terus menempel pada lenganku hingga ke depan kamar. "Sini kuncinya mas, aku yang bukain," pintanya.

Kami menemukan Ririn masih dikamar tetapi sedang berkemas mau keluar. Dia menyambut kami dengan ramah seraya menguluran tangan dan menyebut namanya pada Laura. Laura menyambut ramah. Aku mendahului Laura sebelum memperkenalkan dirinya. " Kenalkan Laura, teman sekantor dan calon isteri," ujarku seraya melingkarkan tanganku pada pinggangnya.

" Oh...ini toh calon isterinya. Ya mbak, tadi malam mas Tan Zung cerita, katanya, nggak lama lagi mau nikah.? Selamat iya untuk kalian berdua.!" sambutnya. Sejenak Laura agak kikuk menerima ucapan selamat Ririn. Namun dia segera menutupinya dengan membalas ucapan Ririn seraya sedikit meembungkukan badanya berucap," Oh....iya doakan mbak."

" Jadi pulang hari ini,?" tanya Ririn.
" Nggak jadi. Aku dan calon nyonya mau jalan dulu. Tolong sampaikan pada Tia, sebentar setelah makan siang kami mau kekantor menyerahkan berkas-berkas itu."
Laura buru-buru menutupkan pintu kamar setelah Ririn keluar dan berbalik kearahku. Laura berdiri tegak dengan bertolak pinggang protes: " Apa-apaan sih mas? Ngaku-ngaku aku calon isteri.!"

" Aku khawatir dia marah. Dikirain pula kamu perempuan seperti dia."
" Mbok bilangin dulu sebelumnya. Aku kan kaget. Ntar benar-benar kejadian lho."
" Kalau jodoh apa salahnya.! Tadi Laura kan bilang pada Ririn," doakan mbak.!?"
" Maksudku, doakan nggak jadi." tawanya.

Setelah serapan, aku dan Laura menyelesaikan berkas-berkas yang tertunda karena "gangguan" Tia dan Ririn. Menjelang akhir penyelesaian aku meminta Laura membuat laporan akhir ke kantor pusat, sesuai dengan hasil pemeriksaan. " Laura, tolong selesaikan, aku mau istrahat. Gara-gara kamu dan Ririn aku kurang tidur," pintaku.
Laura menolak sambil merengek, manja: " Mas, aku juga capek. Sudah setir sendirian, tiba, pakai dibentak-bentak lagi. Aku mau tidur juga ah..."

" Laura datang mau ngapain? Aku suruh kamu datang mau bantuin aku, bukan.!?"
"Ya...iya ....aku bantuin mas, tetapi temanin aku ngobrol. Mas duduk saja, biar aku yang beresin," rengeknya. Laura akhirnya mengalah , diam, setelah melihatku meringkuk dalam bungkusan selimut.

Aku terbangun setelah kurang lebih dua jam menikmati tidur tanpa gangguan. Laura juga tak dapat menahan kantuknya. Dia tertidur diatas kursi, tak tahu berapa lama dia sudah tergeletak disana. Berkas-berkas menjadi alas kepalanya diatas meja. Laura tidak bergerak sedikitpun, seakan tidak mendengarku, walau telah berulang kubangunkan dengan menggerakkan tubuhnya agar pindah ke tempat tidur. Dia hanya membuka kelopak matanya, melirikku kemudian memejamkannya. Pagi hening dalam bening, aku mencium aroma kasih auranya. Naluriku bergeliat kala Laura membuka kelopak matanya seraya berujar lirih; " Terimakasih mas, aku tidur disini saja."

Laura mengangkat kepalanya menempel pada lenganku ketika aku menggeser kursinya pelan. Dengan tenagaku yang kembali pulih, mengangkat tubuhnya kedalam pelukanku. Sesaat kemudian tangannya melingkar diseputar leherku. Dia menggelengkan kepalanya ketika aku merebahkannya ke atas tempat tidur.

" Laura aku capek." bisikku disisi telinganya. Dia bergeming. Tangan Laura terus melingkar di leherku, kepalanya terus menempel diatas dadaku. Laura merespon ketika aku menempelkan pipiku diatas pipinya. Meski matanya masih tertutup, tangannya menahan kepalaku agar tetap menempel pada pipinya.
" Laura, aku kecapekan setelah tadi malam telah melayani dua perempuan," bisikku. Laura tak dapat menahan gelaknya. Pelan, dia sorongkan kepalaku dari pipinya. Aku kehilangan kesemibangan, kami terjerembab ke atas tempat tidur diiringi duet gelak. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, September 14, 2009

Telaga Senja (122)

Celine Dion: I Love You lyrics
Send "I Love You" Ringtone to your Cell /I must be crazy now/Maybe I dream too much
But when I think of you/I long to feel your touch

To whisper in your ear/Words that are old as time/Words only you would hear/If only you were mine

I wish I could go back to the very first day I saw you/Shouldve made my move when you looked in my eyes/Cause by now I know that you'd feel the way that I do/And I'd whisper these words as you'd lie here by my side

I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time

So today, I finally find the courage deep inside/Just to walk right up to your door/But my body can't move when I finally get to it/Just like a thousand times before

Then without a word he handed me this letter/Read I hope this finds the way into your heart, it said

I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time

Well maybe i, I need a little love yeah/And maybe i, I need a little care/And maybe i, maybe you, maybe you, maybe you/Oh you need somebody just to hold you/If you do, just reach out and I'll be there

I love you, please sayYou love me too/Please say you love me too/Till the end of time/These three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together

Oh, I love you/Please say you love me too/Please please/Say you love me too/Till the end of time/My baby/Together, together, forever/Till the end of time/I love you/I will be your light/Shining bright/Shining through your eyes/My baby
===================
Mata terpejam dalam renung siksa. Kepalaku terkulai disandaran kursi tempat aku berhening pasrah. Dalam kesendirian, aku merasakan sentuhan sepasang tangan menggemgam tanganku, dingin. Aku terhenyak dari lamunan. Suara perempuan, sendu kudengar menyebut namaku;.
“ Mas...mas..Tan Zung! Bangun...mas!”
===================
AKU berusaha melepaskan tanganku dari pegangannya. Kepalaku tetap terkulai diujung sandaran kursi, aku hanya meliriknya tanpa gairah. Kedua tangan Laura berpindah, menempel ke pipi;” Mas...bangun. Ayo istrahat dikamarku. Mas...Tan Zung..bangun,” ajaknya lagi. Laura menarik lenganku ketika mataku kembali kupejam.
“ Mas..ayolah istrahat dikamarku. Aku tahu, mas terlalu letih seharian,” ujarnya.

Dari mulutku yang kehilangan gairah itu meluncur kalimat sindiran. “ Ya, aku keletihan melayani dua perempuan sekaligus, Tia dan Ririn. Maaf Laura aku tak mampu lagi melayanimu, aku terlalu letih. Setelah kamu memakiku, karena Ririn tidur di kamarku, kini mengajakku ke kamarmu? Lain waktu saja Laura, pergilah, biarkan aku sendiri. Ya, aku terlalu letih,” ujarku tanpa menolehnya.

Beberapa saat Laura diam. Dia tidak menanggapi ucapanku, kecuali kedua tangannya meremas telapak tanganku. Di ujung helaan nafasnya yang panjang, dia mencium ujung jari tanganku;
“ Mas, aku mohon maaf. Tadi aku terlalu emosi. Mas, ayolah, kita bicara dikamarku. Ntar nggak baik didengar orang.” bujuknya.

“Apa pedulimu? Bukankah Laura telah berteriak hingga keujung bumi kalau aku manusia bejat?” ujarku, lalu bangkit dari tempat dudukku.
“ Ya..iya mas, aku minta maaf. Ayolah kekamarku? Aku pasrah mau diapain, tapi jangan disini.” ujarnya.
“ Dikamarku saja Laura berani menamparku? Dan sekarang mengajak ke kamarmu kemudian kamu akan memenggal kepalaku, begitu!?” bentakku. Laura menegurku, lembut:” Mas.. suaranya jangan terlalu kencang, malu aku.”
“ Laura masih tahu malu? Tetapi kamu masih memaksaku ke kamarmu.?”

“ Terserah mas mau bilang apa, tetapi jangan disini. Aku juga sudah siap digamparin, sepuasmu mas.!” ujarnya pelan, lantas dia menarik lenganku. Merasa telah puas melampiaskan amarah, aku menuruti ajakannya. Agaknya Laura “tahan banting” juga, mirip Magda. Meski sudah disilet kata-kata, masih mampu menahan diri. Mungkin juga dalam hati mereka simpulkan,” percuma ngelayani orang lagi sinting.”

Aku yakin Laura berusaha memulihkan kembali hubungan yang hampir patah arang lewat bujuk rayu ditepi kesabaran yang aku miliki hampir kandas. Tiba didepan pintu kamar, Laura memberi kunci kamar, berujar; “ Tolong bukain mas,”
“ Kenapa nggak buka sendiri? Kamu juga punya tangan,!” ketusku.
“ Ya. Tetapi aku minta mas yang buka,” balasnya dengan wajah bujuk.
“ Hanya buka pintu kamar sajapun kita harus ribut. Bagaimana dengan pintu lainnya.?”
“ Kan, dari tadi sudah kebuka. Mas saja selalu mau berdiri diluar,” tawanya renyah seraya menarik tanganku masuk kamar.
“ Bagaimana mau masuk? Pemilik pun, galaknya seperti nenek sihir.!?”
“ Nenek sihir ketemu tukang sihir kan mas,?” tawanya.
“ Laura merasa disihir.?”
“ Ya. Kalimat-kalimat mas pagi tadi “menyihir”ku. Itu sebabnya aku kembali, aku luluh dan sangat menyesal.”

“ Itulah makna kejujuran,” tegasku.
“ Ya. Aku sangat menyesal, aku terbawa emosi setelah melihat perempuan itu ada bersamamu.”
“ Sekarang Laura yakin, kalau perempuan itu tidak aku sentuh.?”
“Ya, mas. Amarahmu tadi meyakinkanku. Dan, seperti bentakan mas, apa sih urusanku, seandainyapun mas telah melakukan jinah dengan perempuan itu? Hardikan mas menyadarkan bahwa, aku perempuan yang nggak tahu diri, mencampuri urusan orang lain,!” sesalnya, lantas meghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur.

“ Aku marah karena Laura tak mau mendengarkan meski telah aku bujuk, malah berteriak,” balasku sambil permisi kembali kekamarku
“ Mas, istrahat disini saja, sebelum kita selesaikan pekerjaannya.”
“Laura, aku mau kembali ke kamar, ingin istrahat. Jam tidurku terganggu gara-gara kecemburuanmu berlebihan."

“ Bagaimana mas mengetahui kalau aku cemburu?”
“ Iya tahulah, dari tamparan tanganmu.”
“ Berarti aku perempuan yang tahu diri dong. Wajar aku marah kan mas? “ujarnya sambil bangkit dari rebahan.
“ Iya, mestinya marah cukup dengan mulut, nggak harus pakai nampar. Itu namanya kekerasan dalam persahabatan.”
“ Itu sebabnya aku minta maaf. Mas memaafkanku kan.?"
“ Sebagai teman sekantor, aku sudah memaafkan. Sebagai sahabat, belum.”

“ Apa bedanya mas? Bukankah aku sahabat dan teman sekantor juga,?” tanyanya seraya mendekat ketempat dudukku.
“Sebagai seorang sahabat, kamu telah gagal mengenalku lebih jauh meski kita telah menelusuri jalan berliku lebih dari enam bulan. Kemudian Laura menambah nama baptisku,”bejat”. Aku belum bisa menerimanya. Sebagai teman sekantor, aku memaafkanmu. Kamu wajar marah, mestinya aku tak berhak menerima orang lain di kamarku, karena fasilitas itu dibiayai oleh kantor. Ngomong-ngomong, kita ini lucu iya. Kita telah sepakat untuk tidak saling memiliki, tetapi kok masih ada rasa cemburu.?”

“ Jujur, aku telah berusaha untuk mengabaikan semua harapanku. Tetapi ternyata tidak semudah menghapus jejak telapak diatas lumpur. Simpony yang aku dengar hanyalah sebuah ilusi, meski lirik-lirik yang mas dendangkan masih melekat. Mas, Bukan hanya kepada mbak Magda, tetapi juga pada diriku sendiri; berjanji, untuk tidak “merampas” mas dari pelukan kasihnya. Apa yang terjadi tadi pagi, semuanya diluar sadarku. Kemudian mas menudingku cemburu? Iya , aku cemburu. Mungkin jalan terbaik untukku adalah, kembali ke tanah kelahiranku menangisi sebuah kehidupan yang tak punya makna. (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, September 11, 2009

Telaga Senja (121)

"Every Little Thing You Do"
Hello, let me know if you hear me /Hello, if you want to be near /Let me know /And I'll never let you go Hey love /When you ask what I feel, I say love /When you ask how I know /I say trust /And if that's not enough
[ Chorus ]
It's every little thing you do /That makes me fall in love with you /There isn't a way that I can show you /Ever since I've come to know you It's every little thing you say

That makes me wanna feel this way /There's not a thing that I can point to /'Cause it's every little thing you do Don't ask why /Let's just feel what we feel /'Cause sometimes /It's the secret that keeps it alive /But if you need a reason why

Is it your smile or your /laugh or your heart? /Does it really matter why I love you? /Anywhere there's a crowd, you stand out Can't you see why they can't ignore you /If you wanna know /Why I can't let go /Let me explain to you That every little dream comes true /With every little thing you do
[ Chorus X2 ]
===========
“ Ririn. Dia staf kantor cabang. Dia hanya numpang tidur,” jawabku sedikit gugup.
Tiba-tiba tangan Laura melayang kearah mukaku,. Aku kaget luar biasa. Laura yang aku kenal lembut dan sabar berubah jadi “singa”. “ Dasar lelaki...!” ujarnya sambil berjalan cepat meninggalkanku berikut barang bawaanya.
=============
KEHADIRAN Laura pagi subuh itu diluar dugaaanku. Pada pembicaraan kami sehari sebelumnya, dia akan datang esok lusa. Meski aku tidak merasa bersalah, tetapi aku perlu menjelaskan duduk persoalnanya, terserah dia mau terima atau tidak. Dia menepiskan tanganku, ketika aku menahannya. Laura melangkah cepat menuju eskalator.

“Laura, aku mengerti perasaanmu. Tetapi, tolong dengarkan dulu penjelasanku mengapa dia tidur dikamarku." Laura bergeming. Dia diam, menolehpun tidak. Aku terus mengikutinya kesisi jalan raya tempat dia memarkirkan mobil. Aku menahan pintu mobil ketika Laura hendak masuk kedalam.

“ Tidak Laura. Kamu nggak boleh pergi sebelum mendengarkan penjelasanku,” mohonku. Laura bertahan, tak mau bergerak dari sisi pintu mobil. Aku memohon lagi agar Laura sudi mendengarkan tuturanku kenapa Ririn tergeletak di atas tempat tidurku.
“ Laura, boleh kamu mneinggalkanku, bahkan untuk selamanya, setelah mendengarkan kenapa Ririn ada di kamarku. Tolonglah untuk kali ini.” bujukku.

Laura menoleh di ujung kalimatku. Wajahnya masih tampak kesal. “ Nanti boleh Laura tamparin aku, tetapi dengar dulu tuturanku, mau,?” tanyaku sambil memberanikan memegang lengan tangannya. Dia membiarkan tanganku menempel pada lengannya. Ada tanda-tanda perdamaian, pikirku. Tetapi ternyata hanya sesaat. Tiba-tiba dia melepaskan tangannya dari gemgamanku.

“ Aku tak menduga kalau moralmu juga bejat, tak ada ubahnya dengan lelaki yang kamu gantikan. Kemarin sebelum berangkat aku telah ingatkan agar mas hati-hati. Dalih apalagi yang mau mas utarakan? Semuanya sudah jelas, perempuan mainanmu itu tidur seranjang dengamu dan aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri.! Sekarang, apa kepentinganmu aku mau pergi kemana. Urus perempuan mangsamu itu,” ujarnya sambil mendorongku. Aku tetap ngotot, tak membiarkannya masuk dalam pintu mobil.
“ Pergi kamu dari sini, atau aku teriak,?” ancamnya.

“Silahkan kamu teriak sampai keujung bumi. Aku tak perduli. Ayo teriak...Ayo Laura teriak. Kumandangkan keseluruh dunia, aku manusia bejat karena telah main dengan Ririn. Ayo Laura...teriaklah! “balasku setengah teriak menahan amarah. “ Ya, aku berjinah, berselingkuh, moral bejat..apa pedulimu? Emang kamu siapa..huh ? Enyahlah engkau perempuan malaikat ! Setelah kamu menamparku kini menghujatku. Puas kamu!?” lanjutku masih dalam marah sambil meninggalkannya. Laura masuk kedalam mobil dengan membantikan pintu, kuat. Tak lama kemudian aku mendengar mobil laju melesat, entah kemana tujuannya.

Semalaman aku merasa "menang" karena terlepas dari godaan nafsu perjinahan. Aku lolos dari jebakan Tia. Tetapi, sayang, aku malah terperangkap oleh “kebaikan” hati, karena mengijinkan Ririn terlentang di tempat tidurku. Laura melampiaskan amarahnya dengan tamparan yang kini masih membekas dalam hati, menyakitkan. Aku kembali ke kamar membawa sejuta amarah bercampur penyesalan, kenapa aku mau menerima Ririn menginap di kamarku.

Tiba di kamar, aku tidak menemukan Ririn diatas tempat tidur, kecuali seluruh pakaiannya tergeletak diatas kursi. Hampir saja aku melabraknya ke kamar mandi. Ingin memaki-maki dan meludahinya. Amarahku memuncak ketika Ririn memanggilku masuk ke kamar mandi. Aku pungut semua pakaiannya dan melemparkan ke kedalam ketika dia membuka pintu kamar mandi. Hoda ! ( kuda, pen) teriakku sambil keluar dari kamar.

Kepala terasa mau pecah. Aku menulusuri hall way hotel menuju tangga. Tanpa aku sadari aku telah menapak jauh disekitar hotel. Aku berhenti dipertigaaan jalan, hanya sejenak. Kemudian aku berbalik kearah hotel. Amarahku sedikit surut ditelan udara pagi, namun hatiku gelisah. Gelisah, karena kepergian Laura , pergi entah kemana. Mungkinkah pagi ini dia kembali ke Jakarta? Dalam perjalanan menuju hotel, wajah ibu dan Magdalena datang bersamaan. Keduanya hanya menatapku, dingin. Ah..bayang-bayangpun ikut-ikutan dingin menatapku, bisikku dalam hati. Aku mempercepat laju jalan dan mencoba menghilangkan bayang-bayang ke dua wajah itu. Petugas shift malam heran ketika aku mengetuk pintu lobby yang masih tertutup.

" Pagi-pagi benar! Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“ Boleh aku duduk di lobby? Aku janjian dengan teman ketemu disini,”ujarku berpura-pura." Wajah Tia, Ririn, Laura, Ibu dan Magdalena, datang silih berganti dalam bayang kala aku duduk sendiri dalam lobby. Dalam dera siksa, kepalaku tak tahan menahan batu besar sedang menindih. Aku tertunduk, hening dalam gelisah. Tiga hari belakangan , aku mengalami “musibah”, diawali sikap arogan Magdalena, keributan di bar, ulah Tia dan Ririn. Terakhir tamparan Laura.

Mata terpejam dalam renung siksa. Kepalaku terkulai disandaran kursi tempat aku berhening pasrah. Dalam kesendirian, aku merasakan sentuhan sepasang tangan menggemgam tanganku, dingin. Aku terhenyak dari lamunan. Suara perempuan, berucap sendu kudengar.
“ Mas ! Mas..Tan Zung ....bangun mas...!” ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, September 10, 2009

Telaga Senja (120)

"All Out Of Love"
I'm lying alone with my hand on the phone/Thinking of you till it hurts/I know you're hurt too/But what else can we do? Tortmentedr and torn apart/I wish I could carry/Your smile in my heart/For times when my life seems so low /It would make me believe/What tomorrow could bring/And today doesn't /really know,/Doesn't really know...

*) I'm all out of love/I'm so lost without you/I know you were right/We're leaving for so long/I'm all out of love/What am I without you/I can't be too late/To say that I was so wrong...

I want you to come back and carry me home/Away from these long, lonely nights /I'm reaching for you/Are you feelin' it too/Does a feeling seem oh so right /But what would you say/If I call on you now/To say that I can't hold on /There's no easy way/Think it's harder each day/Please love me or I'll be gone..
*)
Oooh - what are you thinking of/What are you thinking of/What are you thinking of/What are you thinking of.....
*)
Out of love baby/Out of love/So wrong baby/Oh so wrong baby/So out of love/I'm all out of love /Out of love baby/Out of love darling/All out of love....
================
“ Kalau mas butuh, sewaktu-waktu dapat kita pesan,” tawarnya. Ah...rupanya juragan “ jengkol “ juga pak tua itu. “ Harus pintar-pintar mas. Cukup itu relatif,” jawabnya ketika ditanya kenapa harus double job, tokh gajnya sudah cukup lumayan.
===================

Kurang lebih satu jam sepeninggal Tia, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku terhenyak tapi terpesona saat membuka pintu. Seorang perempuan berparas cantik berdiri di depan pintu.
“ Mas Tan Zung.?” tanyanya.
“ Ya. Anda siapa?” tanyaku.
“ Boleh aku masuk mas,?” balasnya.
“ Oh..ya..iya tentu, silahkan. Boleh aku menutup pintunya,?” tanyaku.
“ Terserah penghuni kamar,” jawabnya genit.
“ Maaf, nama mbak siapa. Bagaimana tahu nama dan kamar ini.?”
“ Namaku Ririn. Aku tahu nama mas dari boss. Pesannya, mas butuh bantuan setelah kerja seharian .”
“ Bantuan apa? Aku hampir selesai kok? Anda juga staf keuangan.? Tetapi aku tidak melihatmu dikantor tadi pagi!?”

“ Iya. Pagi aku disuruh boss menjemput tagihan ke luar kota. Sore tadi baru tiba. Aku beruntung dong, pekerjaaan telah hampir selesai. Kita ngobrol saja, kalau nggak keberatan sih, “ ujarnya sambil duduk di pojok tempat tidurku. Kemudian dia membuka tas tangannya, mengeluarkan sebungkus rokok menthol produk dalam negeri.
“ Boleh Ririn merokok,? tanyanya. Walau aku tidak menjawab, dia telah menyalakan rokoknya.
“ Sudah menikah mas?” tanyanya sambil menikamti rokok yang terselip diatantara dua bibirnya.
“ Hampir. Tetapi yang pasti tahun ini.”

“ Ririn sudah menikah.?
“ Sama seperti mas. Hampir. Pacarku sekolah di India sejak dua tahun lalu. Kami akan menikah setelah dia kembali dari India. Mungkin tahun depan,“jelasnya, sambil menyodorkan bungkus rokoknya. “ Silahkan mas. Second smoke lebih berbahaya dari first smoke, "ujarnya.

Tidak begitu lama setelah Ririn dikamar, room services datang membawa sebotol red wine buatan luar dan minuman ringan berikut makanan kecil. “ Siapa yang pesan pak?” tanyaku pada pelayan.
“ Nggak tahu pak, aku hanya mengantarkannya.”
" Mas nggak suka minum anggur?” tanya Ririn ketika pelayan meninggalkan kamar.
“ Aku suka. Tetapi nggak tahu siapa yang pesan. Ntar billnya masuk dalam tagihan kamar, nggak enak, sama boss Jakarta.”

“ Nggak usah khawatir mas. Bila perlu aku yang bayarin,” tantangnya. “Ini anggur yang Ririn sukai, “lanjutnya sambil menuangkan ke gelas kami berdua. Ririn tak kelihatan tak terpengaruh dengan anggur yang diminumnya meski porsinya sama dengan bagianku. “ Mau lagi mas?” tanyanya. “ Cukup.” jawabku singkat, sambil rebahan diatas kursi. Enggan naik keatas tempat tidur.
“ Bagaimana kalau kita ke bawah. Disana ada bar kecil, kita menikmati musik sebelum tidur,” ajaknya. Mendengar bar, rasa letih langsung pulih.
“ Bolehlah, tetapi jangan terlalu larut malam. Aku harus merampungkan pekerjaanku besok pagi, sebelum kembali ke Jakarta.”

“ Lho, kok pulang? Kata Tia besok mau jalan seputar kota Bandung. Aku ditugasin menemani mas!?"
“ Iya , aku memang bilang ke Tia. tetapi aku sudah sangat rindu sama pacar nih,” dalihku. Ririn ketawa mendengar jawabanku. Sepertinya, Ririn sudah terbiasa nongkrong di bar itu. Sejumlah pengunjung menyapa dan waitress menyambut kami ramah. Ririn memilih tempat duduk di sudut ruangan. Tampaknya kami mempunyai “selera” yang sama soal memilih tempat.
Tembang demi tembang asamara mengalun dalam keresahan. Resah, karena aku bersama dengan perempuan yang belum aku kenal betul. Aku mulai sadar, ini adalah jebakan yang telah Laura ingatkan sebelumnya. Malam itu, aku sengaja membatasi diri meneguk minuman walau sering tergoda untuk mereguknya.


Untuk "turun" aku masih melayaninya, tetapi tidak meneguk minuman berlebihan. Aku juga khawatir keblabasan dengan perempuan yang aku yakini penjaja nikmat sesaat. Ririn terus mengasup minuman, sepertinya dia telah kehilangan kontrol. Dia tak sungkan memelukku dalam remang ruang yang menyesakkan. Sesekali dia berbisik ditelingaku. Tak jelas apa yang dikatakannya. Ririn menolak ketika aku minta ijin masuk kekamar.
" Aku ngatuk Rin."
" Sebentar lagi mas. Mas tega meninggalkan aku sendiri.?" protesnya. " Ini yang terakhir mas," ujarnya seraya memanggil waitress. Ririn menyodorkan minuman yang baru saja dipesan. Aku menolak. " Mas, untuk yang terakhir," bujuknya sambil menyorongkan ke mulutku. Ririn mencium ku , ganas, setelah aku mereguk minuman yang disodorkannya. Jarum arlojiku telah menunjukkan pada angka 12, aku permisi undur diri.

" Mas, boleh aku numpang dikamar sebelum pagi.?" tanyanya. " Tempat tidur hanya satu Rin. lagi, ngak enak dengan Tia dan bossmu kalau kiota tidur dalam satu kamar."
" Nggak usah pikiran orang mas. Boleh nggak aku numpang hanya beberapa jam.?" ibanya. Aku menuntunnya masuk ke kamar lewat tangga biasa. Aku terpaksa memopongnya setelah beberapa kali hampir jatuh. Ririn tak sadarkan diri. Aku menyelimuti seluruh tubuhnya, sementara perasaanku was-was kalau di akan muntah. Huh...syetan.. keluhku., sebelum aku terkulai di atas kursi. Rasa letih seharian, menghantarkan tidurku tanpa peduli dimana badan "nyangkut".

Pagi sekitar pukul empat pagi, aku mendengar ketukan pintu kamar. Aku bergegas ke depan pintu, sambil melekatkan kupingku ke daun pintu. Sepertinya, suara itu mirip suara Laura. Tetapi kenapa sepagi ini.? Segera pintu kubukakan setelah yakin dia adalah Laura.

" Maaf mas, mengganggu tidurnya," ujarnya dengan senyum merekah. Tiba-tiba langkahnya berhenti, barang kecil dalam gemgaman tanganya terjatuh. Dia berbalik kearahku: " siapa perempuan ini,?" tanyanya geram.
" Ririn. Dia staf kantor cabang. Dia hanya numpang tidur," jawabku sedikit gugup.

Tiba-tiba tangan Laura melayang kearah mukaku,. Aku kaget luar biasa. Laura yang aku kenal lembut dan sabar berubah jadi "singa". " Dasar lelaki...!" ujarnya sambil berjalan cepat meninggalkanku berikut barang bawaanya. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/