Wednesday, September 16, 2009

Telaga Senja (124)

http://www.youtube.com/watch?v=VnY_2mGQcNc

==========================
Laura,aku kecapekan setelah tadi malam telah melayani dua perempuan,” bisikku. Laura tak tahan menahan gelaknya. Pelan, dia sorongkan kepalaku dari pipinya. Aku kehilangan kesemibangan, aku dan Laura terjerembab ke atas tempat tidur.
==========================

GELAK duet diatas tempat tidur meredam ombak yang gelisah meski hanya sebentuk fatarmogana, namun berlangsung sempurna. Bening mata menyatu dalam rongga jiwa serta dalam deburaan nafas kasih. Gelora api yang sedang membakar hampir saja meluluhkan kekukuhan jiwa menerjang ketidakpatutan setelah malam sebelumnya lolos dari pertarungan berahi liar dengan Tia dan Ririn.

Kalau saja Laura tidak mengingatkan, pagi itu adalah pengkhiantanku yang tak terampuni terhadap Magdalena. “ Mas, cukup. Aku tidak ingin menodai kesucian hati mbak Magda dan mas meski akupun butuh. Cukup mas!?,” bujuknya dalam suara lembut. Mas , lagi-lagi mengguriskan kenangan baru dalam sudut hatiku," tambahnya seraya telapak tangan mengusap wajahku.

“ Terimakasih Laura, maaf.....aku...”
“ Nggak mas, nggak ada yang perlu dimaafkan,”potongnya seraya menutup mulutku dengan kelima jarinya. “ Ayo bangun, sebentar lagi kita menemui Cecep dan Tia di kantornya. Mas, marah...?” tanyanya ketika aku tak merespon.
“ Ya. Aku marah terhadap diriku sendiri,” balasku, lantas bangkit dari tempat tidur. Laura masih bersikap manja. Dia mengulurkan tangannya, berucap: “ Tolong aku mas!”
“ Laura, jangan nyalakan api yang telah padam,” ingatku seraya menarik tangannya dari atas tempat tidur.

“ Biarkan mas apinya menyala asal tidak liar membakar sekitar,” tawanya renyah. Sebelum Laura kembali ke kamarnya, dia mengusulkan, kami makan siang di dalam kamar. Dia akan memesan makanan lewat pelayan hotel.
“ Nggak lebih baik kita makan di luar,?” tanyaku.
“ Mas, aku pingin makan di sini. Boleh nggak.?”
“ Kenapa harus di dalam kamar. ?”
“ Aku mau makan bersama mas tanpa kehadiran siapapun. Mungkin yang terakhir sebelum aku kembali ke Yogya.”
“ Laura serius mau pulang ? Kapan?”
“ Nanti aku beritahu mas.”

“ Kamu nggak fair? Dua minggu lalu, ketika aku mau keluar, kamu marah dan menyiksa dirimu. Sekarang malah kamu mau keluar. Baiklah Laura, sebelum kamu mengundurkan diri, besok aku akan mengajukan mundur setelah semua kuberi pertanggungjawaban pekerjaanku. Untuk siang ini juga, aku tak bersedia makan bersamamu. Aku tahu, kita berjalan dalam lorong tanpa seberkas sinar penunutun harapan. Bahkan, pagi ini, Laura menaruh sembilu pemutus temali kasih disetiap tapak yang yang kita akan lalui.”

“ Mas, Selalu memberiku tetesan madu, gurih, tetapi aku tak mampu menelannya. Bukan saja bibirku getir akan cita rasanya, tubuhku pun terguncang kala madu itu menyelusiri dan menyatu dalam tubuh. Ijinkan aku mas, pergi menikmati madu yang mas teteskan di padang pasir, kering, penyempurna hati yang gersang. Mas, biarkan aku bersendung rindu di padang luas tak bertuan hingga saatnya madu yang masih merekah kering tanpa sebuah harapan. Cukup mas. Jangan lagi bersendung dengan lirik-lirik asmara yang menghantarkanku ke keperaduan abadi di tepian telaga diujung senja.....”

”.... dan senja itu telah kamu paksakan tiba sebelum waktunya. Laura juga menghantarkanku keperaduan abadi sebelum ajal menjemputku. “
“ Mas, bukan aku penentu ajal, bahkan kehidupan sekalipun. Seandainya aku memiliki keduanya, aku tidak akan pernah merasa kesepian pada harapan yang pupus.
" Laura memiliki keduanya, setidaknya hinga siang ini."
" Semuanya itu adalah kepalsuan. Sebuah ironi dalam kehidupan! Mas, manalah mungkin dirimu memiliki mentari dan rembulan, sekaligus."
" Aku tidak mengharapkan itu terjadi, tetapi jangan kamu paksakan matahari itu berhenti kala bumi itu membutuhkan sinarnya."

" Aku akan menahan jalannya matahari seandainya tanganku cukup panjang menyanggahnya. Mas, dikeheningan malam, rembulan itu berbisik ditengah gubahan lagu yang tercipta untukku,” Jangan mengharap hujan turun ditengah terik matahari.”
" Laura! Kini kamu bukan lagi sahabat yang aku kenal sebelumnya; Perempuan bersahaja, optimis dan santun serta inpiratif setidaknya bagiku."
" Terimakasih mas atas pujiannya. Sekiranya sanjungan itupun benar, semuanya berubah diluar kemampuanku seiring perjalanan waktu. Mas, meski aku menengadah keatas selaksa hari, mengharap, itu hanyalah kesia-siaan dan kebodohan."

" Cukup Laura! Tapi Laura tidak akan mengambil melati yang kupetik dan kini tersemat pada dadaku, bukan!?"
" Nggak mas.Biarkan dia luruh manakala tak seorangpun memberi air meski hanya setetes."

" Laura, aku setuju makan bersamamu, dikamar ini. Setelah itu kita berangkat bersama menemui Cecep dan Tia."
"Mas, aku tak lapar lagi. Pergilah sendiri menemui mereka. Biarkan aku sendiri untuk sesaat, sebelum aku pulang ke Jakarta," ujarnya dengan titik airmata.

" Laura! Baru saja kita menikmati keindahan pagi. Berpeluk dalam sendagurau kasih. Kenapa harus berakhir dengan rintihan dan airmata?"
" Titik air mata kebahagian mas. Setelah aku mampu mencurahkan semua yang lama terpendam dalam hati."
" Kamu bahagia diatas ketersiksaan sahabat yang mengasihimu.!?"
" Aku tak mampu lagi membedakan antara kasih dan cinta mas! Pergilah, sebelum mereka terlalu lama menunggumu." (Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment