Saturday, June 20, 2009

Telaga Senja (59)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)

She used to cry when I'd come home late/She couldn't buy the lies I told /All she wanted was to be needed /Someone that she could call her own /The love I know I took for granted /Until she/ walked out of my door /Too little too late to say I'm sorry /'Cause she's not cryin' anymore

She's not cryin' anymore /She ain't lonely any longer /There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' anymore

I hear she's really doin' well now /She's picked herself up off the ground /I wasn't there when I was needed /But I was there to let her down /Sometimes you know I feel so foolish /If I knew then what I know now /Another tear would never fall /'Cause I'd give our love my all /If we/ could work things out somehow

She's not cryin' anymore /She ain't lonely any longer /There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' anymore (2 X)

There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' any more .
=========================
“ Bang ! Tadi pagi sudah aku katakan, jangan menyakiti hati siapapun. Aku percaya abang rindu mau ketemu aku. Tetapi abang juga harus menjaga perasaan Laura. Percayalah bang, aku nggak keberatan. Ini adalah sebuah resiko karena kita ditempat yang berbeda.”
==========================

KELEMBUTAN suara dan ketegasannya bersikap masih ditunjukkan meski kami kerap berbeda menyikapi keterpautan hati yang sempat terluka. Aku tahu dalam relung hatinya masih ada sudut kasih yang tersisa, menyimpan setangkai bunga menebar aroma kesudut -sudut hati lainnya yang masih terdera duka; Juga masih menangkap seberkas sinar kerinduannya meski kadang redup karena rasa khawatir.

Tangis, marah dan cemburu adalah bagian dari cintanya yang masih tersisa, walau mulutnya sukar mengatakan “ya” manakala aku bertanya tentang kesediaanya bila aku memungut keping -keping cinta kami yang tercecer. Meski dia membiarkan aku ke Yogya dengan perempuan lain, agaknya, ini salah satu alasan mengapa dia semakin meragukan keseriusanku menata ulang cinta yang sempat tercabik.

Magda tidak setuju aku berlibur ke Medan, meski aku berulangkali memohon. Keinginan pulang berselibur bersamanya semakin “menyala" setelah diberitahukan, dia dan Rina akan berlibur ke Berastagi kemudian ke Danau Toba selama seminggu.
“ Mami , Jonathan ikut bersama kalian?”
“ Nggak, kami hanya berangkat bertiga.!”
“ Bertiga ? Bertiga dengan siapa?” tanyaku tak sabaran
“ Abang belum mengenal dia."

" Perempuan atau lelaki?"
"Lelaki bang.” jawabnya tertawa.
“ Magda, Siapa dia.”
“ Kok abang serius benar?”
“ Magda katakan siapa dia.”

“ Aku bilangpun abang bakal nggak kenal, percuma kan.?”
“ Besok aku akan pulang, kalau Magda nggak mau sebutkan siapa lelaki itu.!”
“ Abang pulang karena ingin tahu siapa lelaki itu? “ tanyanya masih diiringi ketawa. “ Padahal aku tak pernah ingin tahu siapapun perempuan sahabat abang. Kenapa begitu risau?” lanjutnya.
“ Magda, pertanyaanku sangat sederhana, siapa lelaki itu. Kenapa Magda bertele-tele?”
“ Percuma bang, aku menyebut namanyapun, abang tidak akan kenal.”
“ Magda! Aku boleh bicara dengan Rina?” tanyaku dengan hati geram.
“ Boleh. Nggak ada yang larang bang. Sebentar aku panggilkan. "

“ Hei...biang kerok, ngapain elu urusin kami disini? Urusin saja Lauramu itu.!” hentak Rina diujung telepon. Kedekatan diriku dengan Rina, tak membuat dirinya canggung berkata apapun terhadapku, mirip kelakuan Magda, ngomel bila tak seiring pendapat.
“ Rina! Aku hanya ingin tahu, siapa lelaki teman kalian berlibur ke Berastagi dan Danau Toba.?”
“ Gue sudah bilang, elu nggak perlu urusin kami. Cemburu iya mas? Mau lelaki, mau baby dan kakek-kakek, emang elu keberatan.?” tanya Rina diiringi tawa . Kembali aku membujuk Rina, “ Kalian ngerjain aku iya Rin?”

“ Nggak ! Apa untungnya ngerjain elu. Kami memang pergi bertiga. Aku, mbak Magda dan Thian. Masih ingat dengan Thian?” tanyanya masih ketawa disambut gelak lepas Magdalena. Sejenak aku terdiam sambil mengingat nama itu. Ah....Thian, nama bayi yang ada dalam kandungan Rina. Ketika itu memang, pada satu saat aku dan Rina sedang dalam obrol-obrol lepas, kemudian bicara tentang nama bayi yang akan lahir; Iseng, aku menyebutkan nama” Rundut Hian” dengan panggilan Thian, bila bayi dalam kandungan itu lelaki.

Rina menyerahkan telepon ke Magdalena; “ Sudah jelas bang? Kami juga belum kenal siapa lelaki itu!” ujarnya masih dengan ketawa. Eh..Zung, kenapa marah seandainya aku dan Rina pergi dengan lelaki lain.!?”
“ Ya, aku marah dan penasaran.”
“ Kenapa? Memang aku nggak boleh pergi seandainya itu lelaki lain?”
“ Kenapa Magda bertanya, pada hal sudah tahu pasti jawabannya. Bukankah karena ada lelaki lain duduk disampingmu, dulu, sehingga aku terkapar dipertigaan jalan, Jln Sudirman itu? Magda tahu, berapa lama aku didera siksa maha berat ketika itu!? Magda! Hingga sekarangpun aku belum siap bila Magda berpergian dengan lelaki lain,” tegasku.

“ Tetapi abang bebas pergi dengan perempuan lain, begitu iya bang.?” ketusnya.
“ Magda,berarti kamu tidak tulus mengijinkan aku pergi dengan Laura.!?” tanyaku gelisah. Magda hanya tertawa setelah aku mendengar kegelisahanku.
“ Zung, aku harus mengatakan apalagi? Pergilah dengan Laura, jaga dirimu baik-baik. Aku percaya abang masih mampu menjaga diri,” ucapnya sebelum kami mengakhiri pembicaraan malam itu. Aku juga semakin larut dalam sejuta tanya, hingga kapan aku dan Magda menunggu bersatu utuh. Akankah penataan ulang kisahkasih ini akan tumbuh bersama rumput berduri dan ilalang.?
***
Beberapa jam sebelum berangkat ke stasion Gambir, aku dan Laura agak berbeda pendapat. Laura mengajak aku berangkat dari rumah tantenya di Kebayoran Baru. Aku menolak usulannya sekedar menghindari bertumbuhnya kedekatan emosional dengan keluarganya. Selain itu, berangkat dari rumah tante Martha akan membuang-buang waktu mengingat stasion kereta lebih dekat dari tempat kosku dibanding dengan rumah tantenya di Kebayoran Baru.

Walau berteman beberapa bulan, aku belajar banyak darinya dalam bersikap, mengutarakan pendapat serta memutuskannya meski kadangkala harus melalui jalan melingkar. Laura dapat menerima alasanku kenapa tidak harus berangkat dari rumah tantenya. Sepertinya ada yang”tersembunyi” dalam benaknya yang akan ditunjukkan kepada tante Martha, hanya saja dia masih enggan mengungkapkannya secara langsung. Gejala ini mulai aku rasakan, sebelum dia jatuh sakit, beberapa kali aku diajaknya kerumah tante Martha sepulang dari kantor dengan berbagai alasan.( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/