Saturday, July 11, 2009

Telaga Senja (76)

Laugh and cry, live and die/Life is a dream we are dreaming/Day by day I find my way/Look for the soul and the meaning

Then you look at me/And I always see/What I have been searching for/I'm lost as can be/Then you look at me/And I am not lost anymore

People run, sun to sun/Caught in their lives ever flowing/Once begun, life goes till it's gone/We have to go where it's going

Then you look at me/And I always see/What I have been searching for/I'm lost as can be/Then you look at me/And I am not lost anymore

And you say you see/When you look at me/The reason you love life so/Though lost I have been/I'll find love again/And life just keeps on running/And life just keeps on running/You look at me and life comes from you... from you
====================
Entah apa yang mengusik hatiku, sambil menunggu pesanan kami datang, aku bertanya kepada Laura, barangkali dia mengenal Paian, lelaki yang menghamili Rina.
“ Iya, aku kenal. Dia orang Sumatera kan? Kok mas terpikir kesana? Mas kangen pada Rina,?” tanyanya, lantas jari tangannya memeluk erat telapak tanganku.
=====================
Laura berpaling kearahku, bertanya ulang kenapa aku berttanya tentang Rina? Aku sendiripun bingung menjawab apa. “ Mas mengenang masa lalu iya,?” tanyanya dengan nada selidik.
“ Nggak tuh. Mungkin Rina sedang omongin aku,” jawabku ketawa.
“ Mas kangen iya..?” tanyanya curiga.
“ Iya. Aku kangen mau ketemu. Aku nggak sabaran menunggu bayi dalam kandungannya, mungkin bulan depan dia melahirkan.”

“ Mas jadi pulang,?”
“ Pasti. Aku sudah janji dengan Rina.”
“ Kenapa mas tanyain Paian?
“ Karena dia lelaki brengsek, tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.!”
“ Lalu mas mengambil alih tanggung jawabnya,?”
“ Bukan. Aku hanya mau support semangatnya, hanya itu. Laura jangan berpikir aneh-aneh,” balasku sedikit jengkel.

“ Oh nggak mas. Hanya aku heran, selama ini mas nggak pernah singgung mengenai Rina.”
“ Akupun heran, mengapa aku terpikir dengannya,” balasku. Pelayan restauran meghantarkan pesanan kami mengakhiri pembicaraan tentang Rina. Aku hanya tersenyum melihat Laura berdoa sendiri sebelum menikmati makanan.
“ Kok nggak ngajak,?” tanyaku iseng
“ Ah...mas selalu berdalih kalau diajak berdoa,” jawabnya sambil ketawa. “Ayolah mas, kita makan,” ajaknya ketika dilihatnya aku belum menyentuh makanan.
***
Laura kembali kerumahnya setelah dia menghantarkanku ke penginapan, sebelumnya dia berpesan besok pagi kami akan serapan bersama dengan Lam Hot. Aku menolak karena om Laurance sedang mengunjungi keluarganya; “ Tidak usah pikirkan aku. Laura temanin saja om itu.” Tetapi dia bersikukuh mau serapan bareng denganku. “ Nggak apa-apa kok mas. Atau aku bawa om kesini,?” tanyanya.

Menjelang malam Lam Hot dan Rima mengajakku jalan ke “down town” tempat aku dan Laura makan siang. Kali pertama menikmati malam bersama dengan turis lokal dan manca negara duduk lesehan sambil menikmati musik jalanan. Suasana malam seperti itu belum pernah ku nikmati di Medan apalagi di Jakarta yang semraut. Beberapa tempat rendezvous malam yang aku jalani seperti Pecenongan, Kota dan Blok M suasananya sangat berbeda.

Nikmatnya malam itu membawa anganku ke tempat nun jauh disana. “ Hot, satu saat aku mau ngajak kakakmu Magda kesini,” kataku pelan, ketika alunan musik menggelitik rindu.
“ Beritahu jauh hari bang, supaya kak Magda bisa mengambil cuti. Kalau bisa, kita pulang bareng dengan kakak saat kembali dari Medan,” usul Lam Hot. “ Ntar abang tidak usah beritahu kak Laura kalau kita akan kesini lagi” tambahnya.

Aku membayangkan duduk bersama dengan Magdalena sembari menikmati iringan musik didendangkan oleh musisi jalanan secara profesional, santun dan bersahabat. Beda dengan musisi jalanan di Jakarta yang hanya mementingkan jumlah perolehan uang tanpa memperdulikan nikmat pendegar.

Aku meninggalkan Lam Hot dan Rima duduk di warung, semacam cafe. Sendirian aku menelusuri sepanjang jalan, hingga pergelangan kakiku memberi “signal” lelah dan rasa perih. Kurang lebih satu jam setelah aku memisahkan diri dengan mereka, Lam Hot dan Rima menemuiku hampir keujung jalan ketika aku masih duduk sambil meluruskan kaki. Keduanya tampak tergopoh. Sepertinya ada yang hendak disampaikan. “ Bang, kenapa? Kakinya kambuh lagi?” tanya Lam Hot. “ Tadi aku melihat kak Laura dengan dua lelaki jalan bareng. Mereka masuk ke reaturan dekat kami duduk, tetapi kakak itu tidak melihat kami.

“ Iya kak, satu berbadan tinggi, wajahnya mirip Laura, yang satu lagi agak gemukan pakai kacamata,” ujar Rima menimpali dengan wajah serius.
“ Oh iya? Mungkin lelaki mirip Laura itu om dia yang baru datang dari Perancis. Tadi siang dia telah memberitahu aku. Memang kenapa rupanya kalau Laura jalan dengan lelaki lain.?”

“ Nggak apa-apa sih. Tetapi perlu juga abang tahu. Nggak mungkin teman biasa kalau sudah berpegangan tangan kecuali jalan sedang banjir,” sindir Lam Hot.
“ Pegangan? Emang kenapa kalau Laura pegangan. Aku juga tadi siang pegangan tangan dengan Laura, lalu apa yang salah.?” tanyaku. “Ayolah kita pulang,” tambahku.
Lam Hot mendekatiku dan berbisik: “ Bang, tenang ! Jangan terlalu ketahuan muka kita itu, bilangnya nggak apa-apa tapi...,” tegurnya diiringi tawa renyah.

Aneh..!? Iya benar apa yang dibisikkan Lam Hot. Kenapa aku kok tiba-tiba seperti kehilangan tongkat? Aku mengharap Lam Hot dan Rima salah lihat atau setidaknya yang memegang tangan Laura adalah omnya yang baru kembali dari Prancis. Sementara pikiran bagai riak gelombang yang sedang gelisah, suara hati bertanya, membatin, kenapa mesti ada riak gelombang, bukankah warna-warni pelangi Magda masih membentang dalam sukma?. Ya, masih terbentang menutupi semua ruang bahkan warnanya belum pudar, jawabku dalam benak. ( Bersambung)
Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/