Thursday, April 30, 2009

Telaga Senja (24)

http://www.youtube.com/watch?v=OFNLoDLDqJM

====================
Jadi elu serius mau menikahi gue.? Kalau mas serius, jemput gue kesini pukul 03 dinihari. Jangan lupa bawa kunci kamar untuk gue, bukan untuk kita, faham..?”
=====================
AKU meninggalkan Rina dirumah Wiro dengan kesepakatan, menjemputnya pukul 3:00 dini hari. Segera aku menuju rumah Magdalena, aku ingin istrahat disana menunggu hingga dini hari. Aku menduga-duga, kunjunganku dan Rina ke klinik ini akan menjadi “laporan pandangan mata” disiarkan secara langsung oleh perawat Maria kepada keluarga Magdalena. Maria adalah saudara jauh Magdalena dari pihak ayahnya.

Wajah Magda kucoba mereka-reka; bringas, tatkala amarah memuncak hingga keubun-ubunnya. Kalau yang satu ini memang dia asli boru batak, lugas, tegas bila menganggap dirinya benar meski kadangkala over heating

Entahlah apakah kiat yang selama ini aku gunakan , diam, muka dikasihani lalu membujuk, masih berlaku menghadapinya malam ini. Beca yang aku tumpangi kuberhentikan beberapa blok sebelum rumah Magdalena, karena aku tidak yakin kiat lama dapat melumpuhkan amarahnya. Aku melangkah di sisi bahu jalan sambil memikirkan jawaban tepat meredam amarahnya nanti. Dengan rasa yakin, menggunakan kiat lama, aku melangkah mendekati pintu rumah lalu mengetuknya.

Inang uda..!, Magda..!” panggilku lembut dari luar.
Diluar perhitunganku, Magdalena membuka pintu dan secepat itu pula dia menghujatku. “Fuigh! Bandit! ngapain kamu datang kesini?” teriaknya, lalu menghempaskan pintu rumah hampir mengenai wajahku.

Ah..duluan dia yang keluar , aku mati langkah. Kiat yang aku rencanaku hilang bersama rasa syokku. Diliputi rasa sakit hati dan terpukul, bagai patung hidup, aku hanya diam membisu didepan pintu rumahnya. Mami Magda dan Jonathan bergegas menyongsongku ke depan pintu ketika Magda berteriak histeris lalu berlari kekamarnya sambil menangis.

“ Oh.. nak Tan Zung, kapan datang amang,?” tanyanya Mami Magda sembari mengajakku keruang tamu.
“ Tadi pagi inanguda ( bule, pen) “ ujarku, kakiku sedikit bergetar menahan marah dan rasa malu.
“ Kapan kamu menikah? Kenapa nggak mengundang inanguda? Tan Zung marahan sama inganuda?”
“Abang sudah nikah? “ tukas Jonathan, adik Magdalena.
“ Belum! Aku belum menikah.!”
“ Siapa perempuan temanmu ke tempat klinik oom Robert tadi pagi,?” tanya mami Magda.

Ohh.. iya namanya Rina. Dia diusir oleh orangtuanya karena “kecelakaan” dan mereka menganggap akulah ayah janin itu karena aku dan Rina seharian selama hampir sebulan tinggal berdua di rumah. Aku bersedia mencari Rina atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Aku khawatir Rina bunuh diri atau dia akan menggugurkan kandungannya.”

“ Jadi, bukan nak Tan Zung suaminya.?”
“ Bukan! Aku bukan suaminya. Menurut pemeriksaan om Robert, usia janin dalam kandungan Rina hampir tiga bulan, sementara aku di Jakarta belum ada tiga bulan bulan. Aku hanya kasihan, ingin menyelamatkan Rina dan bayinya.” tegasku lagi. Jonathan dan maminya Magdalena memahami penjelasanku, mereka lega. “ Aku juga tidak berfikir abang melangkah sejauh itu,” tukas Jonathan.

Jonathan berkali-kali mengetuk kamar Magdalena, disusul oleh maminya. Dia bergeming, tak mau membuka pintu kamarnya. “Nggak aku nggak mau ketemu dengan bandit. Aku mau muntah melihat mukanya,” ujarnya dari dalam kamar.

“ Kak, jangan muntah dikamar, bau!” gurau Jonathan. Aku, Jonathan dan maminya Magdalena mengalah, kami mengundurkan diri dari depan kamarnya. Magdalena terus berteriak histeris memakiku. Jonathan mengajakku ke ruang belakang, sementara maminya membereskan kamar tempat tidurku.

“ Zung , kamu menginap disini sampai urusanmu selesai. Jangan pikirin itomu, besok inanguda jelaskan kepadanya,” ujar mami Magda.
Menjelang makan malam, Jonathan dan maminya berusaha membujuk Magda untuk makan malam bersama. Tetapi Magda bersikukuh tak mau membuka pintunya. Jonathan dan maminya juga membujukku makan bersama. Aku menolak sebab, aku baru saja makan bersama Rina dirumah Wiro. Mulutku hampir melepaskan kepenatan hati kepada inanguda karena sandiwara yang baru saja aku hadapi.

“ Kenapa kamu, sakit?” tanya mami Magda setelah melihatku gagap setiap mau berbicara dan tampak tak bergairah. “ Kamu masih marah sama Magda iya? Nggak usah difikirin itomu itu. Kamu sudah tahu banyak tentang dia. Nanti juga amarahnya reda.”

Hingga kami selesai makan, Magda tak kunjung keluar dari kamar, tetapi aku melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Mungkinkah dia menatapku dari dalam kamarnya dengan wajah beringas? Atau dia hanya menguping apa yang aku bicarakan dengan mami dan adiknya Jonathan?

“ TanZung istrahat dulu, nanti pukul tiga dinihari mau menjemput Rina bukan!?”
Baru saja inanguda selesai bicara, Magda berteriak dari kamar. ” Itukan mam, abang itu bandit. Ngapain dia jemput perempuan berengsek itu pukul 3 pagi. Mau kawin lari? Jangan bawa perempuan itu kerumah ini. Tan Zung keluar kau dari rumah ini, berengsek.!”

Mami Magda tak kuasa lagi menahan amarahnya, balas teriak; Magda diam mulutmu.! Kau nggak tahu persoalan. Nggak ada hakmu mengusir abangmu dari rumah ini. Kalau kau nggak senang, diam kau disitu, mengerti.!?”
Ohh...kenapa jadi begini? Kali pertama mendengar inangudaku yang sehariannya lembut, sangat marah kepada putrinya Magda.! ( Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (23)




http://www.youtube.com/watch?v=aWyeVfuolT4

Baby I don’t understand /Why we can’t just hold on /To each other’s hands
This time might be the last /I fear unless I make it all too clear /I need you so

Take these broken wings /And learn to fly again /And learn to live so free /And when we hear the voices sing /The book of love will open up /And let us in

Baby I think tonight /We can take what was wrong /And make it right
I need you so /Baby it’s all I know /That you’re half of the flesh
And blood makes me whole /I need you so

==============
Keluarga Wiro semakin sumringah menyaksikan adegan kami saling berbisik, tampak mesra. Mereka nggak tahu isi pembicaraan kami mau saling menerkam
==============
Setelah selesai makan, sedikit berbasa-basi, Rina permisi kepada keluarga Wiro. “Om, kami mau keluar sebentar,“ ucapnya. Rina menggandeng tanganku keluar rumah, amat mesra. Rina memang pemain ulung. Dalam sekejap setelah di serambi rumah, wajahnya garang bagaikan singa betina lapar. Dia menghentakku dengan suara hampir berteriak.
“ Dasar Batak! Kenapa sih muka elu cembrut melulu.?"
“ Hei Jawa penipu! Kapan aku menyemaimu hah? Memang orang bisa hamil hanya dengan ciuman? Dasar serigala!”

“ Hei Batak! Gue hanya menyelamatkan muka kau, tahu!? Gue nggak mau ribut dengan setan-setan dirumah om itu, geblek!” balasnya sengit.
“ Rina, apa maksud kau?”
Heh, gue sudah berapa kali ingatkan, jangan panggil “kau” kepada perempuan!” entaknya.
Lanteung kau! Kau telah menjeratku, serigala!”
“ Mas, tenanglah,” suaranya agak reda karena aku ngotot.
“ Tenang kata kau, besok aku harus kawin sama kau hah? Enak benar kau!?”
“ Mas Lanteung, eh...apa sih artinya lanteung?.
“ Sayang!” jawabku kesal

“ Mas lanteung. Gue menjawab om, supaya kita aman dari tangan-tangan setan itu.”
“Amanlah kau, karena aku harus mengawini kau, begu !”
“ Mas lateung, kok namaku berubah terus Ya lanteung, serigala lah, begu lah. Apa sih arti begu itu. ?”
Heh..Rin! Itu tak perlu. Nggak usah bertele-tele kau. Sekarang aku baru tahu kebusukanmu, tahu.!?”
“ Mas lanteung, gue tak ada niat kawin dengan kamu. Aku sudah bilang, gue mengiyakan supaya urusan dengan setan-setan itu tak berlarut-larut. Nanti, pukul 3:00 dini hari jemput gue di ujung jalan itu. Mau nggak.?"
“ Bah! aku jemput kau, lalu mau kemana lah kau?”

“ Dasar, keras kepala! Gue bilang, jangan panggil” kau” sama perempuan!”
“ Jadi maksudmu aku panggil mama? Karena kamu panggil aku papa.? Tak usah iya!”
“ Nggak usah pangil mama, panggil saja nama asliku, jangan panngil lanteung, serigala atau begu.”
“ Jadi bagaimana lanjutan sandiwaramu.?”
“ Antarkan aku ke rumah ibu, tempat kosmu dulu. Tadi kan kita sudah bicara dengan ibu itu. Mas, lebih baik gue tinggal disana daripada tinggal dirumah sarang penyamun ini. Tolonglah mas. Gue tunggu nanti, jangan lupa bawa kunci kamarnya.”
“ Maksudmu, kita satu kamar padahal belum menikah. Gatal amat sih kamu.!”

“ Kok mas bringas amat sih. Gue tak bilang kita satu kamar. Gue hanya minta tolong, bantu aku keluar dari rumah ini. Sudahlah mas! Gue mengira mas mau menolongku. Datang jauh-jauh dari Jakarta, ternyata malah ikut menghinaku.” ujarnya meninggalkanku.

“ Rin, iya aku mau menolongmu, tetapi tidak dengan jebakan seperti ini, mengawinimu...” ujarku, lalu menarik lengannya.
“ Tutup mulutmu. Gue tak ada niat kawin denganmu. Mas egois, tak pernah mau mengerti. Sudah, sekarang tinggalkan aku,” teriaknya tertahan. Bibirnya gemetar menahan amarahnya.
“Rin, maaf. Aku sungguh tidak mengerti apa dibalik sandiwaramu: “ Aku harus menikahimu?”
“ Bebal.! Gue tak sudi menikah dengan manusia bebal. Tadi gue bilang, ingin menyelamatkan mukamu dari manusia setan itu, tahu!?” teriaknya.

Isteri Wiro menemui kami diteras belakang setelah mendengar aku dan Rina saling bantah.
“ Ada apa ? Mengapa kalian ribut!?”
“ Nggak tan, kami nggak ribut. Memang suara papa Tan Zung seperti itu kalau bicara serius,” jawab Rina.
“ Bah! Siapa pula papa mu,?” tanyaku kesal setelah tante Wiro meninggalkan kami.

“ Mas pulanglah dan jangan datang lagi. Gue besok mau pindah.”
“ Rina mau pindah kemana.!?”
“ Itu bukan urusan elu. Terserah gue mau kemana.”
“ Rina? Jadi pernikahan kita besok lusa batal.?”
“ Pernikahan siapa mas lanteung?”
“ Kita!”
“ Nikahlah kau dengan oom Wiro itu. Gue ogah.”
“ Jadi kita nggak jadi nikah?”

“ Maksudlu gue mau nikah dengan orang bebal seperti elu ? Ogah mas.!”
“ Iya bilanglah kepada om Wiro, nggak jadi!”
Begu...eh..Bego!. Elu sendiri saja yang bicara. Gue ogah.!”
Lha, kan bukan aku yang batalin!?
“ Jadi elu serius mau menikahi gue.? Kalau mas serius, jemput gue kesini pukul 03:00 dinihari. Jangan lupa bawa kunci kamar untuk gue. Ingat, bukan untuk kita, faham..?”(Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, April 29, 2009

Telaga Senja (22)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)
==================
“ Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu.?”
“ Aku kan jadi ikut repot cariin kamu.”
“ Bagaimana Mas tahu aku ke Medan?”
“ Aku tahu dari Rihat.
=================

Sebelum kami kembali kerumah om Wiro, mampir ke tempat kosku tempo dulu, menanyakan barangkali masih ada kamar kosong. Ibu kostku, Roma, kaget melihat kedatanganku dengan perempuan yang belum pernah dikenalnya. Dia menanyakan “ Kapan datang? Isterimu lagi hamil? Kapan menikah? tanyanya ketika Rina di toilet.
“ Kok ibu tahu dia lagi hamil.?”
Ibukos tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum.
“Besok lusa, aku akan kembali ke Jakarta, aku mau nitip Rina sampai dia melahirkan,” ujarku.
“ Kamu tega benar. Baru anak pertama sudah ditinggal?”
“ Aku akan pulang sekali dalam tiga bulan,” jawabku sekenanya sebelum Rina kembali dari kamar mandi. Rina sedikit lega setelah ibu kost memberitahukan masih ada kamar kosong.
“ Boleh kami eh..aku masuk sekarang bu?” tanya Rina tak sabaran.
“ Nanti setelah magrib, ibu harus bersihkan dulu kamarnya,” ujarnya. Sedikit beban Rina berkurang setelah mendapat kamar, setidaknya malam ini, menurutnya, telah lepas dari manusia sok pahlawan. “ Huh...akhirnya aku lepas dari tangan-tangan manusia berlagak malaikat itu,” ucapnya lega.
***
Aku dan Rina kembali kerumah Wiro. Kami melanjutkan pembicaraan siang. Wiro berlagak tenang, meski wajahnya sedikit tegang, ketika kami duduk berdampingan menghadap seisi keluarga.
“ Mas Raharjo, papimu, telah berbicara denganku tentang hubunganmu dengan Tan Zung hingga Rina meninggalkan rumah. Agar tidak terlalu berlarut-larut, aku dan papimu telah sepakat menikahkanmu di sini. Terserah kalian berdua, kapan waktu yang paling tepat. Tapi kalau boleh, sebelum nak Tan Zung kembali ke Jakarta. Bagaimana kalau besok,” usulnya.

“ Aku masih capek, lusa saja om,” jawab Rina.
Bah! Lusa aku akan nikah!? Bagai petir disiang bolong mendengar jawaban Rina. Dia menjebakku? Seharian kami bersama, tak sedikitpun dia menyinggung niatnya. Susu aku beri, air raksa kudapat imbalan, pantaskah? tanyaku dalam hati, kesal.
“ Kapan nak Tan Zung menghubungi orangtuanya? Atau ada famili di Medan sebagai wali?” tanya Wiro.
“ Aku diwakili wali saja om, tempat orangtuaku jauh,” jawabku meski aku terpukul karena di kadalin habis.

Dengan sigap Mario si tekhab tengil itu mencatat alamat bakal waliku, juga keluarga yang akan diundang menghadiri pernikahan, alamat yang kuberi asal-asalan, entah alamat siapa itu. Kadal lawan kadal, bisikku dalam hati.
Seisi rumah diliputi rasa gembira setelah Rina dan aku setuju akan melangsungkan pernkahan besok lusa. Seketika pori-pori tubuhku mulai mengucurkan keringat segar, di wajah peluhku mengalir, dingin. Sungguh, semua ini diluar skenario. Aku benar-benar terhisap oleh permainan “busuk” Rina.
***
Wiro, Mario tekhab tengil dan semua tamu memberi selamat sebelum makan bersama. Aku melihat wajah-wajah mereka seperti wajah dracula dalam film. Berulangkali aku melirik Rina, namun tak sekalipun dia mau menatapku. “Dasar serigala,” gerutuku. Wiro dan isterinya menyilakan kami duluan mengambil makanan yang tersaji diatas meja. Rina menggandeng tanganku mesra menuju meja makan lantas menyedok makanan ke dalam piringku.
“ Cukup mas?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan, senyum kupaksakan untuk memuaskan hati para setan dan serigala liar, Rina.

Diatas kursi khusus yang telah disediakan keluarga Wiro, Rina menyuap makanan ke mulutku diiringi senyuman: “ Mas, buka mulutnya. Ayo dong mas,” bujuknya, ketika mulutku ogah menerima makanan dari tangannya. Hmmm, serigala liar mengajakku bermain api ditengah kebon liar? Siapa membakar siapa.? Okay, dalam hatiku, aku ikuti alur permainan ini, setidaknya saat makan malam yang dihadiri keluarga Wiro.

Mulutku kubuka seraya manatap tajam matanya. Tepuk tangan membahana mengiringi tangan Rina menyuap makaan kemulutku. Melengkapi babak sandiawara ini, gantian, aku menyuapkan makanan kemulutnya, dalam hatiku menyumpah serapah “ Nih serigala! Makan kaulah hasil sandiwaramu ini, setan!”. Sembari makan meski bagiku terasa pahit, bertanya kepada Rina, pelan: “ Rina, kamu Sarjana Hukum jurusan sandiawara.?”
“ Bukan! Mana ada jurusan sandiwara. Aku jurusan Pidana. Kenapa emang !?"tanyanya tanpa beban.
" Jadi kamu anggap aku terpidana!?"
' Nggak tuh. Kamu calon suamiku."

Duh.... jawabannya membuat hatiku semakin terbakar. Kalau saja tidak dihadapan orang banyak hampir saja kusemburkan makanan dari mulutku. Rasa simpatiku terhadap Rina sirna sudah, namun aku berusaha menahan diri dengan pertimbangan keselamatan bayi dalam rahimnya. Ditengah galaunya perasaanku, Rina terus memainkan peran bagai seorang calon isteri benaran, bahkan terkesan berlebihan. Tiba-tiba panggilan “mas” berubah menjadi “ pap”. Ah..aku semakin mati kutu.
“ Pap mau nambah lagi?” dayunya.

“ Nggak!” jawabku singkat sambil mendekatkan mulutku ke kupingnya, berlakon mesra, berbisik : “ Rina, aku mau muntah.”
“ Papa panggil aku mama. Papa sakit,?” desisnya.
“ Iya, serigala betina! Aku sakit hati.”
“Mas ..eh pap, tenang saja badai pasti berlalu. Jangan dimuntahin dulu. Nih buka mulutnya pap.”
" Rina, bukan hanya badai dilangit itu kau timpakan. Kamu menikamku dari belakang."
"Mas bego! Wajahmu jangan cembrut seperti itu, ayo senyum agar mereka terlena. Sebentar permainan ini kita segera akhiri, ayo mas senyum. Berlakonlah seperti bintang film!" senyumnya mengembang.
Keluarga Wiro semakin sumringah menyaksikan adegan kami saling berbisik, tampak mesra. Mereka nggak tahu isi pembicaraan kami mau saling menerkam.(Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, April 24, 2009

Telaga Senja (21)

http://www.youtube.com/watch?v=O-IEI3Io680

All the impossible, I wanna do./I wanna hold you close under the rain.
I wanna kiss your smile and feel your pain./I know what's beautiful, looking at you.
Here in a world of lies, you are the truth.

*) And baby
Everytime you touch me, I become a hero ./I'll make you safe no matter where you are
And bring you anything you ask for, nothing is above me,/ I'm shining like a candle in the dark
When you tell me that you love me.
I wanna make you see just what I was,/Show you the loneliness and what it does.
You walked into my life to stop my tears/Everything's easy now, I have you here.
*)
In a world without you,/I would always hunger,/All I need is your love to make me stronger.
*)

=============
Aku segera meninggalkan rumah Wiro setelah selesai berbicara tentang rencana pernikahan dengan Rina. Rina keheranan melihat perubahan wajahku usai berbicara dengan om Wiro.
“ Ada apa mas, kok wajahnya murung ? Mas sakit?”
http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/

“ Nggak, om Wiro dan Mario yang sakit. Sakit jiwa,” jawabku kesal.
“ Kenapa dengan mereka. ?”
“ Nanti Rina tahu sendiri. Keluarga Wiro telah mempersiapkan pernikahan kita.”
“ Pernikahan kita? Gila! Maksudmu, mas mau menikahiku?”
“ Itu maunya mereka.”

“ Mas, bawa aku keluar dari rumah setan ini, sebelum aku mati berdiri, tolong aku mas,” bujuknya.
“ Malam ini kamu tinggal disini, bicara baik-baik dengan om Wiro, jangan terpancing emosi. Ingat, meski kamu keponakannya, tetap saja kamu sebagai tamu. Aku akan tanya ibu kostku dulu, mana tahu masih ada kamar kosong, “ ujarku.

Rina bersikeras mau keluar bersamaku. Dia tetap menolak kutinggal meski sudah kubujuk: ” Kamu masih terlalu letih, jaga kesehatanmu.”
“ Nggak. Mas jangan tinggalkan aku sendiri. Aku mau ikut.!”

Aku mengalah, terpaksa membatalkan niat berkunjung kerumah Magdalena setelah Rina ngotot ikut bersamaku. Rina tampak senang ketika aku menujuk kearah rumah Magdalena yang kami lalui. “ Mas, kenalin aku pada mbak Magdalena iya.”

“ Nanti dulu, setelah aku ketemu dia. Orangnya cemburuan.”
“ Lho, katanya sudah putus, kok masih cemburuan.”?
“ Aku juga nggak tahu kenapa, tapi itulah misteri cinta.”
“ Jadi kalian masih saling mencintai?”
“ Antara iya dan tidak, maka aku katakan perjalanan kisah kami bagai suatu misteri.”
***
“ Rin, tempat ini menyimpan sejuta kenangan jalannya kisahkasihku dengan Madalena selama lima tahun,” ujarku ketika kami tiba di restaurant dibilangan Kp.Keling.
“ Kini giliran mas mengukir kenangan pahit!?”
“ Maksudmu.?”
“ Mas dibebani tanggungjawab besar, menikahiku.!” gelaknya.

“ Sudah siapkan namanya kalau nanti anak itu lahir.?”
“ Belum. Wong belum tahu laki atau perempuan.”
“ Kita janjian Rin. Kalau perempuan kamu yang memberi namanya, laki aku yang beri nama.!”
“ Mas sudah siapkan namanya?”
“ Sudah sejak dari Jakarta. Namanya “ Runduthian”, panggilannya Thian, bagus iya.!?"
“ Artinya apa.?”
“ Complicated. Berasal dari bahasa sansekerta.”
“ Mas bohong. Nggak ada Runduthian dalam bahasa sangsekerta,” balasnya. Dia nggak yakin karena melihatku tertawa.
“ Iya wis, Rina mau makan apa? Atau aku pesan makanan sesuai dengan kebiasaanku dulu dengan Magda.!? tanyaku..

“ Lho, masya aku harus makan sesuai selera mbak Magda ? Aku mau sate Betawi.”
“ Ngga ada sate Betawi. Ada sate buaya; buaya darat, laut dan udara.!”
“ Buaya udara yang bagaimana toh mas.!?
“ Buaya ajaib !. Ayo buruan aku lapar, elu pesan apaan?”

“ Kalau nggak ada sate Betawi, aku mau sate Medan atau sate Bataklah.”
“ Halah kamu nyariin yang ggak ada.”
“ Iya sudah, terserah mas.!”
“ Saksang mau?”
“ Mau! Saksang itu apa sih mas? Arsik aku tahu.”
“ Makanya jangan asal mau dicekokin.!”
“ Jelasin dulu dong baru marah!. Aku kan percaya saja kepada mas.”
***
“ Rina. Kenapa kamu nekat meninggalkan rumah, tanpa memberitahukan kepada keluarga. Tahu nggak lu, papi dan mamimu jatuh pingsan, mereka khawatir kamu bunuh diri. Aku juga diancam oleh Kurnadi om mu yang militer itu.”

“ Papi -mami jatuh pingsan? Wong mereka sendiri yang mengusirku. Mengapa om Kurnadi ikut campur.?”
“ Karena mereka yakin, janin dalam rahim itu adalah benihku, setelah membaca catatan harianmu,” ujarku seraya menyerahkan bukunya.

“ Oh iya Allah, jadi mas sudah baca catatan harianku ini. ?”
Rina tersipu malu setelah aku menunjukkan catatannya tanggal 15 Februari itu.
“ Mas ikut jadi korban iya? Mas ketakutan karena diancam?”

“ Tak ada seorangpun aku takuti didunia ini selama aku tidak melakukan kesalahan. Aku hanya kesal denganmu, kenapa kamu senekat itu. Aku tak ingin Rina mencelakakan dirimu dan kandunganmu. Aku tahu derita batinmu, apalagi setelah papi dan mami mengusirmu dari rumah. Kenapa Rina tidak memberitahukan aku kalau mau minggat?”

“ Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu.?”
“ Aku kan jadi ikut repot cariin kamu.”
“ Bagaimana Mas tahu aku ke Medan?”
“ Aku tahu dari Rihat.” (Bersambung)

Los Angeles, April 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, April 23, 2009

Telaga Senja (20)


http://www.youtube.com/watch?v=Via2IbRudB4

Nungga be ro si balik hunik da butet/ Na pareak on potang ari hasian.
( Butet fajar telah menyingsing / meyambut petang hari)
Unang be ho sai tumatangis da boru butet burju maho inang.
( Jangan engkau terus menangis bersabarlah engkau inang)
Nungga tinodo ni amang mu da butet/ingkon songonon si taononmu hasian/
( Itu adalah pilhan ayah mu butet/ demikian engkau harus menanggung derita
Parsoadahon sinuan na boruhu/ butet dung di bortian ho.
( Menyangkal engkau putrinya setelah engkau dalam kandungan
Dung tolu bulan da boru martunas si ubeonhi/ hu paboa do tu amangmu naung songon i di ahu/ Alai lao do mangaririt tu nadao

( Setelah tiga bulan dalam kandungan/ Aku beritahukan kepada ayahmu/ Namun dia pergi mencari wanita lain ke tempat jauh
Reff
Butet boha na ma boru/ tuisema paboan hu/ sitaonon ni inangmon
( Butet, entahlah bagaimana jadinya/ kepada siapa aku hendak mengadu)
Tubu ma ho so marama borunghu/ Butet sai unang be masa songon on.
( Engkau lahir tanpa ayah/ Butet kiranya janganlah terjadi hal seperti ini)
Hohooo butet..hoho butet/ sai unang tangis ho inang.
( Hohooo btet...hoho butet/ jangan lagi engkau menangis. )

======================
Mas, biarkan aku menapak lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu.!”
“ Terimakasih mas, biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.”
======================

TUBUH Rina semakin lemas setelah beberapa kali muntah selama perjalanan. Aku ingin memijat punggungnya seperti pernah aku lakukan kepada Susan. Tetapi aku khawatir akan menggangu kandungannya. “ Mas, kepalaku pusing. Aku mual mas,” ujarnya diiringi rintihan.
Hati terenyuh melihat penderitaannya, aku juga khawatir janin dalam rahimnya akan mengalami gangguan. Diatas pangkuan, aku memijat kepalanya dengan perlahan, sementara kedua tangannya memegang perutnya. Wajahnya pucat pasi bercucur keringat dingin menahan rasa sakit, mengingatkan erangan ibuku ketika melahirkan adikku yang ke 6.

Dibalik punggungnya aku menahan getir, tak mampu melihat penderitaannya. “Rina, bertahanlah, sebentar kita akan tiba." Rina mengangkat wajahnya dari pangkuanku. “ Iya mas aku masih tahan,” jawabnya dengan bibir bergetar. Tangannya mengusap airmata.

“ Bapak mau langsung ke rumah sakit,?” tanya sopir taksi ketika aku meminta agar mempercepat laju kenderaanya.
“ Tidak usah mas, kita kerumah tante dulu aku butuh istirahat,” jawab Rina. Melihat kondisi Rina yang semakin melemah, aku meminta sopir mampir di klinik dr.Robert, spesialis kandungan, namun Rina tetap menolak.
“ Mas, aku nggak apa-apa, kita langsung kerumah tante saja. Aku mau istrahat.”

“ Rina, wajahmu pucat, tubuhmu tampak lemah sekali. Aku khawatir janin dalam kandunganmu akan terganggu. Kita mampir iya Rin.!?” bujukku.
“ Iya mas, tetapi nanti aku ditanyakan macam-macam?”
“ Kita ke dokter bukan kekantor polisi,” ujarku menghibur dirinya.
“ Iya aku tahu, nanti aku ditanya dimana suamiku.!”
“ Memang aku belum pantas menjadi seorang suami? Usia duapuluh lima jalan, sarjana, pekerja, punya kumis tipis dan brewok tumbuh merata.”
“ Mas, aku serius. “
“ Kurang serius apa hingga aku meninggalkan pekerjaan, terbang dari Jakarta hanya untuk menemuimu.!?”

“ Jadi mas bersedia jika aku mengaku isterimu.”
“ Buktikan nanti di ruang periksa dokter.”
Rina akhirnya bersedia mengikuti saranku. Aku menuntunnya ke klinik dr. Robert berlagak seorang suami. Wajah perawat Maria yang telah mengenalku heran melihat kehadiranku dan Rina. Dengan sigap Maria menjemput dari teras dan mendahulukan Rina masuk ke ruangan dokter.

Dr. Robert tidak dapat menutupi wajahnya dari rasa heran meski dia menyapaku dengan akrab. Aku berpura-pura tidak mendengar ketika dia menanyakan kapan menikah. Segera aku keluar ruangan setelah dr. Robert mulai memeriksa Rina.
“ Katanya abang sudah di Jakarta! Kapan? Dimana menikahnya bang ? Kok nggak ngundang kita,?” tanya Maria ketika aku kembali keruang tunggu. Aku juga tak menjawab. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Dalam benakku, tidak lama lagi berita ini akan sampai kepada Magdalena, ponakan dr. Robert.
***
KELUARGA Wiro, om Rina, telah menunggu kedatangan kami dirumah, mereka menyambut dengan ramah. “ Kenapa tiba kesiangan? Kapalnya terlambat?” tanya isteri Wiro.
“ Tadi mampir sebentar beli obat pening, maksudku obat pusing,” jawabku.

Wiro mengajakku ke serambi di belakang rumahnya. Pembantu rumah tangga menyuguhkan tiga cangkir kopi panas dan pisang goreng. Aku agak heran, pembantu menyediakan tiga cangkir kopi untuk kami berdua. Tidak lama, keherananku terjawab, ketika seorang dengan rambut cepak muncul, dari pinggangnya tersembul gagang pistol dengan gaya tengik pula. Ah...gaya intel Melayu, gerutuku dalam hati.

“Kenalkan, adikku Mario, polisi Tekab ( team khusus anti bandit, pen),” kata Wiro. Setelah basa-basi, Wiro memberitahukan, bahwa kakaknya, papi Rina telah memberitahu permasalahan putrinya.
“ Terimakasih nak mau bertanggungjawab. Semuanya sudah om persiapkan. Maksudku, pak penghulu dan resepsi kecil-kecilan sudah siap. Terserah nak Tan Zung, kita langsungkan besok atau lusa.

“ Maksud om, aku menikah dengan Rina?” tanyaku sedikit gusar.
“ Iya nak. Kenapa? Jangan lama-lama lagi, mumpung perutnya belum ketara.”
“ Sebelum aku menjawab, alangkah lebih baik om menanyakan Rina,” jawabku.
“ Rina nggak ada masalah, dia pasti mau apa kata om.”

“ Tetapi aku harus dengar sendiri, apa kata Rina. Yang mau nikah dengan aku, om atau Rina.?”
“ Jangan bercanda bung,” selah Mario, anggota Tekhab tengil.
“ Aku tidak bercanda, aku serius. Kalau Rina katakan sekarang juga, aku siap. Tunggu aku panggilkan Rina,” ujarku sambil meninggalkan mereka.

” Tunggu! Jangan sekarang, dia masih kelelahan. Om akan tanyakan nanti setelah makan malam,” cegah Wiro.
“ Jangan lama-lama om, nanti perutnya semakin ketara,” ujarku menirukan ucapan dia sebelumnya. Mario melirikku dengan wajah kesal. Dia sadar kalau jawabanku kepada Wiro kakaknya, ngenyek.
Aku segera meninggalkan Wiro dan Mario di serambi setelah selesai berbicara tentang rencana pernikahan dengan Rina. Rina keheranan melihat perubahan wajahku usai berbicara dengan Wiro.
“ Ada apa mas, kok wajahnya murung ? Mas sakit?” tanyanya. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (19)



http://www.youtube.com/watch?v=nDgLq3lkZQU

=============
Esok harinya, pukul 05:00 dini hari, dering telephon mengagetkan aku dan orangtua Rina ketika polisi meminta kami datang ke rumah sakit. Aku terhuyung dikamar adikku, hatiku hancur membayangkan penderitaannya dan nasib janin dalam kandungannya.
===============
“ Seorang perempuan meninggal ditabrak mobil dengan ciri-ciri mirip putri bapak,” ungkap polisi. Mami Rina pingsan mendengar uraian polisi sementara penyakit sesak nafas papinya kambuh. Aku, Lamhot dan Rima segera meluncur ke rumah sakit. Aku, Lam Hot dan Rima diam membisu selama dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Segera aku melompat dari taksi, berlari keruang gawat darurat, diikuti adikku dan Rima. Aku gemetar setelah melihat celana jeans yang sedikit tersingkap dibawah kain penutup jenazah. Aku berteriak sekerasnya memanggil nama Rinaaaaa...!!! Keseimbanganku hilang karena tidak tidur sejak malam, aku limbung, tak sadarkan diri
"Lam Hot dan Rima membangunkanku dipembaringan di rumah sakit.
" Mas, bangun. Kita pulang," ajak Rima .
" Rina dimana.?" tanyaku.
" Bang, Dia bukan Rina."
Aku segera bangkit dari pembaringan : " Kalian sudah pasti, kalau mayat tadi bukan Rina.?"

" Iya. Kami sudah periksa, wajahnya sudah hancur. Tetapi setelah diperiksa dengan seksama, ternyata bukan Rina. Memang ada beberapa ciri mirip dengan Rina. Yang memastikan mayat bukan Rina adalah, korban tidak ada tanda-tanda hamil," jelas adikku Lam Hot.
" Mari kita pulang," ujarku sambil melompat dari temapt tidur rumah sakit. Tiba dirumah, kedua orangtua Rina agak lega mendengar penjelasan kami. Papi Rina didampingi adiknya, oknum dari kesatuan militer itu, mengajak bicara di ruang makan.
“ Nak, aku ingin bantuanmu,” ujarnya dengan iba, sembari menyerahkan buku harian yang lain milik Rina putrinya. Aku merasa terpojok dengan situasi yang sangat mencekam ini, sementara oknum militer selalu mempelototiku mulai dari kaki hingga keujung ramputku, fuighhh...

Untuk kesekian kalinya aku menghubungi Rihat mealui telefon. Tetapi dia bungkam, tidak banyak informasi dapat kuperoleh. Dini hari, Rihat gelagapan ketika aku mendatangi ke rumah kostnya ditemani omnya Rina, anggota militer itu. Akhirnya, Rihat mengaku bahwa Rina menemuinya dua hari lalu menanyakan informasi tentang keadaan kota Medan.
“ Tadi pagi aku menghantarkannya ke pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Rina, dia mau berkunjung kerumah tantenya di Medan Baru, “ jelas Rihat. Dibawah pengawasan ketat om Rina, kami berangkat ke Tanjung Priok. Benar, aku menemukan nama Rina dalam daftar penumpang. Papi Rina membujukku agar mau menemui Rina ke Medan.
***
Direktur perusahaanku memberikan izin empat hari, setelah memberitahukan situasiku saat itu. Adikku meminjamkan uang untuk kebutuhanku selama empat hari, sementara aku masih mempunyai tiket open date pemberian Susan ketika aku mau berangkat ke Jakarta beberapa bulan lalu.
“ Tolong mas, ini emergency, aku ingin berangkat siang ini!” bujukku kepada petugas maskapai penerbangan, ketika dia menolak ikut penerbangan pagi itu.
“Pesawat sudah penuh,” dalihnya. Tetapi akhirnya tiket langsung confirm setelah melihat sejumlah uang ku selipkan didalam tiket. Selama perjalan, dalam pesawat, aku membayangkan betapa hati Rina terluka atas sikap keluarganya. Rina meninggalkan keluarga dengan bayang semu entah apa yang akan terjadi diujung jalan. Cukupkah sinar matahari menuntun jalan masa depan dan bayi dalam kandungannya? Dalam hatiku menyumpahi kebengisan orangtuanya; kelakuannya seperti Pontius Pilatus.
***
Rina kaget melihat kedatanganku di pelabuhan Belawan. Dari jauh, dia meyakinkan dirinya dengan memangil namaku. “ Mas Tan Zung!?”
“Bukan, aku kembarannya,” jawabku bergurau setelah Rina mendekatiku. Antara percaya dan tidak, Rina menyebut namaku lagi. “ Mas Tan Zung!?” Rina memelukku ketika aku ingin mengangkat koper kecilnya.
“ Rina aku mau menjemputmu, besok kita harus kembali ke Jakarta. Semua keluarga khawatir dengan kesehatannmu." Rina menolak ajakanku.
“ Aku ingin jauh dari keluarga, ingin menenangkan diri. Tolong antarkan aku kerumah tanteku. Ini alamatnya,"pintanya.

Aku terus berusaha membujuknya selama dalam perjalanan Belawan-Medan, tetapi Rina terus menolak ikut kembali ke Jakarta. Aku berhenti membujuknya ketika Rina menatapku tajam dengan wajah marah.
“ Mas, biarkan aku sendiri menjalani hidupku sendiri. Aku tak butuh pertolongan siapapun, juga dengan kamu, faham!?” sentaknya geram.
Rina menutup wajah dengan kedua tanngannya, dia menahan tangis. Rinta meronta ketika aku membujuk sambil memegang bahunya yang terus terguncang menahan isaknya. “ Jangan sentuh aku! Aku perempuan busuk.!”

“Rina, aku hanya kasihan dengan kesehatanmu.”
“ Mas, sudah! Aku tak butuh diakasihani. Pak sopir, berhenti. Aku mau turun,” ujarnya histeris.
“ Rina ! Tempat tantemu masih jauh. Iya aku akan diam. Baik, besok aku akan kembali tanpa Rina. Atau aku juga mau tinggal di Medan bersamamu, Rina mau,?” tanyaku.

” Mas, biarkan aku sendiri menapak dalam lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu!”
“ Terimakasih mas. Biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.” (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (18)



http://www.youtube.com/watch?v=IkDBBSHUIyA

An empty street,/An empty house,/A hole inside my heart,/I’m all alone, the rooms are getting smaller/ I wonder how,/I wonder why,/I wonder where they are,/The days we had,/The songs we sang together(oh yeah)./ And ohhh.. my love,/I’m holding on forever,/Reaching for a love that seems so far,
Chorus:
So I say a little prayer,/and hope my dreams will take me there,/where the skies are blue to see you once again,/My love,over seas from coast to coast,/to find the place I love the most,/where the fields are green to see you once again, my love.

I try to read,/i go to work,/i’m laughing with my friends,/but i can’t stop to keep myself from thinking(oh no)

I wonder how/I wonder why/I wonder where they are/the days we had, the songs we sang together(oh yeah) / And ohhh.. my love/I’m holding on forever, reaching for a love that seems so far
Chorus
To hold you in my arms,/To promise you my love,/To tell you from a far/You’re all I’m thinking of/ Reaching for the love that seems so far


====================
Di akhir percakapan Magda mengingatkanku, agar tidak teler, jangan main judi dan main perempuan lagi.
" Nggak lagi, aku janji. Kecuali kepepet," godaku.
" Banggggg!!!!!" teriaknya diujung telephon.
====================
SEMINGGU setelah Rina kerumah, adik Lamhot menemuiku. Dengan wajah kusam. Aku mengira dia mau curhat kepadaku karena dia ada masalah dengan pacarnya Rima atau di kantornya.
" Bang, boleh kita bicara diluar. Ada yang sangat penting," ajaknya.
" Kamu punya masalah dikantor atau dengan pacarmu?"
" Bukan.! Masalah dengan abang."
" Aku bermasalah? Masalah apa?. Aku baik-baik saja. Kenapa harus bicara diluar? Kita bicara di kamarku saja. Ah kamu bikin aku sesak nafas. Dengan siapa aku bermasalah, ?" cecarku.
" Bang, Rina menghilang. Dia pergi dari rumah sejak kemarin malam."

" Ada apa dengan dia? Kenapa Rina menghilang? Bagaimana kalian tahu Rina menghilang. Boleh jadi dia menginap dirumah temannya."
Rima menemukan surat diatas meja kamarnya. Rina berpesan:
" Papi, mami dan Rima, tolonglah Rina tidak dicerca lagi. Aku mengaku salah karena menorehkan aib ditengah keluarga kita. Papi, Rina bukan perempuan jalang. Biarkan aku sendiri menentukan jalan hidupku. Hidup akan kugapai dengan jalanku sendiri. Maafkan Rina, anak durhaka.!"

" Rina ribut dengan papi-maminya? Sebabnya apa? Kalian sudah mencarinya,?" tanyaku gusar.
" Sudah bang.! Sejak tadi pagi kami sudah cari kerumah teman-temanya, tetapi mereka tidak tahu keberadaannya."
" Rina menghilang, kenapa kamu bilang itu masalahku.?"
" Memang abang nggak tahu dimana Rina.?"

" Nggak! Aku terakhir ketemu dia minggu lalu di rumah ini, ketika kalian menghantarkan surat Magdalena."
“ Rina hamil bang! Kedua orangtuanya sangat marah, karena dianggap menaruh aib ditengah keluarga,” ujar adikku.
" Hah...! Rina hamil!?"
“ Abang memang nggak tahu.?”
“ Bagaimana aku tahu. Aku juga tahu dia menghilang dari kamu."
" Itulah masalahnya bang. Sebaiknya abang jujurlah."
" Aku nggak mengerti arah pernyataanmu. Jadi kamu pikir aku menghamilinya,!?”
“ Soalnya, sebelum abang pindah selalu berdua dirumah. Juga sering pulang larut malam. Abang serius nggak tahu dimana Rina.?”

“ Sekali lagi kau ulang pertanyaanmu, akan kukuncir bibirmu,” teriakku marah.
Lho, kenapa abang marah,?”
“ Lam Hot, aku tak sepicik itu. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab."
“ Benar! Bang, penjara tak muat, kalau semua penjahat mau mengaku jujur.”
“ Jadi, kau dan keluarganya menuduhku.?”

“ Bang, Rima adiknya menemukan catatan harian Rina. Aku telah membacanya, juga kedua orangtuanya.”
“ Apa hubungannya catatan hariannya denganku?”
“ Dari semua lembaran buku hariannya, hanya nama abang yang paling sering disebut, “ujar adikku seraya menyerahkan buku harian Rina.
" Isinya apa dik.?"
"Abang baca sendiri."
***
Sabtu, 14 Februari: Hari yang tak dapat aku lupakan, aku dan mas Tan Zung menikmati indahnya malam sepulang nonton. Aku tak menyangka kalau dia lelaki berhati lembut. Dia seorang pria jantan yang belum pernah aku temukan diantara teman priaku termasuk Paian.

Minggu 15 February: Aku dan mas Tan Zung duduk di rerumputan taman Ancol dibawah sinar rembulan hingga menjelang tengah malam.

Senin, 16 Februari: Tan Zung membantuku mempersiapkan makan siang. Dia sering mencuri pandang kearahku. Ah...aku salut dengannya; Dia berdoa sebelum mencicipi makanan. Hal seperti belum pernah aku lihat adiknya Lam Hot.

Sabtu, 21 Februari: Aku marah karena Tan Zung terlalu banyak minum ketika kami ke bar. Tetapi, mas Tan Zung pintar meluluhkan hatiku. Rasa dongkol berubah sejuk, aku terlena dengan kalimat puitisnya. Lengan tangannya yang kokoh menggapit lenganku, menunutunku keluar dari bar menuju tepi pantai dibelakang bar itu.

Gema suaranya bagai genta menghentak heningnya malam; Gejolak sukma bagai gemuruh ombak mengubur masa laluku ketika aku dan dia duduk dibebatuan pinggar pantai. Malam itu dia berucap, “ Rina, tengok nelayan itu bungkuk menaruh jala kecilnya kedasar laut. Tangannya mengapit lentera kecil seakan mengejek cahaya rembulan. Tetapi aku tak mengerti makna ucapan mas Tan Zung.

Semeilir angin malam menghantarkanku terlena diatas kedua pahanya. Dia membiarkan rambutku , menutupi wajahnya yang tergerai oleh hembusan angin dari samudera luas. Kami terbangun ketika nelayan itu mengingatkan: sebentar lagi laut akan pasang.

Aku bangun, tersipu malu ketika ibu nelayan menatap wajahku, teduh. Pasangan nelayan itu terus menatapku senyum dalam pangkuan Tan Zung hingga dibalik batang pohon rindang. Tan Zung tak membiarkan diriku menapak diatas pasir putih; dia memopongku hingga kemobil. Malam indah mengukir sejuta kenangan. Ah..belum...belum seorangpun sahabat lelaki memperlakukanku semesra itu.
***
“ Bang, nanti baca lanjutannya. Mereka menunggumu dirumah. Abang harus kesatria, jangan pengecut.”
Iyalah. Aku tetap bertanggungjawab atas apa yang telah aku lakukan. Aku akan mencari Rina hingga keujung langit sekalipun,” janjiku untuk menenangkan hatinya.
“ Seorang berpakaian militer mengetuk pintu rumah. Segera adikku menemuinya ke luar. Aku melihat mereka berbicara serius, agaknya dia sudah mulai bosan menunggu pembicaraanku dengan Lam Hot. Oknum militer mendengar dengan seksama uraian adikku, dia mengangguk-angkuk kepalanya.
“ Mas, aku tunggu dirumah !” suaranya menggelegar dengan tatapan tajam ke arahku.
***
Aku melanjutkan membaca seluruh buku hariannya, sekaligus ingin mencari beberapa informasi yang dapat membantu menemukan Rina. Aku melihat nama Rihat lengkap dengan alamat dan nomor telephon pekerjaannya. Nama ini masih melekat dalam ingatanku, ketika Rina menceritakan kedekatannya dengan Paian. Segera aku menghubunginya lewat telephon, dia mau membantu tetapi menolak bertemu denganku.

Sejak pagi, Rima, adikku Lamhot dan aku bersama-sama mencari Rina kerumah sahabat-sahabatnya, tetapi tak ketemu. Kedua orangtuanya menyesali diri sendiri karena mengusir Rina dari rumah. Mereka takut Rina akan bunuh diri. Setelah menunggu selama dua hari Rina tak kunjung pulang, atas inisiatipku, Rima dan Lam Hot melaporkan ke polisi, Rina hilang, dengan menyebutkan ciri-ciri serta pakaian yang dikenakannya.

Esok harinya, pukul 05:00 dini hari, dering telefon mengagetkan aku dan orangtua Rina ketika polisi meminta kami datang ke rumah sakit. Aku terhuyung dikamar adikku, hatiku hancur membayangkan penderitaannya dan nasib janin dalam kandungannya. (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, April 22, 2009

Telaga Senja (17)



http://www.youtube.com/watch?v=ohdHhTfI2Go

Zung, sudah ya, telephon aku setelah terima surat ini, agar aku dapat tidur.
Peluk ciumku ; Magdalena Elisabeth yang pernah menyangimu.

SURAT berisi kenangan masa lalu kubaca berulang, isinya menukil kenangan manis. Aku ingin segera menelephon dia, namun hati mendua mengingat pertengakaran kami terakhir ketika aku habis main judi dan mabuk berat. Tubuh terbaring lesu diatas tempat tidur, tercenung, sukar memutuskan apakah aku menghubunginya sesuai permintaan diakhir tulisannya.

Ibu kost memanggilku dari balik pintu kamar.” Zung kamu ketiduran? Ibu dari tadi mengetuk kamarmu tidak ada jawaban. Kenapa wajahmu kusut. Ribut dengan pacar,?” tanyanya, ketika aku membuka pintu kamarku, lantas memberitahu kalau Rina baru saja menelefonku. Ditengah galaunya hati, aku menghubungi Rina ingin tahu untuk apalagi dia menelefonku.
“ Hot, tadi Rina telephon aku, tolong panggilkan dia,” pintaku kepadanya ketika dia mengangkat gagang telefon.
“ Kebetulan bang. Cuma mengingatkan: Kalau ngomong jangan ketus-ketus seperti tadi sore apalagi kepada perempuan."
" Rina marah?"
" Nggak, cuma sedkit kesal. Tetapi Rina sudah maklum kok gaya abang bicara. Sebentar bang, aku panggilkan kak Rina.”

Heh..mas masih mau telefon aku iya!?”
“ Rina, jangan panggil heh...Bagi orang Sumatera, itu tak sopan.”
Duh...mas kok jadi sensitif setelah baca surat isteri..eh..pacar. ?”
“ Tadi Rina menelefonku? Ada yang perlu?”
“ Ya. Aku minta maaf kejadian tadi sore. Nanti jadi kan kita makan malam bareng.?”
“ Nggak. Kepalaku pusing, nggak punya selera makan.”
Lho, tadi mas janji mau makan malam dengan aku dan adik Lam Hot?”
“Rina! Janji nikah pun dapat batal, apalagi hanya janji makan ,” ujarku ketawa.
“Mas, nggak lucu,” balasnya. Rina meletakkan gagang telefon mengakiri pembicaraan kami.
***
Aku minta tolong kepada ibu kost untuk menghubungi Magdalena. Ibu kos heran: “ Mau bicara dengan pacar harus pakai orang ketiga.?”
“ Bu, tolong bilangin aku sedang sakit."
“ Nggak ah, ibu nggak mau bohong,” tolaknya.
“ Benar ibu, aku lagi sakit. Kepalaku pusing.”
Ibu kos mengalah, dia memutar nomor telefon yang ku berikan. “ Magdalena? Iya ini ibu tempat tingganya nak Tan Zung; Dia mau bicara. Dia sedang sakit.”

“ Zung, benar sakit? Sakit apa? Tadi malam mabuk lagi.?” tanyanya diujung telefon.
“ Nggak! Magdalena, aku minta maaf kejadian beberapa minggu lalu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku saat itu. Magdalena sehat? Suratmu baru aku terima siang ini. Surat itu terlambat aku terima karena di alamat tidak tercantum RT/RW. Aku menelephon karena diakhir surat, Magda minta aku segera menghubungi setelah membacanya.”

“Mengapa ibu itu yang duluan menenlephon aku, kenapa bukan abang langsung.?”
“ Aku masih trauma kejadian lalu ketika Magda marah dan menutup telefon setiap mendengar suaraku.”
“ Makanya abang jangan keras kepala.”
“ Ya, nggak lagi. itu makanya aku telephon kamu malam ini. Magda aku rindu.”
“ Abang telefon aku, karena rindu atau karena sakit?”
“ Kedua-duanya. Magda masih marah?”
“ Masih! Abang nggak pernah mau dengar omonganku.”

“ Aku selalu dengar, cuma sering lupa.”
“ Bang, lagi minum iya.?”
“ Nggak. Aku hanya bercanda. Magda jangan marah-marah terus.!”
“ Aku marah karena aku kasihan pada abang.”
“ Karena kasihan atau karena kasih.”
“ Terserah yang mana. Abang jugul!”
***
“ Magda, aku sudah pindah dari tempat adikku setelah bekerja. Kemarin aku gajian tetapi semua gajiku raib, aku kecopetan. Itu sebabnya kepalaku pusing.”
“ Abang sudah kerja? Kok nggak beri tahu aku.?”
“Dua minggu lalu aku menelefonmu. Tetapi ketika mendengar suaraku, langsung kamu tutup.”
“ Aku kesal, abang tak mau berubah, padahal dulu sudah janji nggak mau mabu-mabukan lagi. Main sama perempuan lagi, huh...”
“ Dia bukan perempuan nakal. Untung ada dia menuntunku masuk ke kamar.”
“ Apakah abang masih dapat dipercaya.?”
“ Aku masih seperti yang Magda kenal, jujur dan setia.”
“ Jujur ? Setia kepada siapa?. Belum lama di Jakarta sudah jalang dengan perempuan lain.”

“ Itu hanya kebetulan, dia perempuan baik. Buktinya malam itu dia mau bantuin aku telefon kamu.”
Halah..abang selalu punya alasan. Abang masih punya uang? Berapa aku mau kirim?” tanyanya prihatin.
“ Nggak usah. Aku masih ada uang sisa dari Medan.”
“ Abang selalu menolak, kalau aku mau memberi sesuatu.”
“ Magda, nantilah aku terima kalau kamu sudah kerja.”
“ Aku sudah bekerja sejak dua minggu lalu bang. ”
“ Tetapi kamu belum gajian. "

“ Zung, aku masih punya tabungan. Berapa aku kirim untuk bayar kosmu,? desaknya. Abang nggak pernah mau terima pemberianku, tetapi pemberian Susan abang terima.”
“ Ya... iya, kirimkanlah,” jawabku setelah dia menyebut nama Susan-- mengingatkanku isi suratnya-- lantas aku menyebutkan jumlah pembayaran kosku. Di akhir percakapan Magda mengingatkanku, agar tidak teler, jangan main judi dan main perempuan lagi.
" Nggak lagi, aku janji. Kecuali kepepet," godaku.
" Banggggg!!!!!" teriaknya diujung telefhon. (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, April 21, 2009

Telaga Senja (16)

http://www.youtube.com/watch?v=6S9ecXWCBCc

“ Oh please release me, let me go /For I don’t love you anymore /To waste our lives would be a sin /Release me and let me love again.

I have found a new love dear /And I will always want her near /Her lips are warm while yours are cold /Oh release me, my darling let me go / Please release me, let me go /For I don’t love you anymore /To waste our lives would be a sin /So release me and let me love again

Please release me, can’t you see /You’d be a fool to cling to me /To share our lives would bring us pain /So, release me, and let me love again Let me go, oh release me, my darling /Let me go.
=============
Tetapi abang diam ketika hal yang sama dilakukannya kepada teman kita Siti, lucu iya abang.! Sebenarnya saat itu hatiku sudah mulai berbunga-bunga. Abang juga tahu bukan?.
================
Zung, Setiap malam minggu, aku tak sabaran menunggumu di teras bersejarah, mili kita , waktu itu abang “baptis “ nama teras “MH” ( Magda-Holong). Di teras itu kita ribut sekaligus memadu cinta. Aku selalu berpura-pura marah kepadamu bang, karena aku ingin disayang. Aku paling suka bila rambutku digerai, abang tahu itu.

Belakangan aku sadar, abang juga suka berpura-pura, supaya aku memanjakanmu. Abang bilang sakit, ternyata ecek-ecek. Padahal maunya abang supaya aku menyuapimu makan. Aku juga tahu, waktu itu, abang menyediakan sendok, gelas dan piring hanya satu, selainnya abang sembunyikan kan? Maunya abang biar kita makan bersama dengan satu sendok, gelas dan piring untuk berdua. Eh..tahe abangku.

Abang masih ingat peristiwa Jl. Kangkung itu? Sepulang dari sekolah, abang menghajar ulu hati Bistok hingga terjongkok-jongkok. Saat itu aku sangat benci kepada abang. Makanya beberapa hari , disekolah, aku nggak mau cakapan denganmu. Juga, berapa kali abang kerumah, aku tak mau menjumpaimu. Aku sebenarnya merasa kasihan melihat wajah abang murung, ketika aku mengintip dari selah-selah jendela rumah.

Bang, marahku luluh, ketika abang menghajar Ridwan karena dia kurang ajar terhadapku. Mestinya abang tak usah menghajar dia, cukup ditegur. Tetapi itulah cara abang mencuri hatiku. Memang abang pintar mengambil hati, mamiku juga mengakui itu. Dan itu pula membuat ibu Susan jatuh hati padamu, Iya kan bang.!?”

Zung, masih ingatkah ruangan “perpustakaan biru”, kamar abang, yang menjadi saksi bisu betapa banyaknya airmataku tercurah disana hanya karena kasih sayangku padamu. Kadangklala abang marah, aku merajuk dan...ah..bang aku jadi terenyuh manakala bujuk rayu dan intonasi suaramu mengalun lembut di telingaku, sementara tangamu menggerai rambutku, sesekali abang mencium rambut yang kubiarkan panjang atas permintaanmu itu.
Tetapi bang, aku merasa ketakutan bila suaramu menggelegar bagai petir dikala aku, menurutmu, menjeng. Iya bang aku butuh disayang, aku menjeng? Ya.! Aku ingin dimanjakan oleh abang seorang.

Di kamar “perpustakaan” itu, entah kenapa kita paling senang menyanyikan lagu : ”Please release me.” Bila aku merindukanmu, meski abang telah"menceraikanku", sering kunyanyikan dikamar, diatas bantal yang dulu sering abang pakai.

Oh..ya abang aku masih ingat pada pBolderebutan kejuaraan antar perguruan karate itu. Aku melarangmu karena ujian sarjana sudah dekat, tetapi abang bersikeras. Waktu itu abang berjanji, itulah pertandingan akhir untukmu dan ingin merebut piala, kemudian akan menyerahkan kepadaku sebagai tanda cintamu. Masih ingat bang? Sore itu aku meraung histeris melihat abang terkapar dilapangan karena permainan curang lawan mainmu.

Aku berlari kelapanagan memeluk abang dan menciumi, aku tak perduli dengan manusia disekitar lapangan itu, juga dengan adik Jonathan yang terus marah karena aku terus menangisimu hingga kerumah sakit. Saat itu aku mengira abang akan pergi selamanya. Masa aku janda sebelum menikah bang?..hahahaha.

Bang, aku gemas bila Susan dosen kita itu, mantan pacarmu, menuturkan hubungan asmaramu dengannya. Susan menceritakan masa-masa romantis kalian dirumah ketika suaminya di London. Dua hari setelah abang berangkat, aku diajak menginap dirumahnya, kebetulan suaminya tugas keluar kota.

Susan tidak lagi merasa sungkan menceritakan hubunganmu dengannya, setelah aku yakinkan, bahwa aku dan abang sudah tidak pacaran lagi, betul nggak bang.? Susan juga menuturkan bila abang dan dia berdansa, teler, kemudian tertidur di atas sofa diruang tamunya.

Zung, aku dan Susan tidur di kamar ketika abang dan dia pernah tidur bersama. Kami rebutan bantal yang abang pakai ketika itu, aku kalah, tetapi dia memberiku selimut yang abang pakai kala itu. Zung, aku sedih ketika Susan menolak memberikan t-shirt mu yang tertinggal dirumahnya. Aku semakin kesal ketika dia mengenakan didepanku, entahlah Zung, aku cemburu atau apalah.

Aku mengambil fotomu bersama Susan tanpa sepengetahuannya. Aku simpan foto itu dalam albumku, nggak apa-apa kan bang? Zung, akhirnya ketahuan juga, kenapa abang menolak uang pemberianku. Susan menceritakan, abang mendapat tiket dan sejumlah uang dari Susan. Oalahh..abang...abang, kenapa nggak terus terang saat itu. Aku pikir abang marah .

Zung, sudah ya, telephon aku setelah terima surat ini, agar aku dapat tidur.
Peluk ciumku ; Magdalena Elisabeth yang pernah menyangimu ( Bersambung).

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, April 20, 2009

Telaga Senja (15)

http://www.youtube.com/watch?v=h9qA2KzHp6s

Take me back in the arms I love Need me like you did before/Touch me once again/And remember when/There was no one that you wanted more
Don’t go you know you will break my heart/She won’t love you like I will/I’m the one who’ll stay/When she walks away/And you know I’ll be standing here still
*)
I’ll be waiting for you/Here inside my heart/I’m the one who wants to love you more
You will see I can give you/Everything you need/Let me be the one to love you more
See me as if you never knew/Hold me so you can’t let go/Just believe in me
I will make you see/All the things that your heart needs to know
*)
And some way all the love that we had can be saved/Whatever it takes we’ll find a way *)

===========
"Mau tidur dikamarku? Biar aku tidur di kamar adik Rima.”“ Nggak ah. Takut mimpi jelek. Kecuali tidur bareng,” godaku“ Huh..dasar.!”
===========

RINA dan adikku datang berkunjung kerumah setelah dua kali akhir pekan tidak mengunjungi mereka.
“ Mas, ini surat dari isterimu, Magdalena," ujar Rina dengan wajah cembrut. “Suratnya sudah sebulan lalu. Kakak itu tak menuliskan RT/RW rumah,” tambah adikku Lam Hot tersenyum mendengar suara Rina agak kecewa.

Aku heran membaca nama pengirim, tertulis : Mama Magdalena, tetapi alamat Mawar; Ditujukan kepada papa Tan Zung. Aku mengenal karakter tulisan Magda, beda dengan karakter tulisan diluar ampelop itu.
“ Kenapa mesti bohong sih mas, mengaku single tetapi sudah punya isteri,” gerutunya.
“ Kan baru satu,” guyonku sambil membuka amplop. "
" Apa mas!?" Baru satu? Mauanya mas berapa?" tanyanya masih dalam suara marah.

" Dua! Satu di Medan satu disini," jawabku lepas seraya membuka amplop. Akh...ini pasti kerjaan Mawar, pikirku, setelah menemukan satu lagi envelope didalam; Asli tulisan Magdalena.
Aku menunjukkan amplop itu kepada Rina dan adikku: “ Aku dikerjain temanku Mawar. Ini asli tulisan Magda,” ujarku sambil menyerahkan envelop bertuliskan: Pengirim Magdalena.

Adikku ketawa, wajah Rina masih kusut meski aku jelaskan bahwa Mawar adalah sahabat akrab dan teman sekolah sejak es-em-a. Wajah Rina tetap cembrut bahkan tidak berkata apapun ketika dia meninggalkan tempatku.
"Rina , kenapa wajahmu murung? Apa yang salah? Tadi aku sudah bilang, ini surat dari bekas pacarku, bukan dari isteriku."
" Idih..merasa sendiri. Mau punya isteri satu atau lima apa peduliku!?"

" Lho, kenapa Rina sewot kalau bukan urusanmu, aneh.! Tunggu dulu kubaca isinya, setelah itu aku bakar. Atau mau baca bareng ?"

"Heh...kenapa jadi ribut urusan surat bekas pacar,?" sela Lam Hot ketawa.
" Okey Rin. Bagaimana kalau kita makan bareng!" ajakku.
" Ogah..." ketusnya.
"Bagaimana kalau sebentar lagi kita kerumahmu. Aku kangen makan bersama denganmu. Mau Rin.?" Rina tak menjawab, tetapi rona wajahnya berubah, normal.
" Iya, bang nanti kami tunggu dirumah, biar kita selesaikan dulu urusan surat itu," gurau adikku.
"Aku nanti beli makan malam kita," tambahnya.

Aku segera membaca isi surat Magdalena setelah keduanya pulang. Magda merangkaikan kata-kata romantis diatas kertas biru, sejuk. Dia mengingatkan hubungan kami ketika di es-em-a. Magda juga menuturkan kedekatannya dengan Susan:

Zung, entah kenapa aku merasa rindu dan kehilangan atas kepergianmu. Dulu, ketika abang pulang kampung meski kita berpisah selama dua minggu, perasaanku tidak seperti kini. Aku semakin tak mengerti meski abang telah menyakitiku, tetapi , kepergianmu ke Jakarta dua hari lalu seakan menambah torehan perih dalam hatitu.

Tadi malam, aku malu, ketika mami datang kekamar. Mami mengelus kepalaku, berujar: “ Tidurlah inang, besok telephon itonya. Zung, ah... aku ketangkap basah, menangis. Padahal, sepeninggal papi, aku sudah katakan kepada mami, aku tak punya hubungan lagi dengan abang. Memang ya, iya kan bang.? Kita nggak punya hubungan lagi, tetapi masih saling merindukan. Abang, rindu kepada Magda? Ah..nanti juga abang melupakanku setelah berteman dengan perempuan di Jakarta yang cantik-cantik.

Zung masih ingat? Ketika itu aku marah-marah saat abang pulang dari kampung, dengan mata kepalaku sendiri melihat, di dalam beca, paribanmu Sinta tertidur diatas dadamu. Malam itu aku sangat marah. Dadaku bagaikan terbakar, mataku tak dapat ku pejam, karena aku tak ingin ada wajah lain bersandar diatas dadamu, siapapun dia kecuali aku.

Zung kan tahu juga, aku punya pariban tamatan dari akademi militer. Namboruku, ibunya, sangat senang kepadaku, tetapi aku menolak. Bahkan mami dan papiku tak berani lagi omongin pariban itu. Cukuplah hanya abang seorang pemilik cintaku.

Kala itu, ribut karena paribanmu Sinta. Kkita berdua di teras rumah Mawar. Abang membujukku dan mencium ujung jari tangan serta mencium wajahku meski masih dibanjiri oleh air mata. Masih ingat Zung? Malam itu, aku lari kekamar Mawar, menangis.

Bang, sekarang aku mengaku jujur, itulah malam paling berkesan bagiku diantara sejumlah kesan lainnya selama kita berhubungan. Tetapi malam itu abang kesal, karena aku terus menangis. Abang tidak mampu membedakan tangis kecewa dan sukacita. Bang, sukacita tidak selalu dengan derai tawa, kadangkala diiringi derai airmata, bahagia.

Sepulangmu, aku menciumi sweater yang abang taruhkan diatas punggungku. Saat itu hatiku sangat terguncang karena rasa cemburu. Ya aku maha cemburu. Bang, sepanjang malam sweater itu mebungkus kujur tubuhku, hangat, seakan kedua lenganmu yang kokoh itu memeluk diriku yang baru saja tercabik-cabik rasa cemburu.

Oh..iya..masih ingatkah abang, guru olahraga pak botak si genit itu ketika tangannya menyentuh pahaku?. Terlihatku wajah abang sangat marah. Tetapi abang diam ketika hal yang sama dilakukannya kepada teman kita Siti, lucu iya abang.! Sebenarnya saat itu hatiku sudah mulai berbunga-bunga. Abang juga tahu bukan?. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku":

http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (14)





=====================
“ Mas, Sudah!. Koq omongannya ngelantur.”
“ Iya Rin, begitulah pemulung.!”

=====================
SEMINGGU setelah pindah, aku berkunjung kerumah Rina. Agaknya dia memang sudah menunggu sejak sore. Rina dan adiknya Rima menyambut hangat.
“ Kenapa datangnya malam? Mas sudah makan?" tanya Rina.
“ Belum! Dua hari ini aku nggak selera makan.”
“ Kenapa. Pikirin apa mas!”
“ Ada sesuatu yang hilang sejak aku pindah dari rumah ini.”
“ Kehilangan? Kehilangan apa mas!?”

“ Akupun bingung kehilangan apa? Atau mungkin Rina mungkin mau mencari tahu aku kehilangan apa.?
“ Aneh! Yang khilangan mas, kok aku disuruh mencari tahu. Aku juga nggak tahu mas kehilangan apa.? "
“ Ya ! Aku kadangkala memang aneh. Aku pun tidak tahu apa yang aku tahu.”
” Duh...mas kambuh lagi nih,” ucapnya renyah.
“ Rin merasa kehilangan nggak?”
“ Iya. Aku merasa kehilangan sejak mas pindah dari rumah. Tidak ada lagi temanku ngobrol pagi dan siang. Huh......kadang aku berpikir, kenapa mas mampir dirumah kalau hanya sementara.”
“ Adakah sesuatu yang kamu peroleh dariku sejak tinggal dirumah ini.!?”
“ Ada! Mas bengal tapi mengasyikkan.”
“ Keasyikan apa yang Rin peroleh?”

“ Mas gampang diajak ngobrol dan nyambung meski kadang kala menyebalkan.”
“ Gampang, nyambung dan menyebalkan? Mana diantara ketiganya yang paling kamu suka.”
“ Menyebalkan....!” ketawanya lepas.
“ Rina juga ternyata manusia aneh seperti aku, orang yang menyebalkan.”
“ Lho, aku memang menyebalkan ?”
“ Ya.!"

“ Pernah aku nyebalin mas? Kapan?”
“ Pernah! Ketika kita menghantar Sonya pulang, malam itu, Rina mencurigai kalau aku menaruh hati terhadap Sonya. Kamu berucap: “ Cocoklah pasangan berdua sama-sama pemabuk. Memang, malam itu aku sedikit mabuk, tetapi tokh masih sadar apa yang aku lakukan. Juga tidak berbuat yang aneh-aneh bukan.?”

“ Aku kan hanya bercanda mas.”
“ Itulah salah satu kebengalanmu. Padahal aku telah mencurahkan kepahitan perjalannan kasihku yang masih membelit. Tetapi Rina masih menyisipkan sembilu diantara bulan dan mentahari yang sedang redup melalui candamu, menyakitkan.”
“ Mas...maaf. Sungguh! aku hanya bercanda,” mohonnya
“ Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku sekedar mengingatkan bahwa diantara kita ada persamaan.”

“ Persamaan? Persamaan apa mas?”
“ Sama-sama bengal.”
Rina mencubitku kuat, berujar, “ Untuk itulah mas datang malam ini setelah seminggu menyimpan dalam hatimu? Bengal juga kamu,” ucapnya getir.
“ Iya. selain itu, barangkali ada setitik embun akan menetes dari awan gelap.”
“ Kok mengharap tanggung? Kenapa tidak mengharap curah?”
“ Takut nggak ketampung, meluber!”

Akh..kok aku ikut muter-muter. Mas, kita nonton yuk, filmnya bagus.”
“ Kenapa nggak ke bar saja menikamati live show.”
“ Nah khan bengal lagi. Baru sekali diajak langsung berdalih,” protesnya.
“ Ya..Iya. Ayolah.”
“ Kita naik taksi saja mas, nggak enak jadi sopir terus.”

Sebelum menonton, Rina mengajakku makan malam di warung pelataran terminal bus di Blok M. Rina memberitahukan bahwa tempat itu tongkrongan anak-anak muda. “ Mas jangan kaget, tempatnya dipelataran terminal, tapi makanannya bersih dan enak,” ujarnya.

Agak suprise mendengar uraiannya; dalam hati, selama berteman dengan perempuan belum pernah aku makan dikaki lima atau pelataran terminal. Aku teringat ketika bersama dengan Magdalena dan Mawar, kami selalu rendezvous di restaurant. Dengan Susan? Ah..kelasnya beda.!
***
Rina menikmati alur film sejak awal hingga akhir, sementara mataku mulai redup tak kuasa menahan kantuk. Aku terbangun ketika dia menggeser kepalaku dari jok kursi ke sisi lengannya. Rina membiarkannya hingga pemutaran film usai. Aku tersipu ketika dia mengangkat wajahku, berbisik: “ mas, kita pulang.”
"Filmnya bagus Rin.?" Rina diam. Dia melangkah cepat keluar dari ruangan bioskop.
“ Mas keterlaluan, aku ajak nonton malah tidur. Bilang saja tadi nggak mau nonton,”gerutunya didalam taksi.

“ Itu salah satu kelemahanku, sukar mengatakan tidak, bila sahabat menawarkan sesuatu dengan semangat. Lebih baik aku tunda kemauanku daripada memadamkan semangatnya.
" Coba, kalau tadi kita ke bar, pasti mas nggak bakalan tidur.”
“ Rin, aku trauma kalau nonton film.”
“ Mas norak! Kok nonton film trauma!?”
“ Sejak pacarku , dulu, membuat aturan tak tertulis; “ Selama pemutaran film berlangsung, tangan harus dilipat, wajah lurus kedepan.”
Halah mas, selalu mencari alasan, dasar bengal,” ucapnya tak dapat menahan gelak.

” Mas, tidur disini saja, sudah terlalu larut malam,” ujarnya ketika aku permisi pulang.
“ Nggak apa-apa. Aku biasa jalan malam di hutan jalang.”
“ Tidur dengan adik Lam Hot saja.”
“ Aku tidak tega membangunkannya, sekarang sudah pukul 02:00 dini hari.”
“ Mau tidur dikamarku? Biar aku tidur di kamar adik Rima.”
“ Nggak ah. Takut mimpi jelek. Kecuali tidur bareng,” godaku
Huh..dasar!”

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, April 18, 2009

Telaga Senja (13)





http://www.youtube.com/watch?v=p_Tf2lQvDz0

Meat Loaf - Two Out Of Three Ain’t Bad
Baby we can talk all night/But that aint getting us nowhere/I told you everything I possibly can
Theres nothing left inside of here/And maybe you can cry all night/But thatll never change the way that I feel/The snow is really piling up outside/I wish you wouldnt make me leave here

I poured it on and I poured it out/I tried to show you just how much I care/Im tired of words and Im too hoarse to shout/But youve been cold to me so long/Im crying icicles instead of tears

And all I can do is keep on telling you/I want you/I need you/But — there aint no way Im ever gonna love you/Now dont be sad/cause two out of three aint bad/Now dont be sad/cause two out of three aint bad

Youll never find your gold on a sandy beach/Youll never drill for oil on a city street/I know youre looking for a ruby in a mountain of rocks/But there aint no coupe de ville hiding at the bottom of a cracker jack box

I cant lie/I cant tell you that Im something Im not/No matter how I try/Ill never be able/ To give you something/Something that I just havent got

Theres only one girl that I will ever love/And that was so many years ago/And though I know Ill never get her out of my heart/She never loved me back/Ooh I know/I remember how she left me on a stormy night/She kissed me and got out of our bed/And though I pleaded and I begged her not to walk out that door/She packed her bags and turned right away .....


===============
Aku tidak manusia sempurna, satu saat kelak ada perselisihan dengan om kamu, hubungan persahabantan kita akan terganggu. “
“ Halah itu hanya alasan mas saja.” ujarnya. http://telagasenja-tanzung.blogspot.com/
===============

HARI pertama bekerja, aku segera menghubungi Magdalena, tetapi dia segera menutup telephon setelah mendengar suaraku. Magda tak pernah mau bicara lagi setelah aku bertelephon saat teler berat. Aku juga menelephon Susan. Dia kecewa setelah mengetahui jumlah gaji yang aku sepakati dengan perusahaan.
” Zung, kamu pulang saja, lebih baik kamu jadi asistenku. Aku beri duakali lipat dari yang akan kamu terima,” katanya.
“ Susan, ini hanya sementara saja. Nanti kalau surat-suratku sudah lengkap dan ijazahku telah dilegalisir aku akan bekerja di perusahaan lain. Bossnya sudah janji,” ujarku mengakhiri percakapan kami ditelephon.

***
Dua minggu setelah bekerja, aku putuskan pindah dari rumah Rina. Rima pacar adikku Lam Hot tidak mengijinkan adikku ikut pindah bersamaku.
“ Zung, apa yang kurang sih dengan kami ? Kenapa mas harus pindah?” tanya Rina kecewa.
“ Nggak ada yang kurang. Aku juga menikmati kebaikan serta keramahan seisi rumah ini. Rin,aku sudah terbiasa hidup sendiri sejak aku merantau pada usia lima belas tahun. Rin, nanti setiap akhir pekan berkunjung, jika kamu nggak keberatan.”

“ Benar ? Mas nggak bohong? Tapi mas, boleh aku tahu, apa alasannya harus pindah dari rumah. Karena aku rewel? Rumah kami tidak pantas untuk mas karena kurang mewah?"
“ Neng manis,! Kemewahan itu bukan ukuran kita betah diam didalamnya. Istana dindingnya berlapis emas, bertahtakan berlian sekalipun tidak lebih berharga dari sebuah gubuk bila didalamnya ada kerendahan hati bertahtahkan kebeningan jiwa. ”
“ Mas! Kenapa penilaianmu sejauh itu? Pernahkah aku atau keluargaku berperilaku seperti pemilik istana? Mas! Peran apa yang kurang aku lakukan, sebagai teman, selama mas diam di rumah ini? Jujurlah!”

“ Mulutku telah bertutur jujur. Hanya saja Rina kurang faham makna ucapanku. Rina! Aku tidak menganalogikannya dengan keluargamu. Aku hanya menjawab pertanyaan dan pernyaataanmu seolah-olah aku pindah karena ada kekurangan ditengah keluargamu. Tidak!. Bagiku kebaikanmu dan keluarga melebihi dari apa yang aku harapkan. Rin, seperti aku katakan sebelumnya; Aku telah merantau dan hidup jauh dari orangtuaku sejak berusia15 tahun. Aku lebih dari cukup mengecap asam garam; Tinggal dalam keluarga dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda.”

“ Aku hanya khawatir, mas pindah karena tidak betah akibat pemberlakuan keluargaku.”
“ Tidak! bagiku perilakumu dan keluarga mendekati sempurna. Dan itulah sebabnya adikku Lam Hot betah dirumah ini, bukan!?”
Halah, mas pura-pura nggak tahu. Adik Lam Hot khan pacaran dengan adikku Rima.!”
“ ..dan itukah sebabnya Rina menahanku dirumah ini supaya....”
“ Mas! Aku nggak berpikir sejauh itu, enak saja,”potongnya sebelum aku mengakhiri ucapanku.

“ Rin.! Supaya apa dan sejauh apa? Kenapa Rina menyelahku sebelum aku habis bicara?”
“ Maksud mas, supaya apa?”
“ Menjagai adikku Lam Hot,” jawabku tengil.
“ Untuk apa mas menjagainya? Dia cukup dewasa untuk menjaga dirinya.”
“ Dia dewasa dalam usia, tetapi belum dalam hal asmara. Aku khawatir dia kebablasan, karena sikap seisi rumah ini terlalu memanjakan keduanya.”

“ Kami tak pernah memanjakan Lam Hot. Memang kami senang perangai adikmu.”
“ Adikku Rin? Oh..iya, dia belum menjadi adikmu.”
“ Mas! Kenapa sih sejak kemarin dulu bicaranya seperti seniman.?”
“ Akh..Rin, sungguh! Penilaianmu terlalu jauh. Jangan sampai didengar orang, nanti aku diketawain. Sikapku mungkin seperti orang putus asa. Sudahlah! Sebut saja aku pemulung kata.”
“ Nah..khan!?”

“ Iya, Itu lebih terhormat untukku, sebab aku tak mengerti apa seniman atau entah apalah itu nama yang berkaitan dengannya. Rin, ketika aku dulu di sekolah menengah, kepalaku menjadi sasaran kepalan tangan guru bahasa, karena tak pernah peduli dengan pekerjaan rumah. Apalagi bila guru menugaskan menulis puisi atau mengumpulkan puisi dari koran atau majalah, phuihhh aku muak.”
“ Mas, Sudah!. Koq omongannya ngelantur.”
“ Iya Rin, begitulah pemulung!”

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, April 16, 2009

Telaga Senja (12)


================
“ Rin, boleh aku pinjam mas Tan Zung malam ini? Satu malam saja Rin.!”
“ Iya boleh, tetapi besok harus dikembalikan .!” jawab Rina cekikian.
================
SONYA terpaksa aku pangku masuk kerumahnya. Rina membukakan pintu kamarnya setelah mengambil kunci dari tas Sonya. Aku tertegun melihat ruangan Sonya. Tempat tidurnya tergolong mewah; Gambar-gambar bintang film Hollywood menempel hampir menutupi seluruh didnding ruangannya. Foto dirinya berukuran besar berpakaian minim tergantung persis diatas tempat tidurnya.

“ Heh..mas matanya! Ayo kita keluar sebelum papinya bangun.! ajak Rina ketika mataku menatap foto Sonya.
“ Mas, suka foto atau orangnya!?” usil Rina sedikit bernuansa cemburu.
“ Suka ruangannya.”
“ Bukan orangnya?”
“ Kalau “Ya” kenapa, kalau bukan kemudian apa.?”
“ Nggak , pingin tahu saja mas.”
***
RINA enggan menjawab ketika aku tanyakan, perihal tangisan bayi dari ruangan sebelah ketika menghantarkan Sonya ke kamarnya. “ Orangtua Sonya masih punya baby pada seusia itu? Atau itu cucunya.?”
“Tanya saja sendiri langsung kepada Sonya.”

“ Lho, bukankah kalian sudah lama bersahabat.?”
“ Mas, nggak usah usil.!”

“ Rina, jawabanmu membuatku semakin penasaran. Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi.”
“ Apa sih perlunya suara bayi itu buat mas .?”
“ Kenapa sih Rina begitu susah menjawabnya? Pertanyaanku amat sederhana , bayi itu anak atau cucu orangtua Sonya.!?”
“ Anak Sonya ! Sudah puas!?”
***
KESEHARIAN dirumah bersama Rina mengusik hati dalam sepi; Apalagi akhir-akhir ini Magda selalu marah-marah terhadapku. Bagiku, perangai Rina meski belum lama aku kenal mempunyai nuansa baru dalam takaran nilai.

Suatu malam, adiku bertutur kepadaku, dia ingin menikahi Rima bila dia sudah tammat sarjana muda. Kapan rencana abang menikah.?”
“ Menikah? Menikah dengan siapa.?”
“ Lho, Bukakankah selama ini abang pacaran dengan kak Magdalena.?”

“ Tak jelas. Memang enam bulan lalu aku telah putuskan. Aku mencoba mendekati lagi,tetapi sepertinya langit masih mendung. Kadangkala sinar mentari menyibak awan gelap itu, namun masih menyisakan gumpalan -gumpalan awan. Aku tak tahu hingga kapan aku bertahan, mengharap, bersatunya kembali lempengan cinta yang tercecer. “

“ Jangan salahkan aku, kalau aku menikah dengan Rima mendahului abang.”
“ Nggak. Aku nggak akan menyalahkan siapapun bila Lam Hot menikah mendahuluiku. Aku juga nggak tahu, kalau aku, kelak, tidak akan menikah untuk selamanya.”
***
Sifat Rina bagai seberkas sinar yang aku dambakan, kelak. Tidak jauh berbeda dengan Magda yang aku kukenal hampir enam tahun hingga kini. Tetapi, agaknya aku dalam persimpangan jalan; Rima adiknya adalah calon isteri adikku Lam Hot.

Pada kesempatan lain, dulu, aku pernah mendengar tuturan cerita tabu dari ayahku. Dua perempuan kakak beradik nikah dengan kakak beradik lelaki dengan orang tua yang sama. “ Dua saparihotan” tabu dalam adat batak, ujar ayahku ketika itu.

Pertimbangan lainnya; sesungguhnya aku masih mempunyai hati, melekat, dengan Magdalena. Hanya saja aku masih ragu dan bimbang, apakah dia masih mencintaiku seperti sediakala.
Dipelbagai kesempatan, dia masih menunjukkan kasih sayangnya terhadapaku. Kadang dia marah, cemburu bahkan menangis bila aku “nakal”.

Menghindari gejolak hati yang semakin bergelora , aku harus menghindar dari bara api Rina yang mulai mengendus , hampir menyentuhku.
***
Aku keluar masuk kantor memasukkan lamaran pekerjaan. Dari sejumlah perusahaan yang menerima, tiga diantaranya perusahaan kecil tak mempersoalkan identitas, sementara perusahaan BUMN dan perusahaan asing mengharuskan identitas Jakarta dan fotocopy ijazah di legalisir.

“ Kami tidak membutuhkan sarjana, terserah kalau mau menerima gaji sarjana muda, mulai besok anda mulai bekerja, “ ujar bagian personalia. Aku menerima dengan berat hati karena dihargai setingkat sarjana muda, sambil menunggu pengurusan surat-surat pindah dan legalisir ijazah. Pertimbangan lain aku menerima pekerjaan ini adalah, aku menghindari, diam dirumah keseharian dengan Rina.

Rina kesal setelah mengetahui aku akan bekerja bukan diperusahaan omnya.
“ Kenapa nggak mau kerja di perusahaan om? Om sudah menunggu sejak minggu lalu,” ujarnya.
“ Terimakasiih atas perhatianmu. Rina, aku mau bersahabat denganmu dan keluarga lebih lama. Aku tidak manusia sempurna, satu saat kelak ada perselisihan dengan om kamu, hubungan persahabantan kita akan terganggu. “
“ Halah itu hanya alasan mas saja.” ujarnya. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:

Telaga Senja (11)



Feelings - Morris Albert
Feelings, nothing more than feelings, /trying to forget my feelings of love. /Teardrops rolling down on my face, /trying to forget my feelings of love.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feel you again in my arms.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my heart.
Feelings, for all my life I’ll feel it. /I wish I’ve never met you, girl; you’ll never come again.

Feelings, feelings like I’ve never lost you /and feelings like I’ve never have you again in my life.
Feelings, wo-o-o feelings, /wo-o-o, feelings again in my arms. /Feelings...(repeat & fade)
======
MESKI aku baru seminggu tinggal di rumah kost adikku, persahabatanku dengan Rina serasa telah berkenalan lama, apalagi setelah aku dan dia curhat di coffe shop kemarin malam. Rina tak sungkan lagi berbicara bahkan mengenyek bila bahasa Medanku keluar.

Seharian hanya aku dan Rina tinggal dirumah. Rima adiknya kuliah, adikku Lamhot dan papinya Rina kerja, sementara maminya menjaga toko di pasar Senen. Aku mulia merasakan ada getaran lain setiap Rina berbicara kepadaku. Sorot matanya sering membuatku kikuk. Aku tidak tahu persis apakah itu hanya perasaanku semata, atau memang karena ketulusannya membuat keseimbanganku hampir limbung.

Kelembutan suaranya setiap pagi memanggil namaku dari balik pintu kamar, melebihi kelembutan suara Magdalena.. Kadang aku sengaja tidak keluar dari kamar meski aku sudah bangun, hanya ingin mendengar suaranya memanggilku seperti biasanya: “ Mas ...mas Tan Zung , bangun , kesiangan rezeki di pagut burung, bangun mas...!”

Setiap pagi, Rina tak pernah mendahuluiku serapan pagi, dia selalu menungguku bangun dari peraduan. Belakangan, Rina juga sudah menungguiku makan siang bersama ketika aku keluar dari rumah. Akupun demikian, jenis makanan apapun di warung tak mampu mengundang selera. Segera aku pulang kerumah, mengharap, Rina masih menungguiku untuk makan siang.

“ Bang, kita makan iya, aku sdudah lapar. Atau mas mau mandi dulu,?” tanyanya dengan aksen Medan.
“ Aku masih kenyang, makanlah kamu duluan,” jawabku.
" Makan dimana mas? Wong baru bangun ."
" Iya Rin. Aku nggak selera makan. Duluanlah aku temanin."
" Aku nggak mau jadi tontonan gratis," guyonnya.
“ Mas tersinggung iya, aku hanya bercanda, payah kalipun anak Medan ini,”ujarnya masih dengan aksen Medan.
***
Rina menarik tanganku ketika mau keluar rumah. “ Mas mau kemana lagi, tunggu adik Lamhot pulang.”
“ Aku hanya kedepan mau beli obat, kepala ku pening,” dalihku.
“ Kemarin mas keluar pagi, bilang sebentar, tetapi pulangnya malam.”
“ Rina aku bosan dirumah. Aku mau mutar-mutar sekalian ingin tahu rute bis. Rina mau temaniku?”
“ Nggak ah, pengap, pusing mencium bau rokok. Nanti bila papi pulang, aku ajak mas jalan.”

“ Rina, mau nggak kamu aku ajak ke bar nanti malam.?”
“ Nggak ah, pergi dengan Sonya saja, dia kerja disana,” jawabnya.
“ Nanti teler lagi. Aku hanya ingin menikmati hiburannya saja.
“ Janji mas, nggak mabuk dan nggak main judi? Sampai pukul berapa kita disana? Biar papi dan mami tahu.”
“ Tenga malam.”
***
Di bar, sesekali Sonya ikut duduk bersamaku dan Rina, akrab dan menyenangkan meski hatiku sedikit terganggu karena keduanya sering meniru aksen Medan yang masih sukar kutinggalkan.

“ Kali pertama aku melihat orang Medan teler berat, sampai nggak mengenal waktu gangguin pacar, melalui telephon lagi, ” ujarnya disambut gelak Rina.
Rina menolak ketika aku mengajak berdansa. ” Nggak biasa mas,” ujarnya.
Sonya menarik tanganku dan Rina, “ Ayo kita bertiga,” ajaknya.

Rina kembali ketempat duduk meninggalkan aku dan Sonya berdansa berdua.
“ Aku capek mas,” ujar Rina.
Sonya terus mendekapku erat mengikuti irama lembut, meski aku telah ingatkan, bahwa dia sedang bekerja.
“ Malam ini aku off,” bisiknya ke telingaku. “Itu sebabnya aku minum,” lanjutnya.
“ Aku segera melepaskan pelukannya, ketika melihat seorang berusia setengah baya, perut buncit, duduk dekat Rina.”

“ Rina, bukan anak ingusan, dia tahu apa yang akan dilakukanya,” cegah Sonya.
“ Sonya, kasihan Rina. Dia seperti ketakutan.”
“ Mas...eh..bang! Satu lagu lagi .”
“ Sonya, kamu kebanyakan minum.”
“ Banyakan mana dengan abang, hahh? Peluk aku...bang,” ujarnya seraya meletakkan kepalanya diatas bahuku.

Mataku terus menatap ke meja Rina, meski wajah Sonya masih menempel diatas bahu. Pria paruh baya itu terus mengajak Rina berdansa. Aku segera meninggalkan Sonya ketika pria buncit itu menarik paksa tangan Rina. Hampir saja bogem mentah mendarat diulu hatinya, kalau bukan Sonya menepis tanganku yang sedang terayun.

“ Maaf mas.!’ujarnya, dia beringsut menjauh dari Rina.
“ Kita pulang mas, aku takut, ” ajak Rina.
Sonya membujuk Rina agar bersabar sebentar. “ Nggak usah takut Rin, disini aman, bila perlu aku panggilkan security. Kita pulang bareng saja.” ujarnya seraya menuangkan minuman kegelasku.
“ Mas, cukup.! Tadi janji nggak mau minum banyak,” cegah Rina.
Rina mengajakku pulang ketika melihat Sonya terus menambah minumanku, sementara Sonya sudah mulai kehilangan kontrol; Sonya mulai mengoceh dan menyebut-nyebut namaku, dia merebahkan kepalanya diatas dadaku.

“ Bang, bawalah aku pergi...terbang jauh melintasi awan,” suaranya lirih.
“ Sonya, kita pulang yuk,”ajakku lantas menuntunnya keluar dari ninght club.
“ Bang, kita mau kemana?”
“ Pulang!” jawab Rina.
“ Rin, boleh aku pinjam mas Tan Zung malam ini? Satu malam saja Rin.!”
“ Iya boleh, tetapi besok harus dikembalikan!” jawab Rina cekikian. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/