Monday, April 20, 2009

Telaga Senja (14)





=====================
“ Mas, Sudah!. Koq omongannya ngelantur.”
“ Iya Rin, begitulah pemulung.!”

=====================
SEMINGGU setelah pindah, aku berkunjung kerumah Rina. Agaknya dia memang sudah menunggu sejak sore. Rina dan adiknya Rima menyambut hangat.
“ Kenapa datangnya malam? Mas sudah makan?" tanya Rina.
“ Belum! Dua hari ini aku nggak selera makan.”
“ Kenapa. Pikirin apa mas!”
“ Ada sesuatu yang hilang sejak aku pindah dari rumah ini.”
“ Kehilangan? Kehilangan apa mas!?”

“ Akupun bingung kehilangan apa? Atau mungkin Rina mungkin mau mencari tahu aku kehilangan apa.?
“ Aneh! Yang khilangan mas, kok aku disuruh mencari tahu. Aku juga nggak tahu mas kehilangan apa.? "
“ Ya ! Aku kadangkala memang aneh. Aku pun tidak tahu apa yang aku tahu.”
” Duh...mas kambuh lagi nih,” ucapnya renyah.
“ Rin merasa kehilangan nggak?”
“ Iya. Aku merasa kehilangan sejak mas pindah dari rumah. Tidak ada lagi temanku ngobrol pagi dan siang. Huh......kadang aku berpikir, kenapa mas mampir dirumah kalau hanya sementara.”
“ Adakah sesuatu yang kamu peroleh dariku sejak tinggal dirumah ini.!?”
“ Ada! Mas bengal tapi mengasyikkan.”
“ Keasyikan apa yang Rin peroleh?”

“ Mas gampang diajak ngobrol dan nyambung meski kadang kala menyebalkan.”
“ Gampang, nyambung dan menyebalkan? Mana diantara ketiganya yang paling kamu suka.”
“ Menyebalkan....!” ketawanya lepas.
“ Rina juga ternyata manusia aneh seperti aku, orang yang menyebalkan.”
“ Lho, aku memang menyebalkan ?”
“ Ya.!"

“ Pernah aku nyebalin mas? Kapan?”
“ Pernah! Ketika kita menghantar Sonya pulang, malam itu, Rina mencurigai kalau aku menaruh hati terhadap Sonya. Kamu berucap: “ Cocoklah pasangan berdua sama-sama pemabuk. Memang, malam itu aku sedikit mabuk, tetapi tokh masih sadar apa yang aku lakukan. Juga tidak berbuat yang aneh-aneh bukan.?”

“ Aku kan hanya bercanda mas.”
“ Itulah salah satu kebengalanmu. Padahal aku telah mencurahkan kepahitan perjalannan kasihku yang masih membelit. Tetapi Rina masih menyisipkan sembilu diantara bulan dan mentahari yang sedang redup melalui candamu, menyakitkan.”
“ Mas...maaf. Sungguh! aku hanya bercanda,” mohonnya
“ Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku sekedar mengingatkan bahwa diantara kita ada persamaan.”

“ Persamaan? Persamaan apa mas?”
“ Sama-sama bengal.”
Rina mencubitku kuat, berujar, “ Untuk itulah mas datang malam ini setelah seminggu menyimpan dalam hatimu? Bengal juga kamu,” ucapnya getir.
“ Iya. selain itu, barangkali ada setitik embun akan menetes dari awan gelap.”
“ Kok mengharap tanggung? Kenapa tidak mengharap curah?”
“ Takut nggak ketampung, meluber!”

Akh..kok aku ikut muter-muter. Mas, kita nonton yuk, filmnya bagus.”
“ Kenapa nggak ke bar saja menikamati live show.”
“ Nah khan bengal lagi. Baru sekali diajak langsung berdalih,” protesnya.
“ Ya..Iya. Ayolah.”
“ Kita naik taksi saja mas, nggak enak jadi sopir terus.”

Sebelum menonton, Rina mengajakku makan malam di warung pelataran terminal bus di Blok M. Rina memberitahukan bahwa tempat itu tongkrongan anak-anak muda. “ Mas jangan kaget, tempatnya dipelataran terminal, tapi makanannya bersih dan enak,” ujarnya.

Agak suprise mendengar uraiannya; dalam hati, selama berteman dengan perempuan belum pernah aku makan dikaki lima atau pelataran terminal. Aku teringat ketika bersama dengan Magdalena dan Mawar, kami selalu rendezvous di restaurant. Dengan Susan? Ah..kelasnya beda.!
***
Rina menikmati alur film sejak awal hingga akhir, sementara mataku mulai redup tak kuasa menahan kantuk. Aku terbangun ketika dia menggeser kepalaku dari jok kursi ke sisi lengannya. Rina membiarkannya hingga pemutaran film usai. Aku tersipu ketika dia mengangkat wajahku, berbisik: “ mas, kita pulang.”
"Filmnya bagus Rin.?" Rina diam. Dia melangkah cepat keluar dari ruangan bioskop.
“ Mas keterlaluan, aku ajak nonton malah tidur. Bilang saja tadi nggak mau nonton,”gerutunya didalam taksi.

“ Itu salah satu kelemahanku, sukar mengatakan tidak, bila sahabat menawarkan sesuatu dengan semangat. Lebih baik aku tunda kemauanku daripada memadamkan semangatnya.
" Coba, kalau tadi kita ke bar, pasti mas nggak bakalan tidur.”
“ Rin, aku trauma kalau nonton film.”
“ Mas norak! Kok nonton film trauma!?”
“ Sejak pacarku , dulu, membuat aturan tak tertulis; “ Selama pemutaran film berlangsung, tangan harus dilipat, wajah lurus kedepan.”
Halah mas, selalu mencari alasan, dasar bengal,” ucapnya tak dapat menahan gelak.

” Mas, tidur disini saja, sudah terlalu larut malam,” ujarnya ketika aku permisi pulang.
“ Nggak apa-apa. Aku biasa jalan malam di hutan jalang.”
“ Tidur dengan adik Lam Hot saja.”
“ Aku tidak tega membangunkannya, sekarang sudah pukul 02:00 dini hari.”
“ Mau tidur dikamarku? Biar aku tidur di kamar adik Rima.”
“ Nggak ah. Takut mimpi jelek. Kecuali tidur bareng,” godaku
Huh..dasar!”

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment