Saturday, April 4, 2009

Telaga Senja (4)

Aku kembali kekamar hotel dan menghubungi Ria lewat nomor telephon yang aku peroleh darinya. “ Bapak salah sambung, tidak ada yang bernama Ria disini,” jawab seorang perempuan yang mengaku pembantu. Aku berusaha meyakinkan pembantunya, kalau aku tidak salah nomor. “ Baru saja kami ketemu di Ancol.”

“Pak, tadi ibu dari salon di Kebayoran bukan dari Ancol,” jawabnya sambil menutupkan telephon. Penasaran, aku kembali memutar telephon yang sama.
“ Pak nggak ada yang bernama Ria, yang ada ibu Maria dan belum punya suami.” jawabnya dengan ketus.
“ Oh..iya aku lupa, namanya Maria kok. Tolong panggilkan dia.”
“ Aku tidak berani pak, ibu sedang tidur.”

Aku akhirnya pasrah, uang setan dimakan jin, pkirku. Atas nama putus asa, aku memainkan sisa uang yang kumiliki dan menaruh ke meja rolet dengan angka “colok”; sengaja kupilih tanggal kelahiran sahabatku Magdalena. Dalam hati berjanji kalau taruhan ini beruntung, aku segera pulang. Aku hampir berteriak nomor yang kupasang tepat, aku memperoleh 36 kali jumlah pasangan. Kembali hati berbunga-bunga, aku pasang lagi dengan nomor sesuai tanggal kelahiran Susan mantan dosen sekaligus pacarku. Lagi, aku memperoleh pembayaran 36 kali lipat. Janji yang barus saja diikrakran dalam hati, pulang jika menang dengan pemasangan tanggal kelahiran Magda, tak digubris.

Aku kembali kemeja bacarat dengan rasa percaya diri. Tak terasa hari mulai malam, aku mulai jenuh. Aku mengakhiri permainan dengan membawa uang hasil kemenangan; “ dewi keberuntungan masih memihakku hari ini, “ gumamku. Ketika hendak melangkah ke kamar hotel, aku melihat orang lalu lalang ketingkat atas diluar gedung casino. Aku memasuki ruangan remang-remang dengan musik hingar bingar. Halah...ini lagi, pikirku, sepertinya malam ini aku akan kembali ke habitat lama, minum, merenung dan mabuk. Aku duduk dipojok menyendiri, sengaja memesan sebotol bir takut minum beralkohol tinggi dan keterusan.

Niat kembali kekamar batal setelah melihat penyanyi trio batak dan group lawak yang namanya sedang menanjak mengisi acara. Sambil menikmati senandung trio yang sangat populer kala itu, minumanpun meningkat ke tingkat beralkohol tinggi, 40%. Dalam keremangan ruangan, seorang perempuan menemui dan duduk disampingku. Dia memperkenalkan namanya, Sonya. Setelah duduk dan berbicara sebentar, dia menyodorkan tangannya mengajakku berdansa. Aku menolak, “ aku nggak bisa, “ ujarku berdalih.
“ Aku ajarin mas,” ajaknya.

Dengan mata mulai berkunang-kunang aku mengikuti ajakannya, sementara pengaruh alkohol sudah menggeliat, merasuk pada jaringan syaraf. Aku hanya mengikuti langkah Sonya tanpa gerakan yang aneh-aneh seperti yang aku lakukan dengan Susan di discotik Medan. Pikiran jalang jauh ingat dosen sekaligus pacarku Susan, ketika tangannya bergelayut manja melingkari leherku.

‘Mas bohong, tadi bilang nggak bisa, malah mas lebih pintar dari aku,” ujarnya memuji. Dalam hatiku, ini pujian sekaligus perangkap. Aku mengajak dia kembali duduk tanpa memperdulikan pujiannya.
“ Bang marga apa,?” tanyanya setelah aku menyebut namaku.
“ Memang setiap manusia harus punya marga ? Adam manusia pertama nggak punya marga. Heh..darimana kamu tahu aku orang Medan.?”

“ Dari aksen abang. Tadi abang bilang: “Bah..peluklah aku pula”. ujarnya diiringi ketawa.
“Memang kalau orang Medan kenapa rupanya? Angek kau?” kataku agak kesal pengaruh kepala terasa mau pecah.
“ Bang, jangan panggil kau kepada perempuan, itu kurang sopan.! Apa sih artinya angek?” tanyanya masih diiringi tawa.
“ Sonya, simpan kaulah sopan kau itu, kurang “m” saja dipersoalkan.”
“ Abang diiingatkan malah marah? Ihh..ketahuan banget orang Medan!” ujarnya sambil beranjak dari kursinya.(Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:

Telaga Senja (3)

or batak andung
(music?: right click on mouse then click open in new window)

On a warm summers evening, /on a train bound for nowhere /I met up with a gambler, we were both too tired to sleep /So we took turns at staring /out the window at the darkness /The boredom overtook us and he began to speak

He said, son I’ve made a life out of reading people’s faces /And knowing what the cards were, by the way they held their eyes /So if you don’t mind my sayin’, /I can see you’re out of aces /For a taste of your whiskey, /I’ll give you some advice
..........
Chorus:
You got to know when to hold ‘em, /know when to fold ‘em /Know when to walk away and know when to run /You never count your money, /when you’re sittin’ at the table /There’ll be time enough for countin’, /when the dealin’s done

Every gambler knows that the secret to survive is /Knowing what to throw away and knowing what to keep /‘Cos every hand’s a winner and every hand’s a loser /And the best that you can hope for is that I end asleep

And when he finished speakin’, /he turned back for the window /Crushed out the cigarette, faded off to sleep /And somewhere in the darkness, /the gambler he broke even /But in his final words I found an ace that I could keep
chorus repeats 3x
***
Aku dan Ria kembali ke Casino. Ria duduk disebelahku; tangannya mencolek pahaku bila memasang taruhan terlalu besar kecuali dia feelingnya bagus. Setelah chips bertumpuk dimejaku, Ria mengajak ku pulang. " Bang ayo kita pulang,” ajaknya sambil menggaet tanganku dari meja judi. Ria membantu mengumpulkan kemenanganku dan membawa ke loket kasir.

“ Ria, apa kamu nggak takut kalau dilihat suamimu menggandeng tanganku seperti sedang pacaran.?”
“ Aku sengaja agar bandarnya tidak marah. Bisa-bisa seumur hidup aku nggak bisa masuk lagi ke Casino ini. Mereka paling benci kalau melihat orang sedang menang, kemudian ada orang lain mengajak pulang, kecuali pacar, isteri atau anaknya.”
“Oh jadi Ria menganggapku pacar.?” guyonku.
“ Bang, mau pulang nggak,?” tanyanya tanpa menjawab guyonanku.
“ Pulang duluanlah, aku mau menginap. Aku punya kamar gratis dari casino,” ujarku.

“ Bang, jangan terlena. Itu sengaja mereka berikan agar terikat disini dan uang kemenangan judi itu panas, percayalah. Lebih baik abang pulang aku antar.”
“ Bagaimana kalau uang kemenanganku kutitipkan kepada Ria.”
“ Abang bego!. tadi aku sudah ingatkan, jangan percaya kepada siapapun di casino ini; semua pembohong dan penipu.”
“ Kamu juga.?”
“ Iya. Setidaknya aku membohongi dan menipu diriku sendiri,” jawabnya.
Dia menggandeng tanganku menelusuri casino hingga keparkiran mobil.

“ Kok maksa seperti ini, kita mau kemana, kerumahmu,?” tanyaku sambil memasuki mobilnya. Ria diam tak mau menjawab, dia hanya memandangi wajahku. Aku mengulangi pertanyaanku, tetap Ria tak menjawab. Tak berapa lama dia memarkirkan mobilnya didepan sebuah bank swasta. Ria kembali menggandeng tanganku, mengajak masuk kedalam bank. Sementara kami mengantri, aku bertanya : “ Mengapa aku ikut antrian.?”

Ria hanya tersenyum tanpa menjawab. Aku mengulang pertanyaanku dengan rasa jengkel. "Aku mau mendeposito kemenanganku.”
“Kenapa aku harus ikut antri.?”
“ Uang abang juga harus dideposito. Tadi abang kan mau titip.! ?”

Setelah mendeposit hasil kemenangannya, Ria meminta uang kemenanganku.
“ Abang buka rekening sendiri,”ujarnya.
“Aku belum punya identitas Jakarta.”
“ Aku yang beri jaminan kepada bank."

Atas jaminan Ria, cheque cash kemenangan dan sebagian uang pemberian Susan dideposit atas namaku sendiri. <>"Sekarang terserah abang, mau kuantar pulang atau kamu balik sendiri ke casino, tapi buku rekeningmu aku pegang,” ujarnya.

Aku memilih kembali ke casino tanpa buku dan deposito Ria. Tiba dihotel hatiku mulai gelisah mengingat uang yang baru saja dideposit. Kenapa aku percaya begitu saja memberi buku depositoku kepada Ria yang aku kenal di casino, tempat jahanam?. Padahal dia sendiri telah mengingatkan; tidak seorangpun dapat dipercaya di meja judi tidak terkecuali dengan perempuan.

Kenapa aku begitu sembrono mempercayanya?. Dikamar hotel, aku merebahkan tubuhku dengan pertanyaan tak kunjung terjawab: “ Kenapa aku gampang ditipu makhluk perempuan itu.?” Dalam kegelisahan, aku kembali ke casino. Sisa uang aku mainkan tanpa kontrol Ria. Dalam waktu singkat, uang hampir ludes. Aku ingat pesan Ria,”jangan emosi“. Aku beringsut dari meja judi ; Aku melangkah seperti orang putus asa karena uang tersisa tinggal sedikit.

Aku menaiki tangga menuju lantai kedua, ingin tahu jenis permainannya. Sejumlah pemain teriak -teriak sembari mengacungkan tangannya; "gim!..gim!"seru mereka saling mendahului. Seseorang menjelaskanku bagaimana cara mainnya. Akh....ternyata cocok untuk orang yang mempunyai modal terbatas. Keno (sejenis kim tapi tanpa musik dan syair); menurutku itu jenis judi haya bagi orang-orang iseng. Aku kembali bermain bacarat, uang naik turun hingga tinggal ongkos taksi pulang.(Bersambung)

Los Angeles. April 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku "Pacarku ": http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (2)

That’s The Way It Is

I can read your mind and I know your story /I see what you’re going through /It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry /But I know it will come to you
Don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is

When you question me for a simple answer /I don’t know what to say, no /But it’s plain to see, if you stick together /You’re gonna find a way, yeah

So don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is ............


DALAM keputusasaan setelah tidak menemukan Rina, Lam Hot dan Rima, mataku tertarik dengan satu gedung bersebelahan dengan Hotel berbintang. Seorang satpam menghentikan langkahku ketika mau massuk ke dalam gedung yang ternyata tempat perjudian, casino; Tetapi Satpam mengijinkan aku masuk setelah menunjukkan jumlah uang yang aku bawa, juga uang yang dititipkan Susan sebelum berangkat aku bawa dan masih utuh.

Dari sejumlah permainan, hanya satu jenis permaian yang cepat dapat dimengerti, rolet; berbeda dengan jenis permainan black jack yang membutuhkan keterampilan. Beberapa saat aku melihat dan mempelajari bagaimana cara bermain. Selain membunuh rasa jemu, aku mulai tertarik dengan jenis permainan bacarat, agak mudah, tak membutuhkan keterampilan seperti permainan black jack.

Tadinya bermain iseng, akhirnya menjadi serius. Uang titipan Susan hampir ludes, cucuran keringat membasahi tubuh meski ruangan ber ac. Aku mengumpat pada diriku sendiri seraya bergegas meninggalkan casino, rumah jahanam itu.
Sebelum meninggalkan ruangan casino, seorang pelayan menyerahkan satu lembar voucher; lunch & dinner dan satu kamar untuk satu malam di hotel yang bersebelahan dengan casino.
***
AKU bingung bagaimana menemukan Rina dan adikku di tempat baru pertama aku kenal. Aku putuskan masuk kamar dengan perasaan kesal karena kekalahan di meja judi. Pikiran terus berkecamuk atas kekalahan . Aku semakin penasaran.

Sejumlah John Toel ( sebutan untuk orang yang mengharapkan pemberian dikala penjudi menang, pen) dan seorang perempuan mengingatkan: ” Bang mainnya jangan emosi. Meski membawa uang satu kapal akan ludes kalau tidak kontrol diri.”

“ Ito, ( mas, pen) buat target menang atau kalah,”ujar seorang perempuan muda menimpali.
“ Heh...dari mana kamu tahu aku orang batak,?” tanyaku penasaran .
“ Dari gaya bicara abang. Kalau kartu abang jelek selalu mengoceh kimbek; itu khas batak Medan,”ujarnya renyah. “ Ikutin caraku main, selain kontrol diri, harus punya feeling,” lanjutnya.
Aku mengikuti pola permainannya dan menahan diri; dalam satu jam uang kekalahanku telah kembali .

“ Bang aku mau pulang, mainnya hati-hati jangan emosian,” ujarnya mengingatkan. Dia beranjak dari kursinya.
“ Tunggu dulu, aku panggil kakak atau ibu.”
“ Panggil saja Ria,” jawabnya
“ Margamu apa, jangan-jangan kamu ito atau paribanku.”
Ria balik bertanya, “ kamu marga apa,?”
Setelah menyebut margaku, Ria tertawa, berujar: ” Marga kita tak sama dan tidak kena mengena,panggil saja nama,” balasnya tersenyum.

“Ria mau pulang?”
“ Iya, kenapa? Tadi aku sudah katakan, kalau mau main harus punya target menang atau kalah; cukup sudah tagetku hari ini.”

“ Sebelum pulang, bagamana kalau kita minum di coffe shop? Aku punya voucher, mau.?”
Ria mengangguk tanda setuju. Sebelum kami menuju coffe shop, Ria mengajakku menukarkan chip ( pengganti uang taruhan, pen) ke kasir.

“ Tukarkan uangnya dengan cheque cash, jangan dengan lembaran uang,” usulnya.
Aku dan Ria cepat akrab, karena setiap pembicaraan kami tentang Medan saling nyambung, mulai dari cerita sekolah dan tempat rendezvous anak-anak muda.
Diselah pembicaraan, Ria mengingatkan agar menghentikan judi sebelum ketagihan: “Jangan seperti aku, tiada hari tanpa judi. Hati-hati dengan dengan perempuan-perempuan cantik disekitar casino dan hotel ini; jangan percaya dengan mereka.”

“ Bagaiamana aku tahu kalau mereka perempuan nakal.?
“ Mereka akan merasa dekat dengan abang kalau menang, tetapi kalau abang kehabisan duit mereka semua akan menjauh.”

“ Kalau boleh tahu, kenapa Ria terjebak di meja judi? Apa suamimu yang marah?”
“ Heh..! Bagaimana abang tahu aku punya suami? Ah...abang sok tahu.!” ujarnya sambil beranjak dari kursi.
“ Maaf, tunggu jangan pulang dulu, aku nggak tahu jalan pulang.?
Ria menatapku keheranan. “ Segede ini nggak tahu pulang? Abang mau pulang, iya ke airport! mau diantar,?” tanyanya ngenyek.
“ Ria, aku nggak tahu pulang kerumah, sungguh. Kali pertama aku berkunjung kesini. Alamat rumah ketinggalan di dalam tasku. Sejak pagi aku kehilangan jejak adik dan temanku Rina. Itu sebabnya aku main judi.”
“ Kamu naik taksi saja.”
“Iyalah aku tahu, tapi aku takut diperdaya sopir taksi dengan argo kuda.”

“ Mau mu aku antarin.!”
“ Kalau nggak keberatan, tetapi aku mau main sebentar.!”
“ Sampai pukul berapa.?”

“ Takut kepada suami.?”
“ Sialan.! Darimana sih kamu tahu aku punya suami.?”
“ Dari cara pakaianmu.!”

“ Apa bedanya pakaian yang punya suami dengan yang belum.?”
“Ah, rahasiakulah itu.”
“ Aku menduga, abang pernah pacaran dengan ibu-ibu.”
Ah, kamu sok tahu. Bagaimana kamu punya kesimpulan seperti itu.?”
“ Ah, rahasiakulah itu,” ujarnya meniru ucapanku . (Berambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku "Pacarku ": http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (1)

Dalam keheingan malam
duduk terpaku terpasung rindu
rindu berlari engah dibelantara kelam
bagai kijang rindu telaga biru

Bayang-bayang sepi menghantui kalbu
hening, membelengu rindu
angan menata bayang
pada rentang waktu

Sahabat menahan rindu
sendu
tak tahu jarak waktu
memuas rindu

SEHARIAN langkahku berat menapak waktu, menembus sunyi, galau, meski aku ditengah crowdednya kehidupan megapolitan. Terik sinar mentari tak mampu mencairkan rindu dendamku. Angin semilir malam itupun tak pernah menjawab ketika aku bertanya; berapa lama rindu mendera sukmaku. Bayang wajah senyum, airmata dan amarah Magdalena tak pernuh beringsut dari sudut-sudut hati; disudut itu kenangan bertumbuh subur seiring perjalanan waktu.

Dalam mimipi, aku berjalan tertatih lesu di hamparan pasir putih panas menyengat selepas terhempas oleh gulungan ombak samudra luas. Dalam mata rabun berkunang, pucuk kelopak bunga luruh diatas tangkai hampir menyentuh pasir. Dahaga yang membuat kerongkongan kering kerontang diriku tak mampu menggapai kelopak yang luruh sebelum waktunya.
Hei...bangun...bangun. Abang ngingau sepanjang malam,” entak adikku Lam Hot. “ Daripada abang terus tersiksa rindu, lebih baik kembali ke Medan. Atau kenapa nggak menikah saja?” tambahnya.

Halahlah.. kamu juga cengeng ketika pulang kampung. Banyak kecetmu. Kamu berjam-jam dikantor wedana ( kecamatan,pen) telefon Rima, padahal baru berpisah dua hari,” balasku. Kami terbahak dipagi mengenaskan itu. Ketukan pintu kamar bertalu-talu: “ Hei mas-mas buruan sudah pukul delapan; kok ketawanya seperti dapat pacar baru,” teriak Rina kakak Rima pacar adikku dari balik pintu kamar.

“ Mas, siap-siap kita mau berangkat. Mau mandi dulu atau aku buatkan kopi,” tanya Rina ketika aku membuka pintu.
“ Ya, biarkan Lam Hot yang duluan mandi,” ujarku sambil melangkah keruangan tamu. Pikiran masih terganggu dengan makna mimpi malam. Aku melorotkan tubuhku diatas sofa.
“ Mas, jangan bengong seperti itu,” suara Rina mengagetkan, ketika melihat wajahku menatap kedepan ,hampa.
“ Oh...nggak. Aku nggak bengong.”

Rina menangkap gagap mulutku. “ Mas rindu dengan seseorang.?”
“ Oh..iya..bukan. Aku ingat orangtuaku."
“Bukan pacar mas.?”
“Iya juga.”
“Baru seminggu terasa sewindu iya kak,” sela Rima pacar adikku. Hmm..bening matanya mengingatkan temanku Ira, pramuria diskotik yang pernah mampir sejenak dalam pikiranku.

***
AKU, Lamhot, Rina dan Rima adiknya duduk melingkar disi meja menikmati serapan pagi sebelum berangkat menuju taman hiburan Ancol.
“ Mas, duduk disini,” ajaknya seraya menarik tanganku duduk disisinya, sementara Rima duduk dipangkuan adikku Lam Hot.
“ Rina mau aku pangku. Gantian, adikku pangku adikmu,” godaku.
Hush! mas berani-beraninya. Ntar pacarmu marah.”
Hih...kakak Tan Zung berani malu,” sambut Rima adiknya.

“ Siapa nama pacarnya mas?”
“ Banyak! Mau yang mana Pacar berlangsung dua minggu, lima bulan, setahun atau yang lima tahun?”
Busyet! Kakak punya pacar berapa?” sergah Rima.

“ Banyak! Dari usia remaja hingga ibu-ibu.”
“ Mas! Aku tanya serius,” seru Rina.
“Aku juga jawab serius.”
Huh! payah orang Medan.”
“ Aku bukan orang Medan. Aku orang Batak-Aceh.”
" Aku baru tahu ada suku Batak Aceh."ujarnya seraya menyedok nasi dan lauk kepiringku.
***
“ Mas, mau dicariin kerja ? Kalau mau, Senin depan aku temani mas melamar pekerjaan ke tempat pakle; kebetulan mereka butuh jurusan akuntansi,” ujar Rina dalam perjalanan menuju taman Ancol.
‘Terimakasih Rin. Aku akan mencoba mencari sendiri.” Dalam hatiku tidak begitu tertarik bekerja dalam perusahaan yang ada kaitannya dengan keluarga.Rina mencegahku ketika mau membayar uang taksi.
“ Biar aku yang bayar, mas kan belum bekerja.”
“ Rina juga belum."
“ Sudah! Aku kerja habisin uang papaku,” jawabnya centil disambut ketawa adikku Lam Hot dan Rima.

Adiku Lam Hot dan Rima segera memisahkan diri meninggalkan aku dan Rina disebuah art galery. Masuk ke ruangan ini bagiku seperti memasuki dunia fantasi. Aku terlalu asyik menikmati sentuhan warna pada kanvas hingga terlupa kalau aku bersama dengan Rina; aku merasa berpergian dengan Magdalena.
“Mas, belum puas? Disana masih banyak lukisan,” ujarnya mengganggu kenimkmatanku mengurai makna lukisan abstrak yang digelar didinding.
“ Ya...iya sebentar, “ ujarku tanpa menoleh.

Aku bergerak dari satu lukisan kelukisan lain tanpa menyadari, aku mengabaikan Rina yang terus mengikutiku. Agaknya dia kurang tertarik dengan jenis lukisan abstrak. Berulangkali aku berceloteh tentang makna garis lurus dan lekuk diatas kanvas, namun dia tanpa respons. Hampir saja dia kuhardik, ughh....dia Rina bukan Magdalena sahabat lamaku. Rina meninggalkanku sendirian. Aku memang terlalu egois hanya ingin memuaskan diri sendiri. Bebeberapa saat aku mencarinya tapi tak ketemu, juga adikku. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku "Pacarku ": http://tanzung.blogspot.com/