Tuesday, June 16, 2009

Telaga Senja (56)





http://www.youtube.com/watch?v=6N4-FFJAel8

================
“ Pergi bareng? Kok abang seperti orang gugup. Adik Lam Hot pergi dengan Rima besok, bukan? Abang kapan.?”
“ Besok lusa. Kebetulan tiket kereta yang sama dengan Lam Hot telah habis.”
“ Oh...begitu. Sudahan dulu iya bang, aku mau tidur. Malam baik .!

SELAMA kepindahanku ke Jakarta, Magda belum pernah bersikap sedingin itu, apalagi menyudahi percakapan melalui telepon secara sepihak. Sepertinya dia “nothing to lose”. Seandainya Magda sudah tekad tidak mau lagi melanjutkan persahabatan kami, agaknya akupun telah siap untuk itu. Tetapi apakah aku harus pasrah dihempas badai prasangka.?

Meski Laura sudah dalam”gemgaman”, sesuai dengan sikap yang diperlihatkan belakangan ini, namun dia belum berhasil sepenuhnya menebar bibit cinta sesempurna Magda. Aku akui Laura sangat santun, rendah hati dan tidak banyak maunya, tetapi belum terpikir untuk menjadi teman hidup. Ada pertimbangan kenapa aku tidak terlalu mengharap bahwa persahabatan kami akan berlanjut ketingkat pernikahan; dia amat religius dan sangat memegang teguh iman kepercayaannya.

Dalam tuturan awal persahabatan kami, dia telah ungkapkan secara langsung keteguhannya menyangkut iman bahkan dia bersedia mengakhiri persahabatannya dengan pacarnya terdahulu karena ketidaksediaannya pindah agama. Kala itu dia menyatakan kepadaku; “ Cinta bukanlah segalanya, bukan keputusan bijak bila “menggadaikan” iman oleh karena cinta,” ungkapnya. Sementara aku juga punya sikap yang sama meski aku tidak setaat Laura.

***

Malam merangkak menjelang subuh, sayup aku mendengar suara kenderaan mulai ramai memenuhi jalan raya, namun mata tetap tak dapat dipejam sejak Magda menutupkan telepon secara tiba-tiba. Walau waktu sudah menjelang subuh, aku memberanikan diri menghubungi Magda melalui telepon. Aku yakin dia juga nggak bakalan bisa tidur karena pembicaraan kami berakhir dengan rasa kesal. Keyakinanku benar, baru saja kali kedua nada panggil berbunyi, Magda langsung mengangkat telpon;
“ Apalagi bang?” ujarnya.
“ Magda belum tidur ? Kok kamu tahu aku yang telepon.?”
“ Siapa lagi yang usil pagi-pagi seperti ini kalau bukan abang.”
“ Magda, aku bukan usil. Aku serius. Aku ingin pingin tahu, kenapa tadi kamu sinis dan langsung menutup telepon padahal aku belum selesai bicara.”

“ Jadi abang menelepon ku untuk marah-marah.?”
“ Bukan!! Aku tak habis pikir kenapa kamu sesinis tadi malam, ada apa.?”
“ Aku nggak sinis bang. Aku hanya bertanya, masya hanya abang yang bisa tanya? Iya nggak adil dong.!”
“ Tapi tidak harus sinis seperti itu.”
“ Bang, sudahlah. Aku sudah nggak mau ngomong lagi, biar abang puas.”
“ Masih boleh aku bicara, Magda.!?
“ Kapan aku pernah melarang abang bicara ? “

“ Aku mau terus terang tentang Laura. Magda mau mendengar.?"
“ Apa gunanya sekarang abang menceritakan itu? Bagiku sudah cukup mengerti dalam percakapan kita tadi malam.”
“ Belum! Magda salah duga tentang hubunganku dengan Laura. Ini yang akan kujelaskan, aku mau katakan sejujurnya.”
“ Apa perlunya lagi abang mengaku jujur untukku. Lagi bang, aku nggak punya hak melarangmu berteman dengan siapapun. Demikian juga denganku, abang nggak punya hak melarangku jika bersahabat dengan siapapun.”

“ Magda!!!!! Aku tidak mengijinkanmu berteman dengan lelaki manapun."
" Apa hak abang melarangku berteman dengan lelaki lain? Kalau dulu abang berkata demikian aku masih bisa terima.!"
" Karena aku masih mencintaimu. Jadi Magda sudah membatalkan niat untuk tidak menikah untuk seumur hidup, seperti tekadmu dulu.?"
“ Jadi apa yang abang harapkan dariku selama ini.?”
“ Aku semakin tak mengerti pertanyaanmu Magda, sungguh.”
“ Ternyata pemahamanku juga selama ini salah. Aku juga bingung, apa yang kita ributkan selama ini bang.!”
“ Kita ribut karena berbeda pendapat dan ingin menyamakan pemahaman yang sama sebelum kita melangkah ke jenjang pernikahan.?"

" Ternyata lima tahun belum cukup untuk saling belajar dan memperbaiki diri iya bang.?"
" Tidak ada batasan waktu untuk saling belajar dan memperbaiki. Magda, aku masih mencintaimu seperti aku mencintaimu lima tahun lalu. Kamu juga tahu itu.”
“ Pengalaman itu juga yang membuat hatiku tidak pasti. Kini, Laura telah ikut mengisi bejana dan memberi warna lain, yang kala itu, kata abang bejana itu diciptakan hanya untuk ku. Zung, aku tidak mau kali kedua membunuh diriku sendiri oleh karena kebodohanku.”

“ Jadi Magda meragukanku hanya karena teman sekantorku Laura?”
“ Bukan karena Laura, tetapi karena abang tidak mau jujur.”
“ Itu sebabnya aku meneleponmu, aku mau berkata sejujurnya.”
“ Zung, kejujuran tidak hanya diucapkan tetapi mesti dillakoni bukan ?’
“ Magda, mungkin ini kali terakhir kita akan saling menyapa, tetapi sebelumnya aku mau uatarakan yang selama ini kupendam. Masih boleh aku lanjutkan.”
“ Mengenai apa bang.”
“ Mengenai pembicaraanku dengan ibu , inagtuamu ( bu'de, pen) sebelum aku berangkat ke Jakarta.”

“ Apa hubungannya dengan diriku bang.?”
“ Ya, ini berkaitan dengan hubungan kita. Mau dengar kan?”
“ Tadi abang katakan mau bercerita tentang Laura, sekarang mau cerita tentang mamatua. Kok jadi ngelantur, abang masih ngantuk iya.?”
“ Tidak! Aku tidak ngantuk bahkan tak akan dapat tidur sebelum semuanya kuceritakan kepadamu. Cerita tentang Laura dengan ibuku saling berkaitan."
“Ayo cepatanlah bang, sebelum aku ketiduran.” ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/