Tuesday, June 9, 2009

Telaga Senja (51)

===============
“ Tunggu dululah pulih benar kesehatanmu,” ucapku lagi.
“ Nggak apa-apa kok mas, dokter bilang, lusa aku sudah bisa naik kereta atau naik pesawat. Aku sih lebih enak naik kereta. Bagaimana dengan mas? Mau naik kereka atau pesawat.?”
===============

Sukar sekali memberi jawaban atas pertanyaannya. “ Bagaimana kalau Laura sendiri naik pesawat, nanti aku menyusul naik kereta?”
“ Aku masih khawatir mas, nanti kalau terjadi apa-apa nggak ada yang menolongku.”
Laura kembali menanyakan pilihanku, naik pesawat atau kereta. Akhirnya aku pilih naik kereta dengan harapan, tantenya akan menolak karena Laura masih sakit. Aku masih mengharap Laura bersikeras naik kereta, sehingga ada alasan, butuh waktu pemulihan sakitnya dan akupun punya waktu berkomunikasi dengan Magdalena.

Selain itu, alasan lainnya adalah, ingin menikmati pemandangan alam, desa dan kota yang akan dilalui. Laura langsung menyetujui usulanku, naik kereta. “ Tetapi kita beda kereta dengan adik Lam Hot, kemarin sudah kehabisan tiket dengan kereta yang sama dengan mereka,” ujarnya dengan bibir merekah. Laura beranjak dari sofa menjuju kamar, agaknya langkahnya lebih ringan, barangkali, setelah mendengar kesediaanku pergi bersamanya.

Dia menyerahkan dua lembar tiket kereta setelah kembali dari kemar; “ Biar mas saja yang pegang, aku takut kelupaan,” ujarnya.
Sore itu kami berbicara banyak hal, tentang kantor dan keinginannya berkunjung ke Medan, namun belum sedikitpun pembicaraan kami bernuansa cinta. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan jika Laura mulai masuk “wilayah berbahaya”, asmara.

Meski sudah berusaha menghindari percakapan ber aroma cinta itu, tetapi sesekali berbenturan juga, suatu hal yang tak dapat terelakkan. Hidup dalam perjalananannya, memang, tak dapat terlepas dari lika-liku sentuhan kasih berlabur cinta apalagi berbicara seputar kehidupan kawalamuda. Tanpa disadari aku dan Laura mulai larut pada kenangan ketika masa kecil, remaja dan pengalaman pertama ketika jatuh hati kepada seseorang, sesekali diiringi tawa lepas. Tak jarang Laura kaget ditingkahi pertanyaan ditengah keseriusannya mendengar kisahkasih pertamaku dengan seorang perempuan, Bunga.

Laura bangkit dari pembaringannya diatas sofa, duduk, serius mendengar tuturan kisahku dengan Bunga. “ Ibu Bunga mengusir mas malam itu ?” selahnya ditengah tuturan kisahku. “ Kemudian mas pulang atau bertahan? tanyanya penasaran dengan mimik wajah serius, seakan kejadian baru saja terjadi.

“Ya. Ketika itu aku merasa terpukul dan terhina, aku berbalik langkah tanpa dapat melihat wajah Bunga, membawa sejuta kenangan berbungkus siksa rasa. Aku tidak pulang kerumah, aku berbaur dengan kawan-kawan pegajul, minum sampai pagi hingga teler, disitulah ku tumpahkan semua rasa amarahku ."

“ Setelah kejadian malam itu, mas pernah ketemu dengan Bunga?”
“ Pernah hanya sekali, dia berhasil meloloskan diri dari pengawalan keluarga. Setelah dia dijodohkan dengan suaminya yang sekarang, pada hal dia selalu dikawal ketat kalau dia keluar rumah. Laura, pada usia muda, keluarganya telah menjodohkan Bunga dengan lelaki diatas usiaku, dia kuliah di Akademi Pelayaran, sementara aku masih di SLTA. Lagi pula, ayahnya sering melihatku “berkeliaran” di satu terminal bis. Mungkin, mereka tak yakin masa depanku.”

“ Pernah ketemu dengan Bunga setelah dia menikah.?”
“ Belum. Tetapi aku tahu mereka tinggal di Tanjung Periok, Jakarta. Seorang sahabat lamaku memberi alamat rumah dan nama perusahaan tempat suaminya berkerja.”
“ Nggak ada niat mau ketemu?”
“ Ada sih. Pernah suatu waktu melalui sahabat yang memberi alamat itu, menyampaikan pesan Bunga, agar aku datang berkunjung kerumahnya. Tetapi aku ragu suaminya akan merasa cemburu.”
“ Kenapa mesti cemburu? Apakah mereka belum punya anak?”

“ Sudah. Menurut teman itu, mereka punya seorang putra dan satu putri. Laura, meski sudah punya anak, ketemu dengan cinta pertama yang berakhir tragis, aku yakin akan menukil kenangan manis yang terputus. Cinta yang teraniaya seperti yang kami alami akan melahirkan rindu dendam yang tak dapat terbendung. Bahkan dapat memunculkan “lahar” dan menyembur serta membuka lintasan baru, tidak perduli lahar itu akan menghanguskan sekitar lintasan yang dilaluinya.”

“ Ah...mas janganlah seperti itu. Kasihan dengan anak-anak dan suaminya.”
“ Itu sebabnya aku mengurungkan niat bertemu dengan dia. Aku takut hal itu akan terjadi, apalagi jalan yang kulalui kini, panjang dan berliku.
" Kapan komunikasi terakhir dengan Bunga.?"
" Belum lama. Ketika aku baru bekerja seminggu dikantor kita, dia mau datang menemuiku dikantor, setelah aku tolak bertemu di tempat kosku.”
Nah lho...mas masih menyimpan rasa marah kepada Bunga.?”
“ Nggak juga. Justru aku ragu bila bertemu dengannya akan meluluhlantakkan benih-benih cinta yang kutabur dengan seseorang yang hingga kini belum jelas juntrungnya itu,” ujarku semangat. Ah....aku kok syoor sendiri, lupa teman bicaraku adalah perempuan yang sedang bergolak menanti fajar.

“ Berarti mas masih mencintainya.?”
“ Cinta pertama tak pernah padam, tak lekang dimakan waktu; Akarnya menyatu dengan sukma hingga di ujung kehidupan. Menurutku, hanya norma peradaban sosial yang bermartabat dan ajaran dari atas yang dapat “meredam”nya. Laura, ingatanku masih segar, Bunga tak mampu membendung tangisnya sembari minta maaf, beberapa minggu sebelum dia kepelaminan. Kala itu dia dapat mengelabui keluarganya, dia datang menemuiku di rumah sahabatku Magdalena, ketika kami sedang belajar bersama. Juga, saat duduk dipelaminan, dia tertunduk lesu saat menatapku duduk dikejauhan. Tetesan air mata mengiringi sepanjang acara pernikahannya. Belakangan aku dengar cerita dari sahabat wanitanya, seminggu sebelum kepernikahan, Bunga berusaha melarikan diri ke Jakarta.

Tetapi rupanya jodoh sudah ” vonnis mati” untuk lelaki yang kini suaminya itu. Tiket kapal laut yang sudah dibeli sahabatnya tertangkap tangan ibunya. Masih menurut sahabatku kami itu, sejak kejadian itu Bunga dikawal ketat, ibunya selalu mendampinginya kemanapun Bunga pergi.”

“ Mas Tan Zung, masih ada perasaan marah kepada ibu Bunga?”
“ Laura, aku bukan Tuhan.!” jawabku, disambut gelak Laura.
“ Mau aku temanin kerumah Bunga?” pancingnya.
“ Laura mau tanggung resikonya.!?”
“ Kira-kira resikonya apa?”
“ Aku bawa kabur dia, berikut anak-anaknya.”
“ Nggaklah. Nggak usalah, seram,” balasnya ketawa (Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/