Monday, December 7, 2009

Telaga Senja (180)


=======================
Akankah tragedi setahun silam akan menimpa rajutan kasih yang hampir tiba diujung penantian itu? Aku masuk ke dalam kamar, merenung, setelah Rina menolakku menjelaskan kejadian yang kini berubah satu “tragedi” itu. Dalam perenungan pahit, aku berucap lirih:” Magda, ampunkan aku kali terakhir. Semuanya ini diluar keinginanku.”
=======================

MALAM sepulang dari night club, Magda memang telah mengisyaratkan kegelisahannya sebelum kami menuju keperaduan. Tragedi yang tak pernah terlintas dalam benak itu merupakan ancaman serius rencana pernikahan kami. Aku yakin Rina mengetahui semua rangkaian pertemuanku dengan Maya, sumbernya dari Magda. Namun aku heran, bagaimana Magda mengetahui secepat itu. Mungkinkah dia menyaksikan sendiri keberduaanku dengan Maya? Letihnya aku akan membujuknya, jika dugaanku benar. Minggu lalu ketika kami masih di Jakarta, hanya mendengar nama Maya saja pun, Magda uring-uringan. Wuih...cemburunya luarbiasa. Padahal di benakku, tak sediktpun niat menduakannya, apalagi waktu pernikahan sudah kurangcang matang. Ditengah perasaan gundah, aku putuskan berangkat ke kantor Magda dengan pertimbangan, kalaupun dia marah tidak akan seberingas Rina, karena sedang berada di kantor.

Temannya sekantor heran melihat kedatanganku : “ Magda belum kembali. Tadi sekitar pukul 11:00 dia minta ijin mau menjemput abang. Nggak ketemu?” tanyanya.
" Belum. Mungkin kami berselisih dijalan," jawabku. Segera aku memacu motor kembali ke rumah. Dia pasti sembunyi di kamar, pikirku. Beberapa puluh meter dari rumah, aku matikan mesin motor. Segera motor kucagakkan di depan pekarangan rumah ketika melihat bayangan seseorang dibalik jendela. Aku berlari masuk ke rumah. Rina kaget melihat kedatanganku. Aku mencegatnya ketika dia mau masuk kedalam kamar. Sorot matanya tajam bagai harimau mau menerkam mangsanya.

“ Rina! Aku bukan sebiadab yang kamu tudingkan. Seandainya pun aku khilaf, sekeji itu kah kamu bersikap terhadapku? Inikah balasan yang aku terima dari kamu yang selama ini aku anggap bagian dari keluargaku,?” kesalku. Pandangannya berubah redup. Aku menghalanginya ketika dia masuk kedalam kamar. “ Katakan Rin, dari siapa kamu tahu aku jalan bersama Maya?” tanyaku. Rina tak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya.

“ Rin, kamu senang jika aku dan Magda pisah hanya karena salah pengertian. Rina, katakan dari siapa kamu tahu bila aku bersama dengan Maya. Dari Magdalena,?” tanyaku dalam bujuk. Meski dia tidak menjawab, rona wajahnya mengatakan iya.
“ Rina, Magda dimana?” tanyaku pelan.
“ Aku nggak tahu mas,” jawabnya mulai menitikkan air mata.
" Rina, tolonglah bantu aku. Kamu tahu sendiri kalau Magda marah, semuanya dianggap sampah. Minggu lalu di Jakarta kami ribut, ibuku pun ikut dicurigainya, hanya karena dia mendengar nama Maya. Rin, nggak usah takut. Katakan, dimana Magda, aku ingin segera menjelaskannya," desakku.
" Tadi dia bilang mau kekantor," jawabnya.
" Dia tidak di kantor. Aku baru dari sana."
" Coba telepon Susan atau Mawar mas," usulnya.

“ Mami di mana? Mami sudah tahu kejadian ini?”
“ Belum. Mami pergi ke Siantar, katanya, ada urusan penting. Ntar malam mami akan pulang,” jelasnya. Kemudian aku memapahnya masuk ke kamarnya ketika dia memegang perutnya. “ Mas, perutku mulas,” keluhnya. Aku kelimpungan, melihat wajahnya pucat dan butiran peluh mulai mengucur dari wajahnya. Aku menuntun dan membaringkannya di tempat tidur.
“ Rin, tunggu aku carikan beca," ujarku. Segera aku lari dan melompat ke pekarangan rumah sambil berteriak memanggil beca yang sedang melintas di depan. Otakku semakin kacau, kala memapah Rina dari kamarnya. Masalah yang satu belum selesai, yang baru muncul di depanku, mengurusi persalinan Rina.

“ Mas, kita naik beca dayung saja,” ujarnya ketika dia melihat beca bermesin menunggu persis di depan pintu rumah. “ Nggak apa-apa Rin. Ntar keburu lahir jika kita naik beca dayung.”
“ Belum waktunya mas. Nanti tiga hari lagi kok. Perutku cuma mulas,” keluhnya. Kami menuju klinik bersalin yang telah dokter rujuk sebelumnya. Tiba di klinik, tidak terlalu jauh dari rumah, Rina langsung dibawa ke ruang bersalin. Perawat yang telah mengenal Rina bertanya padaku, dia pikir aku adalah suami Rina: “ Bapak, namanya Tan Zung? Kapan datang pak,?” tanyanya seraya meminta tanda kartu penduduk (KTP).
" Nggak punya KTP Medan,?" tanyanya ketika melihat KTP DKI, Jakarta. Selang kemudian perawat menyodorkan formulir yang telah di isinya.

" Tolong dilengkapi tempat dan tanggal lahir bapak serta pekerjaan," tunjuknya pada satu kolom. Kaget tak kepalang, ketika membaca namaku tercantum sebagai suami Rina.
“ Jangan lupa di tandatangan pak,” katanya. Kemudian menyuruhku ke kasir membayarkan uang panjar perawatan." Pembayaran awal minimal 50 %," jelas perawat. Oalah...bukan cuma namaku jadi taruhan, kini dompet pun harus berkorban. Bagaimana pula nanti kalau Magda tahu, namaku tercantum di klinik sebagai suami Rina? Kok, masalah bertumpuk begini? keluhku dalam hati. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/