Monday, June 29, 2009

Telaga Senja (66)

==================
"Bagaimana menurut pendapat mas Tan Zung.?” tanya maminya gusar.
“ Aku sependapat dengan Lala, jangan dulu diberitahu kepada pak Adrian. Bila perlu aku cukup mengingatkannya.” ujarku mantap.
" Jangan mas! nanti dia cari gara-gara," cegah Laura.
===================
SETELAH makan malam Laura bersama kedua orangtuanya mengantarkanku kembali ke hotel. Sebelum masuk kamar, mereka mampir sebentar, duduk di lobby. “ Aku mau mengambil sesuatu dari kamar mas Tan Zung, papi dan mami tungguin Laura sebentar,” ujarnya seraya mengikuti langkahku.

Malam itu aku benar-benar jengah atas sikap Laura memperlakukanku berlebihan dihadapan kedua orangtuanya. Skenario apa yang dimainkannya pun aku tak tahu. Untuk Laura semuanya berlangsung spontan dan mengalir, tetapi tidak denganku. Aku kikuk dan merasakan ada sesuatu dibalik skenario yang dilakonkannya.
Sejenak aku menahannya dikamar dan bertanya; “ Laura ! Malam ini kamu beda dengan yang aku kenal selama ini.”
“ Apa yang beda mas? Perasaanku biasa-biasa saja.”
“ Tetapi tidak seperti biasanya Laura! Dihadapan papi-mamimu kamu perlakukan aku sangat “istimewa”, kenapa?”
“ Istmewa? Ah...nggak tuh mas.”
“ Laura, katakan sejujurnya, atau aku tidak membiarkanmu meninggalkan kamar ini.?”
“ Mas mau menculikku ,?” tanyanya dengan mimik wajah seakan serius.
“ Ya, sampai Laura mengaku.”
“ Bagaimana kalau aku suruh dulu papi dan mami pulang, agar mas lebih lama menahanku disini,?” jawabnya ketawa.

“ Laura! aku serius. Jawablah, nanti papi mami menunggumu terlalu lama.”
“ Mas, esok matahari masih bersinar.” jawabnya semu membuatku semakin tak mengerti.
“ Sesuatu yang tidak pasti Laura!” kataku membalas jawaban semunya.
“ Pukul berapa besok kita berangkat?” tanyanya mengalihkan pertanyaanku.
“ Tergantung matahari esok,” jawabku.
“ Pasti, matahari akan bersinar,” ujarnya ketawa,
" Barangkali esok awan gelap menutupinya."
" Tidak. Aku yakin mas, meski bukan tanganku yang mengatur gerak matahari, tetapi aku tahu dari sinar sehariannya, memberiku secercah sinar kehangatan," ucapnya, lalu melangkah keluar dari kamarku.

Halah.....aku semakin tak memahami makna ucapannya. Tetapi besok, mungkin, saat kunjungan ke candi Borobudur, akan terkuak makna ucapannya. Aku menghantarkannya ke lobby tempat papi-maminya menunggu Laura, namun kami tak menemui mereka disana. Laura tersenyum mendengar pertanyaanku karena diliputi rasa gusar; “ Papi-mami dimana?” tanyaku
“ Mungkin mereka sudah pulang, karena menunggu terlalu lama. Mas terlalu lama sih “menculik” ku,” jawabanya ketawa. Jawabannya yang kurang serius mengurangi gundahku. Tak lama kemudian kedua orangtuanya muncul dari kantor hotel, “ Laura kamu ngerjain aku,” kataku lega, namun dia tak menggubris perkataanku.

Laura menanyakan orangtuanya; “ Darimana sih pap, dari tadi mas Tan Zung cariin, “ tanya Laura dengan wajah serius. Ah...lagi-lagi Laura kerjaiin aku.
“ Ada yang perlu mas ,?” tanya papi Laura.
“ Oh..nggak oom, aku kira oom sudah pulang “ jawabku gugup. Laura ketawa melihat kegamanganku sambil tangannya bergayut di lengan papinya, lantas Laura mengajak pulang papi dan maminya. “ Mas, jangan lupa telepon mbak Magda,” ingatnya. “ Telepon aku besok pagi kalau mas sudah siap,” lanjutnya sebelum melangkah masuk kedalam mobil.

“ Mas Tan Zung, bilang Mathias kalau ada yang perlu,” pungkas papinya. Sepeninggal mereka, aku masih terus diliputi pertanyaan, kenapa Laura masih terus berlagak akrab bagaikan kami pasangan yang sedang dibalut asmara.?
***
BERULANGKALI aku menghubungi Magda, setelah sebelumnya berbicara beberapa saat dengan maminya. Malam itu telah bergulir pada pukul 9:00 malam, namun dia belum kunjung tiba dirumahnya, terakhir inanguda, mami Magda berujar: “ Zung, nanti aku beritahu, biar nanti Magda menghubungimu.”

Dalam keheningan malam, meski badan terbujur diatas tempat tidur, pikiran melayang jalang, sejenak, kepada Magda yang belum menghubungiku, sementara jarum arlojiku telah menunjukkan pukul 22:30. Kemudian sel otak lainnya menggubris perlakuan Laura sejak dirumahnya hingga di restauran, terakhir ketika mereka hendak pulang dari lobby Hotel.

Lantunan lagu-lagu lama berirama sendu menghantarkan tidurku, menghentikan cengkrama liar dalam angan terhadap Laura. Tidak lama kemudian, redup mataku terusik dering telepon malam pukul 23: 00; Suara nyaring terdengar menyambut ucapan selamat malamku ketika mengangkat gagang telepon; “ Mas, tadi telepon kesini iya,?”
“ Iya, kalian darimana?” tanyaku.
“ Mas, maaf, aku tadi ajak Magda ke rumah ibu Susan setelah makan malam di restauran Kp. Keling tempat mu dan mbak Magda, dulu, berkencan,” ujarnya diiringi tawa.

“ Ngapain kalian pergi kerumah Susan.?”
“ Emang nggak bisa? Kan elu sudah “cerai” dengan ibu itu.? Eh...mas jangan marahin Magda iya. Aku yang ngajak dia kesana. Janji iya mas!” ujarnya serius.
“ Ya. Tolong panggilkan dia, aku mau bicara. Aku bosan bicara dengan lu,” candaku.
“ Apalagi gue,” balasnya, lantas memanggil Magda.

“ Selamat hari ulangtahun Magda. Kali pertama , dalam lima tahun terakhir, kita tidak bersama saat merayakan hari kelahiranmu. Sejak tiga jam lalu aku gelisah menungguimu. Tadi siang aku kan sudah janji mau telepon, kenapa pulangnya larut malam seperti ini.?"

" Zung, Susan titip salam,” ucap Magda mengawali pembicaraan kami.
“ Itukah kalimat yang paling pantas Magda sampaikan malam ini, setelah aku berjam-jam menunggumu.?”(Bersambung)

Los Angeles, June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/