Wednesday, August 26, 2009

Telaga Senja ( 109)

Somethin' Stupid
I know I stand in line /Until you think /You have the time/To spend an evening with me/ And if we go Someplace to dance I know that There’s a chance/You won’t be Leaving with me

Then afterwards We drop into A quiet little place/And have a drink or two/And then I go /And spoil it all /By saying something stupid/Like “I love you”

I can see it in your eyes /That you despise /The same old lines/You heard the night before/And though it’s/Just a line to you /For me it’s true /And never seemed/So right before

I practice every day/To find some /Clever lines to say/To make the meaning/Come through/But then I think /I’ll wait until the /Evening gets late /And I’m/alone with you/The time is right /Your perfume /Fills my head

The stars get red /And oh the night’s so blue/And then I go /And spoil it all /By saying something stupid/ Like “I love you”
=====================
“ Abang mangkak.!’ serunya sambil melemparkan bantal kearahku.
“ Sengaja. Sudah lama aku nggak mangkak kepada perempuan.Tidurlah bu sudah larut malam,” ujarku. Susan kembali merebahkan tubuhnya tanpa memberi reaksi.
“Susan, kamu masih marah? Selamat malam! Sampai ketemu besok pagi.” ujarku meninggalkannya sendirian dikamar.( Bersambung)
=======================

AKU keluar dari kamar menenangkan diri sekaligus menghindari “adegan” berlanjut, menghantarkan debat, berujung pada sentuhan kenangan yang dulu kami lakoni. Aku mengharap Susan dapat memahami keberadaanku, kini, sedang memungut dan menata ulang serpihan kasih yang masih tercecer dengan Magda. Sementara pikiranku kusut, kaki melangkah menelusuri tangga menuju bar yang masih buka. Aku memilih meja dipojok ruangan yang masih kosong.

Suguhan tembang-tembang manis band lokal, malam itu, seakan diciptakan untuk diriku; lirik rintihan dan puja-puji kekasih silih berganti. Minuman yang sudah mulai merasuk pada syaraf yang dalam kesendirian, membuat mata hampir terpejam; tetapi terusik oleh sentuhan tangan lembut di ujung jari tanganku; berucap : “ Mas, kita dansa yuk.” ajaknya genit. Aku membalas dengan mengecup jari tangannya : “ Terimakasih! Aku lelah, lain waktu saja,” balasku dengan santun. Perempuan itu meninggalkanku setelah membalas kecupanku.

Sepeninggal perempuan itu, aku menyandarkan kepala pada ujung sandaran kursi, bayang-bayang wajah Magda mengiring lagu. Aku terhenyak dari lamunan sepi oleh kecupan lembut di ujung bibirku; kedua tangannya memutar wajahku,pelan, menengadah ke wajahnya. Tak sedikitpun menyangka kalau Susan tahu aku ke bar.

“ Zung, kamu belum pulang?” bisiknya ditengah terusan lagu sendu mengendus kenangan.
“ Eh......Susan, kenapa belum tidur? Bagaimana tahu aku ada disini.?”
“ Zung pulanglah sudah larut malam, nanti abang sakit.”
“ Pulang? Nada suaramu mengusirku?”
“ Nggak bang ! Sekarang sudah pukul dua dini hari, barnya mau tutup. Ayolah, abang terlalu banyak minum,” ujarnya lantas menarik lenganku.
“ Okey. Tunggu dulu, aku mau bayar minumannya.”
“ Sudah aku bayar. Abang pulang naik taksi? Biar aku panggilkan.”
“ Susan! Aku tidak mengerti maksudmu. Tadi kamu mengajakku tinggal di hotel, sekarang kamu mengusirku. Baik, aku akan pulang dan tidak perlu kamu mencari taksiku.”

“ Abang terlalu banyak minum.”
“ Itu bukan urusanmu,” hentakku meninggalkannya.
“ Zung! Kenapa abang marah? Tadi abang yang bilang mau pulang. Jadi abang nggak mau pulang,? Abang mau tidur di kamarku,? “ tanyanya lantas dia menuntunku menuju eskalator.
“ Abang mandi iya, biar segar,” ujarnya setelah di kamar.
“ Bagaimana Susan tahu kalau aku minum di bar?” tanyaku sebelum masuk kamar mandi.

” Aku mengikutimu tidak lama setelah abang keluar dari kamar.”
“ Apa perlunya kamu mengikutiku,?”
“ Ingin melihatmu untuk yang terakhir. Tadi, aku nggak menyangka kalau tega meninggalkanku sendirian. Tetapi ternyata sebelum pulang, abang mampir dulu di bar.”
“ Susan bilang mau melihatku yang terakhir tetapi mengapa kamu ikuti aku hingga ke bar.?”

“ Aku tak tega melihat abang “menyiksa” diri sendiri dengan alkohol. Aku tahu kebiasaan buruk abang nggak berubah dari Magadalena, minum berlebihan. Magda juga sangat mengeluh dengan kebiasaanmu itu.”
“ Sudah lama aku nggak minum kok.”
“ Lho, kata Magda, beberapa hari lalu kalian ribut gara-gara abang mabuk.?”
“ Iya, karena dia mengulah. Sama seperti kelakuan Susan malam ini.”
“ Nggak! Aku ngak mengulah, abang saja yang sok. Hanya minta tolong ditemani, abang berdalih, siapa nggak kesal?”

“ Kesal? Memang aku apamu?”
“ Tan Zung jelek dan pemabuk.”
“ ...dan bekas pacar,” selahku
“ ...dan bekas mahasiswaku, “ tambahnya diiringi derai tawa.
“ Jadi, Susan sudah di bar sejak aku masuk kesana.?”
“ Ya. Abang tidak melihatku duduk di belakang ruangan itu.”
“ Kanapa tadi nggak Susan cegah ketika aku mulai “kerasukan”?”
“ Abang saja nggak sadar. Pelayan tidak memenuhi permintaanmu sebanyak 2 kali. Aku yang melarangnya.”

“ Oh...ya..iya, aku baru ingat. Tadi aku hampir marah, pramurianya ngggak peduli padahal aku telah berulangkali nyalakan geretan kecil, minta tambah minuman. Ternyata kamu pengkianatnya," gelakku. Setelah kepala direndam sebentar, aku permisi pulang. Malam itu, Susan telah rela melepaskan pulang ke tempat kostku. Aku lega, setidaknya malam ini, aku terlepas dari pengulangan memori lama yang pernah terhanyut mengatas namakan cinta pelarian.
“ Zung, besok datangnya jangan terlambat, atau aku telepon dulu.?”ujarnya ketika aku minta ijin pulang. (Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/