Monday, January 11, 2010

Telaga Senja (204)


Kenny G _ Forever in love
====================
Mungkin karena mendengar teriakan Susan, Magda datang dan membuka pintu kamar, sementara Susan masih memelukku dengan tangisan, diiringi permintaan maaf. Mataku dan Magda saling menatap, saat dia membuka pintu. Seketika, Magda menutupkannya dengan perlahan lalu meninggalkan kami di kamar Susan.
====================
MALAM bergayut gita cinta setelah melalui lorong gelap dan menakutkan. Susan mantan dosen dan pacarku punya peranan utama menyelamatkan”wajah”ku dari cemohan dunia. Kekasih raib di ujung hidungku.

“ San, Magda baru saja melihat kita berpelukan. Aku khawatir Magda mengira kita melakukan perselingkuhan,” ujarku. Susan segera menarik tanganku menemui Magda ke kamar. Susan memelukku dan Magda yang masih dengan urain airmata. “Dik Magda, aku sayang kamu dan abang Tan Zung. Maaf, tadi aku berteriak dan menampar abang Tan Zung. Kakak, nggak ada apa-apa kok. Aku sangat sangat sayang pada kalian berdua. Aku kasihan melihat adikku Magda,” ujarnya sesugukan. Kami bertiga berangkulan dalam kamar. Susan menciumku dan Magda bergantian.

“ Terimakasih kak. Aku nggak ada pikiran apa-apa kok. Nggak tahu aku dan bang Tan Zung harus berbuat apa membalaskan kebaikan dan perjuangan kakak,” ujar Magda dalam pelukan Susan. “ Itu kewajiban sebagai seorang kakak,” jawab Susan.
“ Heh...abang jelek. Sejak tadi siang, aku perhatikan abang seperti orang penghuni Jl. Timor( rumah sakit jiwa, di Medan, pen) sentaknya saat aku masih berdiri menyaksikan Susan dan Magda berpelukan dalam dalam isak.

“ Papaa..., mama sudah ada disini. Apa yang papa pikirkan?” timpal Magda.
Susan dan Magda benar. Pikiranku belum pulih, masih menyisakan dendam terhadap om kandungku, orangtuanya Shinta dan om Robert. Susan meninggalkan kami berdua dalam kamar, kala Magda bergayut manja. “ Papa....masih marah pada om Robert?” tanya Magda, namun mulutku sukar mengatakan”ya”. Bagaimanapun Robert adalah om kandungnya. Aku tahu Magda adalah ponakan yang sangat di sayanginya. Dulu, menurut tuturan Magda, sebelum Robert menikah, Magda selalu dibawa jalan, bahkan kalau pulang kampung saat liburan kuliah Magda selalu diikutkan. Dia juga cucu kesayangan kakek neneknya. Robert juga punya peranan besar membimbing Magda saat masih di es-em-a dan perguruan tinggi, khususnya mata pelajaran matematika.

“ Kenapa om Robert tega menculik mama.?”
“ Papa, jangan marah, jika mama menceritakan yang sebenarnya. Tidak ada niat mama menutupupi tragedi tadi siang.”
“ Ya. Papa janji tidak akan marah!” jawabku tak sabaran.
“ Tadinya om Robert nggak ada niat menculik. Dia mengajakku secara baik-baik ke rumahnya. Tetapi aku kesal, ketika om tidak mengijinkanku menemui papa. Aku berulang membujuk om, tetapi tak dihiraukannnya. Mama marah dan berteriak, meronta mau keluar mobil. Tetapi mami ikut menahanku. Aku terus meronta dan berteriak memanggil nama papa. Om segera melarikan mobil keluar dari parkiran, mungkin om malu, karena orang sudah mulai banyak di parkiran mobil. Papa, aku masih trauma kejadian tempo dulu, ketika mami memaksaku duduk dengan Albert. Oh...maaf pap, mama menyebut namanya,” ujarnya seraya mengcupku. "Untuk kali terakhir papa memaafkan mama menyebut nama itu," tawaku renyah.

“ Selanjutnya apa yang terjadi setelah tiba di rumah om Robert.?” Magda tidak langsung menjawab. Agaknya dia membutuhkan waktu menenangkan pikirannya karena masih diliputi trauma, tertutup " kabut". Nafasnya sengal sebelum menuturkan. “ Pap, aku sangat capek. Boleh mama rebahan ?” tanyanya. “Papaaa, kesini dekat mama, “ ajaknya saat dia berbaring. Magda memiringkan wajahnya kearahku seraya menurturkan perlakuan Om Robert dan isterinya yang disaksikan mami Magda.

“ Selama di rumah om, aku menangis, ingat wajah papa dan ketakutan kalau papa akan menghajar om. Aku yakin Rina akan memberitahukan kejadian itu pada papa. Sebelumnya, om nggak mengetahui rencana pernikahan kita dalam waktu dekat. Setelah om, orangtua Shinta bertamu ke rumah om Robert, dia memberitahukan rencana itu. Om marah, karena menurutnya, kita nggak boleh menikah, karena aku dan papa mar ito, (saudara sepupu, pen).” Tante, isteri om Robert terus mengawasiku selama dirumahnya. Tante terus ngomel, katanya, mereka tersinggung karena tidak memberitahukan rencana pernikahan kita. Mama terus diawasi nggak boleh keluar. Mereka ketakutan aku kabur lalu memberitahukan ke papa. Menurut mami, mereka ketakutan karena papa bekas orang pasaran dan beringasan."

“ Ah...mereka lebih beringasan dari aku. Papa selalu main cantik dan bertanggungjawab kalau mau bermain, meski "nembak" kopi si tengku itu. Nggak seperti om mu pengecut. Monica dan Jonathan juga sepupu kandung, kenapa mereka bisa.?” sentakku dengan suara tinggi seraya bangkit dari pembaringan.
“ Mama nggak tahu mengapa mereka diijinkan. Papa, tadi janji nggak akan marah...kenapa papa marahnya ke mama.?” Magda agak gemetar menahan rasa takut. Aku segera memeluknya untuk memulihkan rasa takutnya.

“ Aku nggak marahin mama. Aku kesal dengan alasan mereka. Tak masuk akal. Lima tahun lebih, kita menyelusuri jalan terjal dan berliku dipenuhi onak dan duri. Selama itu pula, kita kadang kala tersesat dalam lorong gelap dan menyesakkan, disambut lolongan serigala buas menakutkan. Kemudian mereka mau merampas, mengoyakkan dan menghantarkan cinta yang telah berbuah itu ke lembah kegelapan mengatasnamakan adat? Bedebah!”

“ Papa, mama kan sudah disamping papa. Lupakanlah mereka si bedebah itu, “ ucapnya pelan, kemudian mendekapku, erat. “ Pap, kita sudahi pembicaraan tentang adat dan bedabah itu,” tawanya. ”Kita bicarakan saja rancangan hari berikutnya. Sampai kapan kita di kamar....eh..maksudku berkebun di tempat ini.” lanjutnya masih dengan tawa lepas. Sepertinya Magda benar-benar telah merdeka dari jiwa terpenjara.

Aku ganjar dia dengan pelukan diiringi ciuman. Malam itu aku menghatarkannya ke gerbang dermaga yang telah lama di impikan. Pada keheningan malam aku dan Magda bertekuk diatas singgasana batu pualam nan sejuk, terbingkai sinar kemilau. Senandung sukma dalam simpony malam yang kami rangkai, memahkotai mahligai kejujuran menyatu pada hati dan jiwa, ditingkahi suara gemercik hujan di luar kamar. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/