Thursday, September 17, 2009

Telaga Senja (126)






"Have You Ever Been in Love" Ringtone to your Cell /Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting stars /Youre holding heaven in your arms /Have you ever been so in love

Have you ever walked on air /Ever felt like you were dreamin When you never thought it could /But it really feels that good /Have you ever been so in love

Have you ever been in love /You could touch the moonlight /When your hearts shooting star /Youre holding heaven in your arms /Have you ever been in love, have you...

The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it dont let go, /I know

Have you ever said a prayer /And found that it was answered /All my hope has been restored /And I aint looking anymore /Have you ever been so in love, have you...

Some place that you aint leavin /Somewhere youre gonna stay /When you finally found the meanin /Have you ever felt this way

The time I spent /Waiting for something that was heaven-sent /When you find it, dont let go, /I know...

Coz have you ever been so in love, so in love /You could touch the moonlight /You can even reach the stars /Doesnt matter near or far /Have you ever been so in love

Have you ever been in love /Have you ever been in love /So in... love...



===============
“ Begitu malangnya nasib lelaki yang mengkhianatimu Tia. Dia mensia-siakan kejujuran yang terbentang dalam bening matamu,” balasku ngegombal. Weleweleh...kejujuran? Wong kemarin saja dia mancing-mancing kok. Bahkan baru saja juga dia mengajakku ke night club. Sekali gombal tetap gombal, puich...burgshiiik...
===============

TERNYATA lidah buaya tidak saja baik untuk rambut. Juga baik untuk petualang cinta seperti aku. “ Lidah buaya” manjur ketemu “ lidah belut.” ( belut punya lidah nggak sih?) Setelah makan siang yang penuh dengan bualan gombal, Tia mengajakku nonton. “ Siang begini kita nonton Tia. Apa serunya. "
“ Seru? Tergantung penontonnya. Apa bedanya pagi, siang dan malam ?” tawanya gurih. ( yach gombal lagi..) Tia menyuruh sopir kembali kekator setelah kami mampir di jewelry shop di bilangan down town.

Uang " centeng" dan pemberian Susan masih ditangan, setelah Laura tidak bersedia menyimpannya. Takut habis dimeja judi, aku belanjakan beli arloji dan cincin yang sudah lama ku idam-idamkan. Tia super aktif ketika aku masih memilih-milih jenis arloji dan cincin yang akan kubeli.

“ Koko, tolong ambilkan yang itu,” tunjuknya kearah arloji seraya menanyakan harga. Aku agak aneh mendengar jawaban pemilik toko. Di Jakarta aku hanya sering mendengar kala menawar beca atau bajaj; “ pek go; gopek; seceng. Di Casino sering kudengar; ceban, ban go, cepek ceng dan cetiau.” Kalau nggak salah dengar pemilik toko itu menyebut , “ La pek ban.” Kemudian Tia menjawab: ” Boleh gopek ban.?” tawar Tia. Pemilik setuju.

“ Sekalian dengan cincin iya mas? “tanyanya genit. Aku tak menanggapi pertanyaannya.
“Kok hanya senyum. Ada yang lucu?” tanyanya sementara tangannya ramah mencubit lenganku.?
“ Aku mau beli anting-anting juga,” jawabku disambut tawa lebar si koko. Tia buru-buru mau membayar arloji dan cincin yang kupilih. Penjaga toko kebingungan menerima pembayaran ketika aku dan Tia sama-sama menyodorkan pembayarannya. Tia akhirnya mengalah setelah melihat aku ngotot menolak pemberiannya.

Ketika arloji dan cincin melingkar di jarimanisku, aku benar-benar puas setelah menang dari godaan Tia. Hampir saja kepercayaan bossku Adrian kugadaikan demi sejumlah barang yang nilainya tidak terlalu berarti dibandingkan dengan uang"jarahan" Tia dan Cecep. Meski Tia merasa kecewa atas penolakanku, dia tetap bersikap hangat. Pegangan tangan Tia semakin erat ketika kami keluar dari toko.

Kami menelusuri trotoar pada sisi jalan menuju bioskop. Tia meminta ke penjual tiket nomor kursi dipojok belakang. Tak begitu banyak penonton siang itu. Seperti biasanya, aku tak begitu tertarik menonton film apalagi produksi dalam negeri, cengeng dan membosankan. Aku tertidur diatas kursi. Tia berulangkali membangunkanku. Terakhhir dia menyandarkan kepalaku ke bahunya, sementara kepalanya disandarkan disisi kepalaku, tangannya “parkir” diatas pahaku. Menjelang usai pemutaran film, dia meremas pahaku, berujar: “Mas, bangun filmnya sudah selesai.”

Aku dan Tia kembali kehotel menjemput semua berkas yang telah di audit. Tia meninggalkanku dikamar dan mengingatkan akan menjemputku. ” Siap-siap mas, aku jemput pukul delapan,” ujarnya dengan tatapan mata penuh bening-bening kepalsuan. “ Iya. Aku menunggu, jangan kelamaan,”balasku.

Sepeninggal Tia, aku “menyusun”tenaga persiapan nanti malam. Meski hatiku masih galau karena aku tak tahu keberadaan Laura, aku terus mencoba melupakannya, berhasil. Aku tertidur pulas untuk beberapa lama. Terbangun ketika alarm jam dalam kamar hotel itu membangunkan tepat setengah jam sebelum Tia menjemputku.
***
Dengan selembar handuk menutupi tubuhku, aku keluar dari kamar mandi membukakan pintu setelah seseorang mengetuknya berulang, ternyata Tia. Aku menyilakan Tia masuk. Tanpa kusadari, Tia mengikutiku masuk kedalam kamar mandi. Dia menyergapku seperti orang kerasukan. Nafasnya sengal. Pergulatan “ buaya” dengan “ belut” dikamar mandi itu berlangsung spontan namun tak lama. “Gemuruh ombak” itu segera berlalu setelah mendengar ketukan pintu kamar. Tia buru-buru keluar dari kamar mandi kemudian duduk dikursi tengah seakan serius membuka -buka majalah.

Dengan tubuh setengah telanjang, hanya mengenakan celana jean tanpa hem, aku keluar. Seperti aku duga sebelum membuka, Lauralah orangnya yang mengetuk kamar itu. Dugaanku benar. Laura berdiri didepan pintu. Sengaja pintu ku buka lebar-lebar agar dia melihat ada perempuan”belut” duduk didalam kamar.

“ Laura, apa lagi yang kamu butuhkan ?” tanyaku sambil menarik lengannya menjauh dari pintu kamar. “ Bukankah Laura telah memutus tapak jalan yang kita akan lintasi. Sebelumnya, Laura telah menebar duri disepanjang jalan hingga ke ujung. Laura! Tak ada lagi yang tersisa kecuali melati melekat diatas dadaku. Itupun hampir layu. “ ucapku getir.
“ Mas, salah mengerti. Aku tak pernah memutus tapak jalan itu, bahkan aku memberi jumbai berwarna cerah disepanjang jalan sebagai makna perasahabatan diantara kita. Aku tidak memutus mas.!”

“ Oh..begitu.!? Tetapi malam ini, tolong aku jangan diganggu, biarkan aku menapak kemana kakiku akan melangkah. Laura dapat mencabut dan membakar jumbai itu. Aku tak butuh ornamen bermakna keberpuraan-puraan. Aku juga telah berulang kali mengatakan, kita hanya berteman sebatas sahabat, tanpa harus saling meributkan. Tetapi entah kenapa Laura selalu cemburu bahkan dengan beraninya kamu menudingku manusia tak bermoral, bejat. Iya Laura, akhirnya, sejak siang, sepeninggalmu aku menjadi manusia bejat.. Maaf Laura, semuanya telah terlanjur, biarkan aku mereguk kebebasan ini tanpa direcoki oleh siapapun, faham.?” (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/