Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (36)









http://www.youtube.com/watch?v=rriGtwl1oGE

Dont think I cant feel theres something wrong /Youve been the sweetest part of my life so long /I look in your eyes, theres a distant light /And you and I know therell be a storm tonight
This is getting serious /Are you thinking bout you or us


(chorus)
Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice /Baby think twice

Baby think twice for the sake of our love, for the memory /For the fire and the faith that was you and me /Baby I know it aint easy when your soul cries out for a higher ground /coz when youre halfway up, youre always halfway down /But baby this is serious /Are you thinking bout you or us

(repeat first chorus)
Baby this is serious /Are you thinking bout you or us

Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice / Dont do what youre about to do /My everything depends on you /And whatever it takes, Ill sacrifice /Before you roll those dice /Baby think twice

=============

“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering-kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?”

================

“ Aku telah berusaha, tetapi Magda selalu punya dalih dan dalil yang tak dapat kumengerti. Magda, aku berjanji, mulai malam ini akan berusaha semampuku untuk membuang bejana itu sebagaimana aku telah membuang kalung simbol kasihku ketempat yang pantas, jamban.”
“ Bang, aku tak pernah merasakan keberadaan bejana itu.”
“ Karena kamu memenjarakan pikiranmu sendiri. Selamat malam Magda,” ujarku. Aku meninggalkan kamarnya setelah kami puas saling menumpahkan “rasa”.

Aku menghentikan langkah ketika Magda memanggilku dengan suara bergetar: “ Bang, jangan pergi, aku kedinginan, tolong ambilkan air minum.”
Aku merebahkan tubuhnya perlahan keatas tempat tidur. Aku mengusap airmata dan mendekap dirinya, aku merasakan getaran tubuhnya. " Magda, aku ingin membalut luka yang pernah aku torehkan. Aku telah mengenalmu cukup lama, aku tahu pintu masih kau bukakan. Hanya saja kamu ragu menyilakan aku masuk dan duduk bersama."

" Masih mau minum?" tanyaku usai mencium keningnya.
" Ya. Aku haus bang.!"
Aku bergegas kedapur mengambil air hangat. Sendok demi sendok air aku sorongkan kemulutnya.
“ Boleh aku pergi,?” tanyaku setelah dia merasa cukup.
" Ya. terimakasih. Zung, bersabarlah. Mungkin pintu akan dibukakan untukmu."
" Barangkali juga pemilik pintu itupun sedang bermimpi."
" Jangan berhenti mengharap bang.!"
" Magda, mengharap "sepupu"nya mimpi," bisikku ditelinganya. " Selamat malam !" imbuhku lantas meninggalkan kamarnya.
" Malam baik, mimpi baik bang.! ucapnya lemah.

Rina menyongsong setelah aku membuka kamarku. “ Sudah beres mas? Mas serius membuang kalung itu ke toilet?”
“ Ya!. Rina tahu dari mana?”
“ Tadi aku nguping didepan pintu kamar. Aku takut mas marah-marah lagi kepada mbak Magda. Tadi aku sudah bawa air dalam baskom, kalau tadi mas marah , aku siram. Idiih...mas norak.!” ujarnya diiringi tawa lirih meninggalkanku.
***

AKU berusaha melupakan kejadian yang baru saja terjadi dalam peraduan malam tetapi mataku tak dapat diajak kompromi, tidur. Aku gelisah, tempat tidurku bagaikan bara membakar kujur tubuhku.

Aku bangkit dan menuliskan pesan singkat dalam kertas kecil serta liontin pemberiannya beberapa tahun silam diatas meja : “ Magda, aku berangkat ke airport lebih awal. Terimakasih atas kebaikan hatimu dan keluarga menerima Rina dirumah sebagai anggota keluarga. Juga, terimakasih telah mengijinkan aku menginap dirumah serta menjamuku dengan ramah. Maaf, aku mengembalikan liontin pemberianmu dulu. Aku tak punya alasan lagi untuk mengenakannya. Kidung malam itu telah menjadi untaian nada-nada nestapa.” Peluk ciumku. Tan Zung yang hampir berhenti mengharap.

Segera aku berkemas meninggalkan rumah Magdalena. Perlahan aku membuka pintu rumah, takut kedengaran oleh Magda dan Rina. Aku berjalan menembus udara dingin dan berkabut menyusuri sisi bahu jalan sambil menunggu kenderaan. Tanpa menawar, segera melompat keatas beca bermesin menuju pasar Peringgan sebelum airport dibuka. Aku memesan secangkir kopi dan roti panggang yang sudah lama tak kunikmati. Kopi tetap terasa pahit dikerongkongan meski sudah berbaur gula dan susu.

Setengah jam telah berlalu, duduk bagai patung bernyawa tanpa nikmat aroma kopi dan roti panggang "si tengku" asal Aceh itu. Aku segera meninggalkan warung kopi menuju airport. Aku datang masih kepagian, petugas keamanan tidak mengijinkan beca masuk kedalam airport terpaksa aku berjalan kaki dengan tubuh masih menggigil menahan dinginnya pagi.

Pikiran terus berkelana jauh, kemudian kembali lagi menukil senandung duka yang Magdalena dendangkan. Beban terasa berat melebihi koper yang aku tenteng, sementara kaki menyentak setiap benda yang ada didepanku. Aku berhenti dan duduk disisi jalan persis dipinggir taman kecil berisi aneka bunga dan pepohonan kecil. Semerbak wangi aneka kembang serta senandung pagi burung-burung dipepohonan tak jua mampu meringankan getaran tubuh menahan duka.

Aku berhasil “menyelamatkan” Rina, tetapi tak mampu menolong diriku sendiri, kataku dalam hati. Diriku bagai diterjang badai terhempas tak berdaya. Kata demi kata Magdalena, malam itu, kembali kurangkai dalam benak.

Betulkah aku membangun mahligai mimpi.?” tanyaku lagi dalam hati. Begitu bodohnya diriku selama ini, aku hanya dipermainkan perasaan? Benarkah? Ah....persetan dengan cinta. Selamat tinggal cinta, tampaknya aku masuk dalam kumpulan manusia terbuang dari kehidupan asmara. Kini, diriku ikut menambah bilangan insan putus asa mengikuti pilihan Magdalena, sendiri dan menyendiri untuk selamanya. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment