Wednesday, December 9, 2009

Telaga Senja (181)

Sometimes I think of me and you/And every now and then I think/We’ll never make it true/We go through some crazy times/And everytime I wonder if I’ll be losing you/ But I never do

Oh my friend you give me a reason/To keep me here believin’/That we’ll always be/together this way/ And you know my friend you give me a reason/To make me stay
And even through the longest night the feeling survives/Seems that I can just look at you/And I find the reason in your eyes

Tu sais il me faudra encore du temps/Pour être sûre d’aimer quelqu’un et de l’aimer vraiment/On a toute la vie devant nous/Mais garde bien tes sentiments/Et puis surtout/ Ecris-moi souvent

Un roman d’amitié/Qui s’élance comme un oiseau/Pas une histoire d’amour vacances /Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux / Magique adolescence/Où tout est un jeu/Quand tu prends ma main tout va bien/ Fais comme tu veux mais ne dis rien

Une amitié qui s’élance/Comme un oiseau/Pas une histoire d’ amour vacances/Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux/Magique adolescence/Où tout est un jeu

Une amitié qui s’élance/Comme un oiseau/Pas une histoire d’ amour vacances/Qui finit dans l’eau/C’est un long roman d’amitié/Qui commence entre nous deux/Magique adolescence/ Où tout est un jeu

And you know when you look at me/You’ll find the reason in my eyes
Quand tu prends ma main/Quand tu prends ma main/ Fais comme tu veux mais ne dis rien
========================
" Pembayaran awal minimal 50 %," jelas perawat. Oalah...bukan cuma namaku jadi taruhan, kini dompet pun harus berkorban. Bagaimana pula nanti kalau Magda tahu, namaku tercantum di klinik sebagai suami Rina? Kok, masalah bertumpuk begini? keluhku dalam hati.
========================
Membaca jumlah nominal yang cukup lumayan, hatiku agak ciut. “ Bagaimana? bapak boleh sanggupi,?” tanya perawat ketika melihatku belum beranjak ke bagian administrasi.
“ Oh..ya,,,pasti. Tetapi aku harus pulang ke rumah dulu mengambil uangnya. Uang dalam kantongku tidak cukup,” jawabku sedikit gugup. Segera aku beranjak meninggalkan klinik. Pengemudi beca yang aku tumpangi mengantar Rina menegurku dan menagih ongkos yang kelupaan membayarnya.
“ Oh...ya. Nanti sekalian aku bayarkan. Kita balik kerumah lagi, tolong cepatan bang,” perintahku.

“ Isterinya sudah melahirkan,?” tanyanya. Weleh, orang kedua menyebutku suami Rina.
“ Belum. Aku kelupaan bawa uang. Mereka minta panjar setengah dari seluruh biaya persalinan. Nggak tahu apakah mereka mau tangani sebelum kubayarkan.!” kataku galau.
“ Kalau bayinya mau keluar, mau tak mau mereka harus tangani. Masak disuruh tunggu ? Ini anak pertama? Kelihatannya bapak masih gugup,”? candanya.
“ Ya bang. Abang punya anak berapa,?” tanyaku mengungurangi stress.
“ Punya lima. Insya Allah, bulan depan kami kedatangan tamu baru, anak yang ke enam.”

“ Bapak nggak kewalahan? Maksudku, soal biaya hidup?”
“ Pas-pasan lah pak. Maka aku curi-curi waktu, narik sehabis ngajar. Kebetulan aku dan isteriku guru.”
“ Bah! Meski abang dan isteri jadi guru, gaji masih belum mencukupi,? tanyaku heran.
“ Tahu sendirilah pak. Berapalah gaji guru. Kadang pendapatan narik lebih banyak dari gajiku, walau ditambah dengan harga jatah beras yang bau apek dan banyak pasirnya itu,” tuturnya. Dia juga menyebutkan jumlah pendapatan jika narik seharian di akhir pekan. " Kalau penumpang lagi ramai, lumayan untuk beli beras selama seminggu.”
***
Segera aku kembali ke klinik membawa uang sesuai dengan jumlah yang di tentukan perawat sebelumnya. Aku meminta pengemudi becak menunggu. ” Tungguin bang. Aku masih ada urusan lagi,” pintaku. Tidak berapa lama setelah membayarkan biaya persalinan Rina, aku mendengar tangisan seorang bayi dari ruangan rawat Rina. Aku menyambut dengan rasa sukacita, bagai seorang ayah. Sebelumnya, ditempat ini, aku menyaksikan sukacita seorang suami kala mendengar tangisan bayi dari ruangan isteri yang sedang bergelut melawan maut.
Sukacita kemudian redup, hati terenyuh. Bayi tak berdosa ini harus lahir tanpa didampingi ayahnya. Kasihan Rina dan bayi Thian, bisikku dalam hati.

Aku segera sambut perawat di depan pintu kamar bersalin, saat memberitahukan bahwa, Rina telah melahirkan.
“ Isteri bapak telah melahirkan dengan selamat. Bapak mau masuk?” tanyanya.
“ Ya..ya. Bayinya apa bu, laki atau perempuan.?”
“ Si Ucok ( laki, pen) Wajahnya tampan kayak bapaknya,” pujinya seraya melihatku. Ah..sok tahu kamu, kataku dalam hati. Tak sabaran, aku mendahului langkah perawat menemui Rina. Di sisinya, bayi Thian tergolek dibungkus kain lampin berwarna putih. Wajahnya memerah, matanya masih tertutup. Aku mengucapkan selamat ke Rina seraya mencium keningnya.
“ Rin, Thian gagah. Tadi, kata perawat, dia mirip aku. Iya Rin?” tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku. Hanya menatapku kemudian berujar:” Mas, terimakasih. Rina terus merepotkanmu.” Rina menitikkan airmatanya. Entahlah air mata bahagia atau dia sedang memikirkan “nasib” Thian yang lahir tanpa ayah itu.

“ Boleh aku cium Thian?” tanyaku mengalihkan pikirannya.
“ Belum mas. Nantilah beberapa jam lagi,” jawabnya.
“ Nanti kalau Thian sudah bisa ngomong, kamu suruh dia panggil aku “ayah” atau “om”. Soalnya di formulir, namaku tercantum sebagai suami,” tawaku, kuatir menyinggung perasaannya. Rina tak menjawab, hanya tersenyum, tampak dipaksakan.
“ Mas, tolong belikan aku gado-gado dan rempeyek. Ntar aku bayar, aku nggak bawa dompet,” ujarnya.
“ Lho, kok begitu ngomong ke suami,?” candaku. “ Thian mau dibelikan apa?” tanyaku lagak serius.

Masss..jangan bercanda dulu. Badanku masih sakit,” tawanya renyah sambil meremas telapak tanganku. Sebelum aku meninggalkan klinik, Rina berpesan: “ Nanti kalau ketemu Magda, segera suruh ke sini. Jangan nakal lagi mas. Kalau belum ketemu, minta tolong bawakan sweaterku.”
“ Magda tahu, bahwa Rina mencantumkan namaku sebagai suamimu?”
“ Justru mbak Magda yang usulin,” jawabnya serius. Aman, pikiranku pun lega. Berkurang satu beban.
***
Masih dengan becak yang sama, aku melaju kerumah menjemput sweater Rina dan menghubungi ibu pemilik rumah kos yang aku diami kurang lebih lima tahun. Tiba di rumah, aku masih meminta penarik becak menunggu. “ Tunggu lagi bang. Sebelum balik ke klinik, kita mampir dulu di sana,” ujarku seraya menyebut alamat rumah kosku.

Sebahagian barang-barang aku boyong, setelah pasti aku dapat kamar. Koper ditinggal, takut Magda atau maminya marah, sebab aku belum memberitahukan rencana perpindahanku. Aku hanya membawa beberapa pasang pakaian. Sebelum keluar dari rumah, aku meninggalkan secarik kertas diatas meja makan, berisi dua pesan; “ Magda, Rina telah melahirkan. Aku, telah membawa sebahagian barang-barangku.”

Baru saja aku meletakkan kertas itu, kedengaran suara mobil Magda di dalam gerasi. Segera dia kusongsong di depan pintu. Magda menatapku dengan wajah marah. Tanpa sepatah kata, Magda mendorongku saat aku beridiri menyambut dan menyapanya. Aku nyaris terjengkang. Menghindari keributan, kebetulan nggak ada pula orang di rumah sebagai penengah, segera aku meloncat dari pintu ke pekarangan.

“ Berangkat bang!” perintahku. Saat becak berputar dari pekarangan rumah menuju jalan raya, Magda berlari sambil memegang kertas berisi pesanku, dia memanggil: “ Papa! Rina di mana? Papaaa... mau kemana.?” teriaknya.
“ Jalan terus bang,” seruku, ketika penarik becak hendak berhenti. Aku menoleh kebelakang, Magda cepat berbalik ke rumah dengan wajah tertunduk sambil mengusap kelopak matanya.
“ Siapa dia pak? Isterinya juga? tanya pengemudi becak heran mendengar panggilan Magda ”papa” terhadapku.
“ Bukan. Dia calon isteriku. Insya Allah, awal tahun depan kami akan menikah,” jawabku enteng.
“ Bah! Yang pertama baru beberapa jam melahirkan. Beberapa bulan lagi masih mau nikah. Satu rumah pula !?” Hebat...hebat..dunia semakin maju..” gumannya seraya geleng-geleng kepala. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment