Saturday, July 25, 2009

Telaga Senja (88)






http://www.youtube.com/watch?v=WXtc-TH0Iv4


You're Still The One /Looks like we made it /Look how far we've come my baby /We mighta took the long way /We knew we'd get there someday

They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong

(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night

Ain't nothin' better /We beat the odds together /I'm glad we didn't listen /Look at what we would be missin'

They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong

(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night (You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night I'm so glad we've made it /Look how far we've come, my baby.

=========================
“ Sebenarnya sudah sejak tahun lalu mas. Tetapi baru kemarin dulu, aku secara tegas menolaknya. Mami semakin gelisah setelah Laura dan mas datang bareng.”
“ Lho, aku punya andil dalam masalahmu?”
“ Iya. Pemicunya,” jawab Laura getir diiringi senyum, pahit.
=========================

HARI pertama tiba di Yogya, kedua orangtua Laura menjamuku makan bersama disebuah restauran. Sejak berkenalan dirumah hingga ke restauran , tidak sedikitpun maminya menunjukkan antipati . Kini aku baru sadar, kenapa tingkah Laura padaku saat itu agak berlebihan terhadapku; dia duduk melekat di sampingku. Didepan mami dan papinya, memilih jenis makananku. Tak sungkan pula menaruh makanan keatas piringku, bahkan mangkuk sup satu untuk berdua, meski ada tersedia dua mangkuk. Juga sikap manjanya sengaja" dipertontonkan" dihadapan papi dan maminya. Ternyata dia punya skenario cantik, ku maknai, "mam berhentilah bermimpi, karena Laura tidak akan mau menerima pinangan orangtua Gunawan; Never ever". Laura dalam gaya seakan berucap: nih....mam aku sudah punya gacoan, don't bother me.

“ Laura menyesal datang bersamaku.?”
“ Nggak juga. Bahkan aku merasa beruntung karena “lahar” yang selama ini terpendam tersembur walau sangat menyakitkanku.”
“ Bagaimana dengan tantemu yang di Jakarta? Mereka setuju dengan pilihan mami .?”
“ Oh..nggak. Tante dan om Felix sangat dekat denganku; mereka nggak pernah mencampuri urusan pribadiku.”

Agaknya Laura lega setelah menuturkan balada hidupnya. Aku mencoba mengakhri kenangan Laura yang masih mendulang duka. Aku bujuk dia duduk diruang tengah kamar itu. Meski berhasil menggiringnya pada “wilayah” lain yang tak bersentuhan dengan luka yang dialaminya kini, sesekali dia masih mengeluhkan penderitaannya. Rupanya dia belum puas mencurahkannya dalam tangis. Akhirnya aku biarkan dia menuturkan kisah cinta Gunawan yang tak kesampaian.

“ Apapun yang terjadi mas, Laura tak bakal menuruti kemauan mami.”
“ Apakah nggak ada pertimbangan lain, misalnya, menjaga keharmonisan diantara keluarga. Bukankah papi juga jadi korban kebencian mami dan tantemu yang di Solo.?”
“ Mas, ini pesoalan hati. Maksud mas, aku menjadi “srikandi” ditengah keluarga, meski itu hanya kemunafikan.?”

“ Laura, cinta itu dapat lahir dan bertumbuh seiring kebersamaanmu dengannya dalam keseharian.”
“ Bagaimana dapat lahir dan bertumbuh, bertemupun aku tak sudi.”
“ Laura mungkin menyimpan akar pahit dengan Gunawan.?”
“ Bukan juga. Gunawan itu pengecut. Aku mulai muak melihatnya sejak tahun lalu. Seminggu sebelum berangkat ke Perancis, kepada sejumlah teman, dia mengaku bahwa aku dan dia telah bertunangan. Padahal, belum sekalipun Gunawan berbicara langsung kepadaku. Gunawan hanya bersembunyi dibawah bayang-bayang orangtuanya dan mamiku.”

“ Laura dan Gunawan satu kampus.?”
“ Ya. Dia diatasku satu tahun.”
“ Jadi selama kuliah, Gunawan belum pernah mengungkapkan isi hatinya?”
“ Belum. Aku juga ragu dengannya, sepertinya dia lebih suka dengan teman sejenisnya.!”
“ Hah..! Jangan-jangan Gunawan dan om Laurance ....”
“ Nggak ah. Mas ngaco. Tahun depan om Laurance akan menikah dengan perempuan Perancis.”

“ Tahu dari mana kalau Gunawan pemain anggar.?” tanyaku geli. Laura mengenyitkan dahinya medengar pertanyaanku. Menurutnya pembicaraan sudah nggak nyambung.
“ Mas ngantuk iya. Laura nggak pernah bilang Gunawan pemain anggar. Mas, sok tahu,” ujarnya serius.

Laura semakin kesal ketika aku tertawa lepas mendengar rasa kesalnya. “ Apa sih yang lucu, mas!?” tanyanya.
“ Pemain anggar itu sama dan sebangun dengan gay,”terangku.

Spontan Laura memukul-mukul dadaku sambil tertawa diiringi rasa malu. Laura seakan telah melupakan siksa deritanya; ketawanya semakin menjadi-jadi setelah aku menjawab pertanyaannya lagi , “ kalau perempuan suka dengan perempuan, kemarin apa mas bilang?”
“ Pemain biola,” jawabku. Aku membiarkannya, sejenak , berenang dengan rasa gelinya.

“ Bagaimana dengan om Laurance, dia setuju Gunawan menjadi suamimu.?”
“ Om tak pernah menyinggungnya. Tetapi aku yakin, dia tak akan mau mencampuri urusanku. Om itu sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika berpisah dengan calon isterinya, dulu.”
“ Tetapi itu kan masalah perpisahan antara calon isteri dengan calon suami. Masalahmu masih dalam tahap perjodohan.”
“ Tahap perjodohan? Denga siapa mas? Aku tak pernah merasakan Gunawan menjadi jodohku.”

“ Iya. Tetapi yang pasti, mami menjodohkanmu dengan Gunawan bukan?”
“ Itu tanpa sepengetahuanku. Kok mas belum mengerti juga,?” ucapnya dengan kesal.
“ Iya sudah. Kita bicara yang lain saja. Atau Laura mau pulang?”
“ Nggak. Aku nggak mau pulang.”
“ Jadi malam ini mau bergadang sampai pagi. Eh...besok kita berangkat siang atau sore hari?”
“ Nggak jadi mas. Nggak ada tiket.”
“ Kapan jadinya kita kembali ke Jakarta? Atau aku duluan.?"

“ Mas, masih mau menolongku? Kita pulang minggu depan. Selama mas disini, kita tetap jalan sama.”
“ Aku jadi nakhoda atau penopang layar perahu yang hampir karam.?”
“ Terserah mas mau jadi apa.”
“ Kapan Gunawan kembali ke Perancis.”
“ Nggak tahu mas. Sejak dia datang dari Perancis, aku belum pernah bicara berdua dengannya. Kan tadi aku sudah bilang.!?”

" Jadi untuk sementara ini aku masih pilihan utama dong,?" candaku.
" Wajah mbak Magda membayang-bayangiku mas." jawabnya serius.
" Aku....Gunawan....pilih mana, seandainya..."
" You're still the one, but not belong to," jawabnya sambil mengelus wajahku. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment