Wednesday, May 6, 2009

Telaga Senja (25)

Shania Twain - You're still the one
Ooh, yeah, yeah/Looks like we made it/Look how far, we've come my baby/We mighta took the long way/We knew, we'd get there someday/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight

Ain't nothin' better/We beat the odds together/I'm glad, we didn't listen/Look at what we would be missin'/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love / The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/You're still the one

Yeah, you're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life, ohh/You're still the one / You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/I'm so glad, we made it/ Look how far, we've come my baby


===============
Mami Magda tak kuasa lagi menahan amarahnya, balas teriak; Magda diam mulutmu.! Kau nggak tau persoalan. Nggak ada hakmu mengusir abangmu dari rumah ini. Kalau kau nggak senang, diam kau disitu, mengerti.!?”
Ohh...kenapa jadi begini? Kali pertama mendengar mami Magda yang sehariannya lembut, sangat marah kepada Magda.!
=================

“ Mami sejak dulu selalu ngebela abang. Sudah tahu brengsek masih terus dibela,” balasnya dari dalam kamar.

Ah....aku jadi serba salah, Magda dan maminya meregang amarah. Niat mau menolong sesama, tetapi aku menerima hujat dan makian dari sahabat lamaku. Oh ya iya...Rina, seandainya kamu melihat dan mendengar yang baru saja terjadi ditengah keluarga ini, masihkah engkau tega melilit leherku dengan akal bulus untuk menikahimu? rintihku dalam hati.

“Malapetaka” yang baru saja terjadi membuatku duduk terkulai lemas diatas tempat tidur. Agaknya aku tak mampu lebih lama lagi tinggal di rumah Magda, ingin segera meninggalkan rumah ini, tetapi kakiku tak mampu untuk melangkah.

Otakku dijejali pertimbangan segera keluar dari rumah, namun inanguda dan Jonathan sangat baik dan memahami persoalanku, kenapa aku harus menambah persoalan baru? Ini juga salah satu pertimbangan membatalkan niatku keluar malam itu.

Aku merebah diatas tempat tidur, hati masih bergetar menahan makian Magdalena. Bantal yang dibungkus sulaman khusus “MH” itupun kusisihkan, terasa panas memantik kepalaku. Mata tak dapat dipejam, rasanya waktu berjalan lambat.

Aku ingin segera menjemput Rina sesuai dengan janji pukul 03.00 dinihari, menghantarkannya ke rumah kostku tempo dulu. Persoalan yang tertindih dibahuku terasa maha berat, aku berencana, esok siang akan kembali ke Jakarta, dua hari lebih cepat dari rencana semula.
***
SEBELUM pukul tiga dinihari, aku bangun berangkat menjemput Rina sesuai dengan kesepakatan dengannya. Dari kejauhan aku melihat sosok perempuan berdiri dipertigaan jalan. Ternyata Rina telah menungguku disana dengan koper kecilnya.
Aku segera melompat dari beca, “ Gila kamu Rina. Kamu nggak takut sendirian menunggu disini.?“

“ Aku nggak dapat tidur mas.”
“ Iya, tetapi Rina nggak tahu daerah ini banyak anak brandal. Aku datang lebih awal justru mau menunggumu.!”
“ Kami menyisir sisi jalan tanah, setelah menunggu beca tak kunjung muncul. Tidak lama kemudian aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan berteriak memanggil beca melintas di seberang jalan.

Didalam beca Rina memegang tubuhku erat sambil ketawa geli. “ Ada yang lucu Rin?”
“ Nggak mas, aku takut sepeda eh..becanya terbang.!”
“ Belum pernah naik beca bermesin dik,” sapa abang beca.
“ Baru pertama kali bang.” jawabnya cengengesan.

Tiba di tempat kost baru sadar kalau aku tidak membawa kunci rumah Magda. Timbul masalah baru; kemana aku harus pergi sementara waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi?. Tinggal di kamar bersama dengan Rina? Aku yakin akan menambah persoalan. Apalagi nanti komentar Magda dan keluarganya?. Aku putuskan pergi mencari kedai kopi langgananku tempo dulu si “ tengku”, asal Aceh itu. Namun Rina menghalangiku pergi, alasannya dia takut ditinggal sendirian, karena belum begitu tahu situasi rumah.

“ Jangan pulang dulu mas. Aku takut, tungguin aku tidur!” ibanya.
“ Lho, tadi kamu berani sendirian menungguku di jalanan. Kok di dikamar ketakutan?”
“ Itu kan karena kepepet mas.?”

“ Rina, sekarang kita berduaan, kenapa kamu nggak panggil papa?”
“ Halah mas lanteung! Tadi malam kan aku bilang biar mereka senang. Ehhh...tadi ketemu dengan mbak Magda?”
“ Nggak. Seperti aku bilang dia itu cemburuan. Dia mendapat berita yang salah, jadinya semua berantakan, dia memakiku habis-habisan. Tetapi adik dan maminya sangat baik. Mereka janji akan menjelaskan kepada Magda masalah yang sebenarnya.”
***
“ Mas lanteung, katamu hobbi main biliar.!”
“ Rina, jangan panggil aku lanteung. Panggil saja namaku. Lanteung itu bermakna jelek.”
“ Lho, salah sendiri. Mas sendiri yang bilang artinya “sayang”
“ Iya, kamu tanya ketika aku sedang marah.”

“ Oh, jadi ketika marah artinya sayang, tetapi jika hati dingin berarti jelek. Aku baru tahu dalam bahasa batak, kalimat punya pengertian yang berbeda dalam situasi berlainan,” ujarnya geli.

“ Rina, kenapa dengan biliar,?”
“ Iya mas lanteung, ehh Tan Zung, aku juga suka main biliar setelah diajarkan sama mas Paian. Aku pikir mas memang pintar, ternyata mas jauh kelas dibawahku.”
“ Sok tahu.! Bagaimana kamu tahu aku dibawah kelasmu, main saja belum pernah.”

“ Sudah mas!. Tadi sore dirumah om Wiro. Mas membiarkanku sendiri menghadapi bola liar pukulan om Wiro dan adiknya si tekhab itu. Sebenarnya aku mau lemparkan bola itu ke wajah mereka, tetapi menyadari bila itu aku lakukan, suasana semakin runyam. Mas juga jadi korban.

Aku layani permainan mereka. Aku pukul bola putih menghajar semua bola sekitarnya, meski liar tetapi masuk bukan ? Tahu mas berapa jumlah angka yang aku raih. Nggak tahu bukan!? Mas hanya bengong dan marah, padahal pukulan berikut masih gigliranku. Sekarang, mas telah menikmati hasil permainanku bukan? Mas telah bebas dari unsur pemaksaan manusia tengil itu.

Kata mas, orang batak, banyak taktik, nyatanya, setidaknya batak sebiji ini, nul.! ujarnya lantas dia melemparkan tas tangannya kearahku.
Los Angeles. May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment