Tuesday, December 22, 2009

Telaga Senja (191)

===================
Sebelum Magda meninggalkanku, aku berpesan,” Bila nanti malam tidak datang ke rumah, berarti papa ikut ibu. Nggak usah khawatir, apapun hasil pembicaraanku dengan ayah, papa pasti kembali esok harinya. Honey, don’t surrender ‘cause we can win. In this thing called love.” ujarku meyakini dirinya
===================
KERIKIL tajam terasa mengganjal pada awal telusur langkah. Sinyal kelabu terbesit di balik wajah ibuku. Sinyal itu menggetarkan rongga jiwa Magda calon isteriku. Sinyal kelabu itu tak akan kubiarkan merenggut gita cinta kami yang telah berlangsung dalam bentangan waktu yang cukup lama.
" Mam, duri tajam telah kita lalui dalam lorong gelap dan menyesakkan. Tidak kata lain kecuali, Magda adalah belahan jiwaku. Benih-benih cinta yang tertanam telah menghapus duka luka kita. Aku tak mau terulang lagi, mama tertoreh luka baru oleh karena alasan apapun dan oleh siapapun. Magda memahaminya.?"
“ Ya pap,” ujarnya, suaranya redup. Tidak saja nada suaranya lemah tetapi sinar matanya kehilangan gairah. Mataku menghantar Magda yang sedang menyetir mobilnya hingga diujung jalan. Ibu menyambutku dengan tawa renyah saat kembali ke kamar.

“ Bukan ibu yang memutuskan rencana kalian,” ujarnya seakan tahu persis apa yang akan aku sampaikan.
“ Kok ibu tahu apa yang akan aku mau bicarakan?”tanyaku, disambut tawa renyah.
“ Iya tahulah, dari bola matamu. Tali pusarmu amang, terasa masih melilit didalam jantung ibu. Kesini lah amang, duduk dekat ibu.” Kemudian ibu mencium pipiku setelah duduk disisinya.
“ Bagaimana rencana kalian dengan itomu,?” tanya ibuku.
“ Bu, sebut saja nama Magda, jangan ito. Aku risih mendengarnya.”
“ Memang Magda itu itomu amang. Ompung kami kakak adik kandung.”
“ Jadi maksud ibu, aku nggak bisa menikahinya.?”
“ Ibu sudah menjelaskan. Rimangi ma dibagsan roham ( pikirkanlah dalam hati, pen).”
“ Dulu, ketika aku berteman dengan dosenku, ibu dan ayah sangat murka.”
“ Ibu tidak keberatan berpacaran karena dia dosenmu. Kami keberatan karena ibu dosenmu masih punya suami.”

“Baik lah ibu, aku batalkan rencana pernikahanku dengan ito Magda. Aku akan menikah dengan ibu dosenku. Dia bersedia menceraikan suaminya kalau aku mau menikahinya,” ancamku.
Ooo amang, unang, tongka,( jangan, pantang itu, red) jangan emosi amang! Ibu nggak punya hak untuk mengijinkan atau melarangmu menikah dengan itomu...eh..Magda. Tetapi yang pasti tulang/ om mu yang di Jakarta, nggak setuju. Juga tulangmu bapaknya Shinta. Kalau mau, ikut lah kamu pulang. Nanti kita bicarkan dengan tulang dan ayahmu.

“ Boleh aku bawa Magda.?” pancingku. Ibuku tidak menjawab, hanya tertawa. Aku megulangi pertanyaan yang sama.
“ Nanti tulangmu marah.”
“ Kenapa tulang keberatan kalau aku bawa itoku kerumah? Kan Magda itoku. Kenapa dia nggak boleh mengunjungi rumah mamatuanya,?” kataku kesal.
“ Kenapa marah ke ibu,?” tanyanya seraya mengelus kepalaku. “ Ikut lah kamu pulang, nanti kita bicarakan baik-baik dengan ayah.”
“ Nanti ibu mau bantu aku kalau bicara dengan ayah?”
“ Yang menjadi masalah adalah tulangmu, bapaknya Shinta dan tulangmu yang di Jakarta.”

“ Ayah dan ibu nggak keberatan kan.?” tanyaku meyakinkan. Ibuku hanya menjawab dengan tawa kecut. Sementara aku dan ibu sedang asyik ngomongin rencana pernikahan, Magda muncul dengan membawa makanan. Ibuku menyongsong Magda ke pintu; dia menyambutnya dengan rangkulan.
“ Magda marah ke mamatua ?” tanya ibuku dalam pelukannya.
“ Nggak mamatua. Magda nggak marah,” jawabnya seraya membalas pelukan ibuku. ”Magda pulang, supaya mamatua istrahat dulu,” lanjut Magda. Ah...main cantik calon isteriku, kataku dalam hati, setelah mendengar jawaban Magda.
Burju do inang na naeng parmaen mi ( Baiknya dia calon mantumu itu, pen) ujarku. Wajah Magda memerah ketika ibu kutembak langsung. Ibuku tertawa menyambut ucapakanku. “ Oh..tahe anakhon ( Oalah.. anakku , pen)

"Magda jangan salahkan mamatua. Nanti mamatua akan bicara dengan bapatua dan tulangmu bapaknya Shinta. Tetapi Tan Zung, boleh ikut mamatua.?"
" Bagaimana abang Tan Zung, mamatua."
" Tan Zung tergantung kamu inang. Kalau Magda ijinkan, nanti sore kami pulang. Magda mau merayakan natal dengan abangmu?" tanya ibuku. Magda tak mampu menutupi keterharuannya. Dia memeluk ibu, berujar, " Ya, terimakasih mamatua," sambut Magda.
***
Terasa bintang bersinar kembali mendengar ucapan ibu ketika kami di kamarku sebelum pulang kampung. Magda mengantarkan aku dan ibu ke terminal bus. "Papa, pulang besok iya. Bicara lah baik -baik dengan bapatua dan mamatua," ujarnya. Magda meninggalkan kami setelah bus siap-siap akan berangkat. Aku merasakan detak jiwanya yang masih terguncang. Namun aku meyakini dirinya, dengan untaian kata optimis.

Dalam bus aku menanyakan ibu, kalimat apa yang terbaik akan kusampaikan kepada ayah. " Nggak ada persoalan dengan ayahmu. Tulangmu yang paling bersikeras menolak."
" Bagaimana sikap ibu? Apa urusannya tulang meributkan hubunganku dengan Magda."
" Tadi ibu sudah jelaskan, Magda itu itomu."
" Jadi ibu juga keberatan aku menikah dengan Magda? Tadi kenapa ibu nggak bilang? ngapain aku ikut pulang kalau ibu juga nggak mau membantuku.?"
" Jangan emosi dulu. Dengar baik-baik ibu bicara. Ibu nggak punya hak, menyetujui dan melarang."
" Ibu punya hak. Karena aku adalah darah dagingmu."
" Amang, suaranya pelan. Nggak malu didengar orang lain? Nantilah kita bicarakan di rumah. Itu sebabnya ibu ajak kamu pulang," suaranya lemah. Aku diam, tak tega mengganggu ibu, sepertinya dia keletihan. Aku biarkan dia tertidur hingga kami tiba di kampung. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment