Monday, December 14, 2009

Telaga Senja (187)

=================
“ Besok sebelum kerumah Maya, kita mampir ke tukang jahit mama. Papa juga harus jahitkan pasangan jas untuk papa, sekalian untuk persiapan pernikahan kita. Nanti mama minta tolong ke tukang jahit, supaya dikerjakan ekspress. Nggak apa-apa, ntar mama bayar ekstra.” ujarnya semangat.
==================
Sebelum kami keperaduan, Magda memberitahu kedatangan ibuku dari Jakarta. " Besok mama akan minta ijin pulang sekitar pukul 10:00, karena mama akan temanin mami jemput Rina dan Thian dari klinik bersalin. Pap, tadi sebelum Maya datang, adik Lam Hot memberitahukan, mama tua besok siang berangkat dari Jakarta pukul 11:00 pagi. Mungkin tiba di airport sekitar pukul 1:00 siang. Nanti mama usahakan jemput papa ke rumah pak Ginting sebelum ke airport.”
“ Mama kuatir, kalau Maya jemput papa iya.?”
“ Nggak. Papa saja yang merasa. Ketika tadi mama mencegah Maya menjemput, wajah papa langsung cemberut,” tawanya.

“ Mam, jujur, seharian ini mama memberlakukanku seperti orang terhukum. Papa harus menuruti semua kemauan mama. Bertemu dengan Maya pun mama batasi. Papa tidak mengerti kenapa Magda begitu kuatir dengan papa. Apa mungkin papa dan Maya mengarung jeram yang penuh bebatuan itu dalam waktu singkat.? Ketika mama masih ragu, karena hubunganku dengan Laura, papa dapat memakluminya. Tetapi tidak dengan Maya. Papa merasa, kekuatiran mama terhadapku sangat berlebihan.”

“ Mama tidak merasakan memberlakukan papa seperti orang terhukum, sungguh!”
“ Papa yang merasakannya. Mam, cemburu berlebihan, sadar atau tidak, akan melahirkan ego yang berlebihan. Meski mata melihat daun berwarna hijau, mulut berkata berwarna kelabu.”
“ Sejauh itukah papa menilai mama?”
“ Hari ini iya! Papa hanya mau mengingatkan. Perjalanan kita masih panjang. Mama tersinggung,?” tanyaku ketika melihat wajahnya agak redup.
“ Tidak pap, mama tidak tersinggung. Terimakasih mama telah diingatkan. Maafkan mama, kalau papa merasakan egoku berlebihan. Pap, itu mungkin karena kegelisahanku akibat cinta berlebihan,” akunya jujur. " Papa bisa memahami kegelisahan mama, bukan,?" tanyanya. Rasa jengkel yang menggelayut dalam hati beberapa jam terakhir, sirna atas pengakuan jujur dan seiring keteduhan wajahnya.
***
“ Boleh papa ikut jemput ibu ke airport? Bila perlu, besok papa nggak usah ke rumah pak Ginting
“ Iya pap, kita akan jemput bareng. Tetapi terapi yang tarakhir, jangan dibatalkan. Papa tunggu disana, nanti mama jemput sebelum ke airport," ingatnya.
“ Mam, setelah pesta pernikahan Maya, papa akan pulang dengan ibu, sekalian merayakan natal di sana.”
“ Papa pulang!? Jadi mama ditinggal? Bagaimana sih papa, kok tega tinggalin mama? Ntar mama diambil orang lho pap,” guraunya.
“ Tahun terakhir papa,sendiri, akan merayakan natal dengan keluarga.”
“ Pap, tahun ini kita merayakan natal dengan mami, Jonathan serta dan Thian. Mama sih mau ikut papa ke kampung. Tetapi kasihan mami kesepian.”
“ Papa mau ikut ibu pulang, karena mau membicarakan tentang pernihakan kita. Kapan waktu yang tepat buat mereka. Bagi papa, lebih cepat lebih baik.”

“ Jangan terlalu dipaksakan pap!” ujarnya. Aku terkesima mendengar ucapannya "jangan terlalu dipaksakan". Seketika tensi darahku naik. “ Maksudmu apa sih!? Papa tidak pernah memaksakan. Jadi, Magda belum bersedia? Katakan dengan jujur!" suaraku menahan teriak.
Papaaa..jangan berteriak seperti itu. Ntar mami bangun. Kenapa sih papa marah?. Maksud mama, kasihan mamatua masih capek, kan baru datang dari Jakarta?”

“ Tetapi papa, sungguh tidak mengerti. Apa maksudmu, dipaksakan? Minggu lalu, sepeulang dari night club, mama katakan telah siap. Ketika kita masih di Jakarta juga mengatakan hal yang sama. Kenapa sekarang mama katakan, jangan terlalu dipaksakan.? Maunya Magda kapan lagi? Atau kita batalkan,?” entakku sambil berdiri.

Magda menahanku. “ Papa mau kemana? Pap tenang dulu. Papa masih meragukan kesediaan mama? Minggu depan kalau papa mau, terserah bawa kemana, mama bersedia! Papa...pap..lihat mama,” bujuknya setelah aku duduk dan menyandarkan kepalaku di ujung sandaran kursi menghadap langit-langit teras. Nafasku sengal.
“ Lihat mama dulu. Pap, kenapa mama dimarah? Mama ketakutan.!”
“ Magda mau menghindar iya.?”
“ Papa...percayalah pada mama. Maksud mama jangan dipaksakan, kasihan mamatua baru pulang dari Jakarta; Dia masih letih. Biarkan dulu mamatua istrahat,” jelasnya.

Penjelasan yang keluar dari mulut Magda, secercah jawab, menghapus butir-butir kekuatiranku. Saat itu aku langsung minta maaf. “ Mam, maafkan papa terlalu sensitif,“ sesalku. Ternyata dia bermaksud merenggang waktu sejenak, menunggu tenaga ibuku pulih sepulang dari Jakarta.

Masih diteras, Magda menunduk lalu meletakkan kepalanya diatas kedua tangannya yang saling menindih diatas meja. Aku mendengar dia sesugukan menahan isak.
“ Maaf mam. Papa salah mengerti. Ayo kita masuk sebelum mami keluar,” bujukku seraya mengangkat kedua lengannya. Magda berdiri. Dia merangkulku, menempelkan wajahnya disisi wajahku, sesugukan. Dari kerongkongan tersendat dia berucap lirih:” ...mama masih sayang papa. Kenapa mama dibentak?” ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment