Monday, December 14, 2009

Telaga Senja (186)

Savage Garden Truly Madly Deeply
I’ll be your dream, I’ll be your wish/I’ll be your fantasy/I’ll be your hope, I’ll be your love/Be everything that you need/I’ll love you more with every breath/Truly, madly, deeply do / I will be strong, I will be faithful/’Cause I’m counting on/A new beginnin’ / A reason for livin’/A deeper meanin’, yea

And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me / And when my stars are shinin’ brightly in the velvet sky/I’ll make a wish to send it to Heaven/Then make you want to cry

The tears of joy for all the pleasure in the certainty/That we’re surrounded by the comfort and protection of/The highest powers in lonely hours/(Lonely hours)/The tears devour you / And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me

Oh can’t you see it baby?/You don’t have to close your eyes/’Cause it’s standin’ right before you/All that you need will surely come/Uhh hu yea

I’ll be your dream, I’ll be your wish/I’ll be your fantasy/I’ll be your hope, I’ll be your love/Be everything that you need/I’ll love you more with every breath/Truly, madly, deeply do/(I love you)/Huh huh

I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me / And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea / Well I want to live like this forever/Until the sky falls down on me /
Huh huh uhh/Yea uhh huh/La la la duh duh huh/La la la duh duh huh/Uhh hu

==================
Diakhir rangkaian kenangan itu, aku menyesali sikap Magda. Seandainya dia tidak membiarkan aku sendiri di kamar, kenanganku dengan Maya tak akan terlintas. Aku berusaha membujuk mataku redup namun tetap “nyala” seiring gejolak rindu, meski hanya sekedar melihat wajah Maya yang terakhir.
===================
Ditengah kegelisahan malam, aku bergegas bangkit dari tempat tidur, ingin menemui Maya di rumah Magda. Sementara berkemas, otakku merancang, bagaimana caranya agar Magda tidak merasa kesal jika aku datang menemuinya, saat hujan bagai ditumpahkan dari langit. Satu-satu cara adalah mendramatisir suasana. Aku menunggu becak dipingggir jalan, menutupi kepalaku dengan plastik bekas tentengan Magda. Beca yang aku tunggu baru melintas setelah hampir seluruh pakaianku basah kuyup. Dengan badan menggigil, aku mengetuk pintu samping, setelah lebih dulu menilik ke ruang tamu lewat kaca nako. Maya dan Shinta masih ada disana.

Sebelumnya, mengharap Magda membuka pintu dan akan melihatku menggigil kedinginan. Tetapi, yang membuka pintu, justru mami Magda. Perkiraanku meleset. Maminya berteriak memanggil Magda, memberitahukan kedatanganku. Magda berlari menemuiku ke depan pintu. Maminya menegur Magda karena hanya memplototiku meski dengan wajah iba.
“ Kenapa hanya berdiri boru ( putri, pen). Kasihkan dulu handuk inang, abangmu kedinginan itu,”suruhnya, kemudian meninggalkanku dan Magda.

“ Kenapa bisa basah seperti ini. Papa jalan kaki? Tadi mama sudah bilang, akan menjemput papa.!” ujar Magda pelan ketika menyerahkan handuk ketanganku.
“ Iya. Papa kesepian di kamar. Mami kapan datang,?” tanyanku.
“ Barusan. Papa ganti pakaian dulu. Tungguin mama dikamar, nanti mama menyusul setelah Maya pulang.” ujarnya. Bah! Kejam nian calon isteriku. Bertatap wajah dengan Maya pun tak diperkenankannya, kesalku dalam hati. Selang setengah jam, Magda menemuiku ke kamar; Dia membangunkanku ketika Maya dan Shinta hendak mau pulang. Aku paksakan bangkit dari tempat tidur, meski badan masih mengigigil kedinginan.
“ Papa bicara seperlunya saja. Mereka masih punya banyak urusan,” ucapnya mengingatkanku. Kalau saja maminya nggak ada dirumah, sudah pasti kutingalkan Magda tanpa menemui Maya, karena merasa jengkel atas peringatannya.

Maya menatap dingin saat aku menemuinya di ruang tamu. Magda over acting. Aku jengah ketika Magda duduk mepet di sampingku, persis dihadapan Maya. Shinta tidak seperti biasanya “riuh” bila bertemu denganku. Sejenak suasana terasa kaku, hening sesaat, sebelum Maya memecahkan kesunyian, bertanya: “ Zung, besok punya waktu datang ke rumah?”
Mendengar pertanyaan Maya didepan Magda, aku sedikit gugup, tak tahu menjawab apa. Magda segera menimbrung: “Mau temanin mama kerumah Maya setelah pulang kantor. Tetapi papa besok hari terakhir terapi kan pap? Papa, naik bus saja pulangnya.” ujarnya, mengalihkan pembicaraan. Namun, langsung disambar oleh Maya: “ Biar aku saja yang jemput bang Tan Zung.”
“ Maya, nggak usah. Pestamu tinggal beberapa hari lagi. Maya harus banyak istrahat,” cegah Magda.

“ Memang besok malam ada acara apa,?” tanyaku ke Maya.
“ Nanti mama beritahu. Maya dan Shinta mau pergi, mereka masih banyak urusan,” sela Magda disambut senyum Maya dan Shinta. Magda tidak membiarkanku sendiri menghantar Maya dan Shinta ke depan rumah. Sepeninggal Maya, aku menahan Magda diluar. Hati tak sabar mendengar akhir pembicaraan mereka. Tetapi Magda menggantung, membuatku penasaran.
“ Besok saja pap. Mama ngantuk,” jawabnya seraya menarik lenganku. Aku menolak masuk kerumah sebelum memberitahu isi pembicaraan mereka. Magda mengalah.

“ Kita pacaran diteras saja pap,” ujarnya genit. Nanti, lanjutnya, pada pernikahan Maya, mama jadi pendamping utama Maya. Tapi papa pendamping kedua, pria.
“ Kenapa mama berubah sikap? Bahkan menjadi pendamping utama Maya,?” tanyaku heran, hampir tak percaya mengingat “tragedi “kamar mandi siang hari.
“ Mama terenyuh mendengar cerita Maya ."
“ Memang ada masalah apa.?”
“ Nantilah usai pesta mereka, mama jelaskan,” elaknya.
“ Apa bedanya sekarang dan nanti,?” desakku penasaran.

“ Papa paling susah dibilangin. Harus dimauin apa maunya, huh..! Menurut Maya, pendamping perempuan dan lelaki mengundurkan diri. Mereka tersinggung dengan sikap om John, sok mau ngatur. Masya sih, pakaian mereka om itu yang atur?”
“ Nah, nanti kalau dia juga mau ngatur kita?”
“ Mama tinggal !” tawanya sinis.
“ Kenapa mama putuskan kesediaanku, tanpa mama tanyakan papa lebih dulu.?”
“ Papa, tadi mama katakan, mama mau karena terenyuh mendengar tuturannya dan mama menaruh empati. Tetapi kalau papa nggak setuju, besok mama batalkan.”
“ Jangan mam, kasihan Maya. Okey, papa ikut keputusan mama,” jawabku buru-buru.

“ Besok sebelum kerumah Maya, kita mampir ke tukang jahit mama. Papa juga harus jahitkan pasangan jas untuk papa, sekalian untuk persiapan pernikahan kita. Nanti mama minta tolong ke tukang jahit, supaya dikerjakan ekspress. Nggak apa-apa, ntar mama bayar ekstra.” ujarnya semangat. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment