Monday, December 14, 2009

Telaga Senja (185)



http://www.youtube.com/watch?v=8cBtijic5Fk


Savage garden - "I knew I loved you"
Maybe it's intuition/But some things you just don't question/Like in your eyes/I see my future in an instant And there it goes/I think I've found my best friend/I know that it might sound more than a little crazy/But I believe

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you/I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason/Only this sense of completion/And in your eyes/I see the missing pieces /I'm searching for/I think I've found my way home/I know that it might sound more than a little crazy/But I believe

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you I have been waiting all my life/(add the whos here) /A thousand angels dance around you/I am complete now that I've found you/(and the whos here)

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you I have been waiting all my life/(and the whos here)
Repeat chorus 3x with chorus

==========================
“ Jika alasannya adalah kemungkinan yang pertama, papa bersedia mendampinginya.”
“ Papa bagaimana sih. Kalau memang papa mau putuskan sendiri, kenapa berpura-pura menanyakan pendapatku?” kesalnya, sembari beranjak dari kursinya.

===========================

SEBELUM menjadi persoalan baru, buru-buru aku mendekapnya. Mam, tunggu dulu ! Papa bilang, kalau kemungkinan yang pertama benar, aku bersedia. Karena papa juga mau balas dendam ke om Jhon. Tetapi itupun, kalau dilarang, papa tidak akan memaksakan diri.”

“ Halah... tadi sudah memastikan mau jadi pendamping. Papa tidak usah berkelit.”
“ Mama marah ecek-ecek kan? Putusan papa juga hanya ecek-ecek kok. Apapun alasannya, papa tidak akan mau menikahi Maya," ucapku sengaja pelesetin."Bagi papa, Magdalena Elisabeth si ratu cerewet, putri menjeng itu sudah lebih dari cukup.”
Mata Magda melotot. Dia kembali duduk ke kursi. Tanganya merambah ke pahaku seraya mencubit sekuatnya, berucap kesal: “ Papa selalu membuat mama jengkel.”

“ Jika nanti malam Maya datang bertemu dengan mama, papa boleh ikut mendampingimu.?”
“ Jangan sebut lagi nama itu. Mama muak mendengarnya!” serunya. Sesaat kemudian, tangannya melingkar dileherku diiringi tawa lepas. “ Ya, ‘yang, papa harus ikut mendampingi mama jika Maya datang menemuiku. Tetapi papa jangan kaget bila mama menolak permintaannya.”
“ Bagaiamana kalau Magda hubungi dia sebelum datang ke rumah mama. Lebih baik, kita bicara disini, lebih santai,” usulku.
“ Papa genit! Maya mau menemui mama, bukan papa. Masih belum cukup pertemuan di kamar mandi itu, hah...?”

“ Ya..sudah, ayo mam, bayi Thian menunggu kita, ” ajakku, lantas menarik tangannya menuju ke klinik mengunjungi Rina. Sebelumnya, aku dan Magda telah besuk, tetapi pergi sendiri-sendiri, karena "tragedi" kamar mandi itu. Tiba di klinik, Rina berteriak haru dan mengangkat kedua tangannya menyambut kedatangan kami. Magda membalas. Rina memeluknya di atas tempat tidur berucap haru: “Begitu dong, jangan berantam melulu. Mas jelek, kesini!” teriak Rina usai berpelukan dengan Magda. Dia menarik lenganku, ketika aku mendekat ke ranjangnya, kemudian mencium pipiku: “Jangan nakal lagi mas,” ujarnya, kerongkongannya serak haru.

“ Mbak, kalau mas Tan Zung masih belagu, kita suruh Thian menghajarnya,” ujarnya disambut tawa Magda. Ruangan riuh dengan sendagurau kami bertiga. Ditengah keceriaan, Magda memberitahukan Rina perihal rencana kun jungan Maya ke rumah.
“ Sebentar malam Maya mau datang menemuiku.”
“ Maya mau kerumah ? Mau minta maaf?” tanya Rina.
“ Bukan! Maya mau minta ijin ke aku; dia mau mengajak bang Tan Zung menjadi pendamping calon suaminya.”

“ Jangan mau mbak. Mas Tan Zung sih maunya,” balas Rina.
“ Begini jadinya, bila berdua terlalu lama satu atap, sama-sama otak kotor,” gurauku seraya mengajak Magda pulang.
" Heh..mas Tan Zung, titip salamku untuk mbak Maya," teriak Rina saat kami meninggalkannya.
" Rin, jangan cari perkara. Titipkan salammu melalui Magda. Menyebut namanyapun aku nggak boleh, " balasku, disambut renyah Magda.
***
Dalam perjalan pulang dari klinik, di mobil, Magda berubah pikiran. Dia secara jujur mengakui, ketidaksiapannya bila aku ikut mendampingi, saat Maya akan datang kerumahnya. “ Papa, nggak usah ikut, sekarang mama antar papa pulang. Biar mama saja yang ngomong dengan Maya. Ntar mama datang jemput papa setelah kami selesai bicara.”

Lho, tadi, katanya mama mau ditemani. Memang kenapa kalau papa ikut.?”
“ Mama belum mampu melupakan kejadian tadi siang. Mama harap, papa dapat mengerti.”
“ Magda, masih menyimpan marah? Atau cemburu?”
“ Keduanya pap!”
“ Hujan deras begini disuruh tidur tanpa selimut? Tega amat sih menyiksa papa gara-gara Maya.?”

" Mama suruh tunggu, bukan tidur! Papaaaa... kali ini tolonglah mengerti perasaan mama. Mama belum dapat melupakannya,” ujarnya seraya menghentikan mobil di depan rumah kosku. Aku langsung berlari ke kamar tanpa menunggu payung yang akan disiapkan Magda. Aku tidak menyadari kalau Magda menyusulku ke kamar. Dia berlari menembus hujan tanpa payung, setelah aku tak perdulikan teriakannya memanggilku. Hampir saja pintu menghantam wajahnya ketika aku menutupkan dengan kuat.

“ Papa marah?” tanyanya seraya memutar wajahku menghadap wajahnya. “ Papa jawab mama. Papa marah!?”
“ Nggak! Pulanglah, mungkin Maya dan Shinta sudah di rumah. Telepon aku jika kalian sudah selesai bicara. Nanti papa tidur disana,” ucapku lembut, kuatir dia merajuk, membatalkan pertemuannya dengan Maya. Magda mendekapku hangat sesaat aku selesai ngomong. “ Papa nakut-nakutin mama. Kirain, papa sedang marah,” ujarnya, lalu pergi.

Sepeninggalnya, aku berencana tidak akan menemui Magda malam itu. Aku membuka bed cover tempat tidurku, pengganti selimut. Sedikit membantu kehangatan tubuhku, tetapi tidak dengan jiwaku yang sedang mengembara, jauh. Kabut redup seakan menutupi langit-langit kamarku. Dalam kesendirian, lagi-lagi pikiranku merangkai kenangan dengan Maya saat liburan di kampung dan kala menghadiri pernikahan Shinta. Diakhir rangkaian kenangan itu, aku menyesali sikap Magda. Seandainya dia tidak membiarkan aku sendiri di kamar, kenanganku dengan Maya tak akan terlintas. Aku berusaha membujuk mataku redup namun tetap “nyala” seiring gejolak rindu, meski hanya sekedar melihat wajah Maya yang terakhir. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment