Saturday, November 21, 2009

Telaga Senja (168)

==================
“ Mbak Maya dipaksa nikah dengan Parlin, teman seangkatan kak Tan Zung.”
“ Apa lagi,?” desakku
“ Rima hanya ingat itu saja. Maafkan Rima kak,” ibanya karena merasa bersalah.
“ Oh..nggak apa-apa” ujarku sambil memeluk punggungnya.
“ Bang, Antan!” ( Bang! Kira-kira dong) seru Lam Hot.
=================

MUNGKIN Magda merasa plong setelah mengetahui bahwa surat Maya belum pernah aku sentuh. Aku menemuinya di kamar. Dia tampak lelah terbaring di tempat tidur. “ Mam, siap-siap lah. Nanti mama ketinggalan pesawat. Koper mama sudah dimasukkan ke mobil,” ucapku pelan dekat telinganya. Magda terjaga. Dia meloncat dari tempat tidur setelah melhat arlojinya. Buru-buru lari ke kamar mandi. Sementara Magda bersiap-siap, ibu menyiapkan makanan.

“ Kenapa kamu belum siap-siap?” tanya ibu heran karena tidak melihatku tidak siap berangkat. Magda pun heran melihatku setelah keluar dari kama mandi. Magda memanggilku dari kamar setelah dia siap berpakaian.
“ Zung..! Kesini sebentar bang,” teriaknya.
“ Kau dipanggil itomu,” tegur ibu karena aku belum beranjak dari tempat dudukku. Magda kembali memanggilku. Kali ini suaranya lebih kuat.
Bangng..kesini sebentar. Tolong pasangin ini...” teriaknya. Sebelum teriakannya makin kencang, aku segera menemuinya ke kamar.
“ Susah amat sih dipanggil?” kesalnya saat aku dikamar. “ Tolong cantelin kancingnya” suruhnya sambil menyerahkan kalung pemberianku ( Susan) untuk dikenakan di lehernya.

“ Kenapa papa belum berkemas?”tanyanya.
“ Papa nggak usah ikut mengantar ke airport. Aku ngantuk, “ jawabku. Magda memutar tubuhnya menghadapku
“ Apalagi nih pap!? Mama datang hanya mau menjemput papa. Kalau hanya mama yang pulang, nggak butuh diantar. Mama bisa pergi sendiri,” ujarnya. Matanya melotot.
“ Papa bingung. Tadi pagi mama bilang, aku nggak usah ikut pulang; Dituruti, malah mama marah.”
Magda cemberut. Dia terduduk di ujung tempat tidur: “ Papaaa, aku capek...” rengeknya
“ Mama capek. Aku bingung harus bagaimana. Dituruti salah, ditolak kita ribut,” jawabku.

“ Maaf pap. Mama mengaku salah, Mama curiga dan terlalu cemburu,” ujarnya, lantas memelukku. “ Papaaa..mau maafkan mama?” lanjutnya.
“ Ya, tetapi lain kali jangan marah-marah didepan ibuku dong. Dia sudah capek melahirkanku, enak saja mama bentak-bentak.”
Pappp..maafkan mama. Nanti mama akan minta maaf ke mama tua. Papa siap-siap lah. Nanti kita terlambat," bujuknya.

" Papa takut, “ eyelku.
“ Takut kenapa pap?”
“ Di depan ibuku pun Magda berani marah. Apalagi kalau papa sendirian? Mama saja lah pulang sendiri,” lagakku seperti orang ketakutan. Sadar di angekin, Magda melepaskan pelukannya dan meninggalkanku sendirian di kamarnya. Ketawaku hampir meledak melihat tingkah Magda masuk ke kamar Lam Hot. Dia membuka koperku dan memilih kaos yang akan ku kenakan. “ Nih pap. Ganti kaosnya. Masya naik pesawat pakai kaos kusut. Papa nggak usah mandi, sudah nggak keburu, ” celotehnya.

“Papa ngantuk. Biar Lam Hot yang ngantar iya.!” jawabku, dibalas teriakan,” Zungngng...mengkek kali pun.“
Ibu menemui kami ke kamar setelah mendengar teriakan Magda.
“ Ada apa lagi inang?” tanyanya.
“ Masya abang pulang pakai kaos lusuh. Malu-maluin,” kelitnya.
“ Baru tahu kalau abangmu itu selalu berpakaian sesukanya. Sabar kamu inang. Sejak kecil abangmu tak pernah peduli dengan pakaiannya, “ tawa ibuku, lantas meninggalkan kami berdua di kamar Lam Hot. Sepeninggal ibu, kembali, aku ingatkan dia supaya lain kali jangan terlalu sensitif. " Mendengar nama saja pun Magda langsung meledak."
" Halah..sama saja pap. Dengar nama Albert pun papa langsung darah tinggi," ingatnya membuat aku terhenyak.

" Beda mam..."
" Ya....memang beda," sambarnya. " Maya pernah mempunyai hubungan khusus dengan papa. Mama tak pernah sekali pun berhubungan dengan Albert, bicara pun belum."
" Iya sudah lah, " suaraku surut
" Nah...kan? Papa langsung cemberut!" ujarnya sambil mendekapku. " Ayo pap, berkemas lah. Nanti kita terlambat."
***
Rencana mampir ke kantorku batal karena waktu tersita gara-gara tersebut nama Maya. Juga, dengan Laura kami tidak sempat bertemu. Aku berusaha menghubunginya dari airport, namun tak ada seorang pun yang mengangkat telepon.

" Telepon ke siapa pap?" tanya Magda .
" Telepon Laura. Mestinya kita harus telepon sebelum berangkat. Semua urusan berantakan gara-gara mama."
" Ya..ya. Mama mengaku salah. Nanti lah pap, kita telepon dari Medan."
Magda mencegah ketika mengangkat koper kecil milikku ke dalam pesawat " Biarkan mama yang bawa. Nanti penyakit papa kambuh lagi," cegahnya.

Di dalam pesawat, aku terus godain tentang pesan Maya, tetapi dia sudah nggak tanggapin lagi, kecuali mengukir senyum. " Ya pap teruskan. Mama sudah nggak mau ribut lagi. Papa mau pergi atau nggak ke pesta pernikahan Maya, itu urusan papa," jawabnya ketika aku tanyakan :
" Mama nanti pergi ?"
" Lihat nanti," suaranya lemah.

Sejak kemarin hingga kami berangkat ke airport, Magda hanya istirahat sejenak. Tampak wajahnya sangat letih. Aku mengajak Magda pindah ke belakang setelah minta ijin dari pramugari. Dibelakang ada sejumlah deretan kursi kosong. Disana, kepalanya terkulai lemah diatas pangkuanku. Dia terlelap. Aku menatap wajahnya, teduh nan sejuk, merangkai sejuta kebanggaan yang aku miliki dalam persahabatan dengan Magda.

Pramugari tersenyum penuh arti ketika menyaksikan tanganku, sesekali menggerai rambut Magda diikuti ciuman di pipinya. Kelembutan wajahnya mengingatkan ucapannya, ketika aku dan dia ribut gara-gara kepala Shinta tertidur dipangkuanku sepulang dari kampung.
" Pap, aku cemburu karena aku sangat mencintaimu." ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment