Sunday, January 31, 2010

Telaga Senja (219)

====================
Jadi maksud papa, hanya ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan, orang tua? Tulang bukan orangtuamu? Mamiku juga bukan orangtua papa?”
“ Lho kenapa mami diikut-ikutkan.?”
“ Papa jawab! Apakah mamiku orangtua papa juga.?”

====================
Aku di skak habis oleh Magda yang belum lama kunikahi. Tak menyangka kalau dia berpikir sejauh itu. Ucapanku menjerat leherku sendiri. Magda yang selama ini kuanggap tak tahu apa-apa tentang tatakrama kekerabatan, karena lahir dan di besarkan di kota, salah. Meski awalnya ibuku melarang pernikahan kami, namun aku yakin, ada alasan khusus sehingga akhirnya ibu dapat menyetujuinya. Salah satu alasan adalah, setelah melihat dan merasakan kebaikan serta kelembutan hati Magda saat datang bersama ke Jakarta melawatku kala opname di rumah sakit. Selain itu, Magda sangat santun jika berbicara kepada kedua orangtuaku. Kesabarannya, meski kadang beringas, melumpuhkan kekerasan hatiku. Mawar dan Rina berunglangkali memuji kesabaran Magda atasku. " Dia pantas menjadi soripada bang ( isteri, pen)" puji Lam Hot adikku satu ketika di Jakarta.

“ Papa belum menjawab pertanyaanku. Apakah mamiku, orangtua papa juga.?"
" Ya iya lah. Mamimu orangtuaku juga, sebab dia mertuaku!” jawabku enteng, tanpa beban. Walaupun aku telah menjawab, Magda tetap merasa tak puas.
“ Papa! Aku serius. Mama nggak suka mendengar cara papa menjawab inang. Ingat pap. Papa bukan sendiri lagi. Pikirkan juga mama. Mama sangat menyesal dan malu terhadap inang. Tahu begini, papa masih menyimpan dendam, mama tidak akan mau datang kesini.”
“ Mam, kenapa kita jadi ribut?”
“ Karena aku isteri papa. Sadar nggak kalau mama sudah bagian dari keluarga papa.”

“ Ya...ya. Pergilah, temanin ibu. Kalau mau undang tulang silahkan. Tetapi jangan marah kalau aku tetap esketean( tak mau bicara, pen) dengan tulang.”
“ Pap..! Kenapa masih berkeras hati, padahal dia tulang kandungmu, saudara kandung inang? Papa tidak bersyukur atas kebaikan amang dan inang menyambut kehadiran mama meski sebelumnya mereka menolak pernikahan kita? Jika papa masih bersikeras, mama tidak akan keluar dari kamar ini. Biar papa sendiri menghadapi undangan itu,” ancamnya.

“ Mam, aku hanya marah kepada tulang, bukan kepada famili lainnya?Kenapa mereka jadi ikut dikorbankan?”
“ Karena papa tidak sedikitpun mau mengorbankan perasaan meski secuil. Papa, sungguh mama kecewa,” ujarnya menumpahkan rasa kesal seraya merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Pertengkaran berakhir ketika ibuku memanggil Magda. “ Magda, sudah siap kamu inang?” Magda diam tak menjawab. Segera aku menghampirinya,” Mam, pergilah bersama ibu. Panggillah tulang dan nantulang serta semua anak-anaknya. Janji, papa nggak akan marah,” ucapku pelan. Lagi, ibu memanggil Magda, “ Ayo lah inang sebelum kita kesiangan.”
“ Ya. Sebentar inang,” jawabnya dari kamar. Dia bergegas tak memperdulikan ucapanku.

Magda dapat secara cepat menyesuaikan diri dengan ibuku, mertuanya. Magda menghardiku ketika aku minta ikut. ” Abang nggak usah ikut. Ntar ribut lagi dengan tulang. Abang bantuin masak ibu-ibu itu,” ujarnya. Ibuku ketawa mendengar perintah Magda. Sekembalinya dari perjalanan mengundang famili dekat dan tetangga, Magda melihatku sedang nongkrong di kedai tuak tidak jauh dari rumah. Buru-buru aku pulang kerumah sebelum dia menjemputku.

Belakangan ini, Magda sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai isteri, peduli pada suami, apalagi jika bersentuhan dengan minuman keras. Dan memnag, ini pula persyaratan utama yang Magda ajukan sebelum menikah. Telah kuteken mati pula, tanda setuju. Tiba di rumah, Magda langsung menyongsongku ke teras rumah dengan mata melotot.

“ Papa ngapain disana? Pagi-pagi begini papa minum tuak?” tanyanya geram.
“ Nggak. Papa cuma nongkrong, bertemu dengan teman-teman lama. “
“ Oh...iya? Gelas orang lain di depan hidung papa? Begitu caranya minum tuak di kampung iya?” sindirnya.

“ Mam suaranya jangan terlalu keras, papa malu jika mereka mendengar mama marah-marah.”
“ Papa tahu malu juga? Kok papa tega membiarkan mereka sibuk menyiapkan masakan , sementara papa berleha-leha dengan teman-teman minum tuak?”suaranya semakin keras seraya berbalik meninggalkanku. Bah! Magda sudah berani marah-marah di hadapan kedua orangtuaku. Ibu dan ayahku tersenyum simpul pula melihat kegalakan menantunya.

Ibu mengajak Magda ke dapur menemui ibu-ibu yang sedang memasak. Aku melangkah masuk kamar. Magda mengangguk lalugeleng-geleng kepala mendengar serius pembicaraan ibu. Seusai mendengar pembicaraan ibu, Magda menemuiku ke kamar. Dia menatapku dengan wajah geram.

“ Menurut inang, mereka setiap hari nongkrong disana hingga larut malam, tak peduli kepada isteri dan anaknya. Papa mau seperti mereka? “
“ Mam, tadi hanya minum setengah gelas, itupun sekedar menghargai mereka, ” ujarku mengaku jujur.
“ Menghargai mereka? Tetapi papa tidak menghargai diri sendiri. Juga tidak menghargai mama karena dikampung papa. Begitu!?"
“ Kali terakhir, papa mohon ampun. Nggak akan terulang lagi,” janjiku.

Magda dapat mengampuni secara tulus atas pelanggaran ringan yang aku lakukan. Selama acara berjalan Magda menunjukkan dirinya sebagai boru ni “raja”, santun dan menghormatiku sebagai suami meski baru saja dia menghajarku. Hatiku pun lega ketika Magda tertawa; Dia merasa geli, saat disuruh mengenakan kain sarung yang diberikan ibuku. “ Pap, mama sudah pantas jadi mamak-mamak iya..!”(Bersambung)

Los Angeles. Sunday, January 31, 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment