Sunday, August 2, 2009

Telaga Senja ( 92)


Every endless night has a dawning day/Every darkest sky has a shining ray/ And it shines on you baby can’t you see/ You’re the only one who can shine for me

[ CHORUS: ]
It’s a private emotion/ that fills you tonight/And a silence falls between us/As the shadows steal the light/And wherever you may find it/Wherever it may lead/Let your private emotion come to me/Come to me
When your soul is tired and your heart is weak/Do you think of love as one way street/Well it runs both ways, open up your eyes/Can’t you see me here, how can you deny

[ CHORUS ]
Every endless night has a dawning day/Every darkest sky has a shining ray/It takes a lot to laugh as your tears go by/But you can find me here till your tears run dry
[ CHORUS ]
==========================
“ Sekarang giliranku memilih pakianmu. Nih...paling cocok pakaian ke pantai,” lanjutku.
“ Memang nggak ada pilihan lain mas, pakaiannya cuma yang ini kok,” ujarnya ketawa. Atau aku pakai yang ini saja mas? tanyanya menunjukkan pakaian yang melekat pada tubuhnya.

=========================
PAGI itu wajah Laura cerah, secerah cuaca pagi. Sebelum kami berangkat, Laura mengingatkanku agar duduk bersamanya di depan. “ Biar Rima duduk di belakang dengan adik Lam Hot," usulnya. Laura memacu mobil agak urakan. Pada jalan tertentu, memacu mobilnya melampaui batas kecepatan maksimum seperti tertera dalam rambu jalan. Laura hanya tertawa ketika aku mengingatkannya.

“ Mas, ingat waktu remaja dulu,” ujarnya tanpa mengurangi kecepatan.
“ Emang kamu sudah tua?”
“ Sudah mas! Makanya nggak laku,” ujarnya sambil melirikku.
“ Nggak laku atau jual mahal. Wong ada yang nawar malah nolak.”
“ Emang barang mas, pakai tawar,” jawabnya.

Aku membiarkan dia memacu mobil meski dengan mata was-was menatap kedepan. Sementara adikku Lam Hot dan Rima ikut mengompori Laura agar melaju terus. Tampaknya, Laura melampiaskan kekalutan hati dan pikirannya lewat mobil di jalanan bergelombang itu. Tiba-tiba Laura menghentikan mobil di bahu jalan. “ Gantian mas,”ujarnya ketawa, lantas dia turun dari mobil pindah ketempat dudukku. “ Nggak nyangka kalau mas juga penakut.” imbuhnya.

“ Aku nggak takut mati, cuma nggak mau mati konyol,” ujarku sambil menghentak pedal gas sekuat-kuatnya mengagetkan Laura, Lam Hot dan Rima. “ Masing-masing berdoa sesuai dengan keyakinannya,” ujarku lagi menakut-nakuti mereka. Setelah beberapa ratus meter, laju mobil aku kurangi ketika Laura mulai ketakutan dan menutupi wajahnya, juga dengan Rima, kecuali Lam Hot mengingatkanku: “ Heh..bang, jangan sampai ibu kita kehilangan dua sekaligus,” ujarnya dalam suara gemetar.

Aku kembali menyerahkan stir mobil ke Laura setelah puas ngerjain dia kemudian memarkir mobil di sisi bahu jalan. Ketiganya tarik nafas, lega. “ Emang benar, mas nggak takut mati. Huhhh..ampun deh mas.!” keluhnya, sambil menatapku dengan mata kuyu. Sejenak Laura menenangkan hatinya yang masih diliputi rasa takut. “ Laura masih mampu nyetir? Atau aku yang teruskan?”
“ Biar aku saja bang,” celutuk Lam Hot.
“ Sejak kapan kamu bisa nyetir mobil. Aku tahu, kamu bisanya cuma supir kereta lembu,” guyonku memancing ketawa ketiganya yang masih pada ketakutan.
“ Aku lemas, mas saja yang nyetir, tetapi jangan terlalu kencang mas. Aku masih takut mati,” desahnya.

“ Sebenarmya aku lebih takut mati daripada kamu. Bayangkan, aku harus meninggalkan tiga sahabatku sekaligus, Magda, Susan dan kamu sendiri,” kelakarku.
“ Rina , nggak mas .?” tanyanya diiringi tawa getir .
“ Oh...iya, Thian juga.”
“ Maya juga kan mas.?”
“ Bah...Maya yang mana? “
“ Kok mas sudah lupa.?”
“ Maya orang Medan? Ah...itu hanya teman biasa, telah lama aku melupakannya. Kok kamu tahu Maya.?”
“ Nantilah aku cerita setelah kita tiba di pantai,” ujarnya sambil menyuruhku kembali menyetir mobil.

Rasanya ingin cepat tiba di pantai, penasaran, kenapa Laura tahu hubunganku dengan Maya? Sejak kapan pula dia tahu cerita lama itu dan apa perlunya dia “mencongkel”. Untuk menghilangkan rasa penasaran, di jalan sepi, aku hentak laju mobil dengan memainkan kombinasi kopling, pedal gas dan rem sehingga mengeluarkan decitan roda mobil. Laura hanya menunduk dan menutup kupingnya, tanpa protes. Juga dua “penumpang” dibelakang, Lam Hot dan Rima hanya pasrah. Tak tega melihat ketiganya stress, laju kenderaan kubuat normal.

Seakan baru saja lepas dari maut, tiba-tiba dari belakang, Lam Hot bernyanyi keras,” Halleluya...Halleluya...” Laura tak mampu menahan ketawa mendengar nyanyian false adikku Lam Hot. “ Kali ini aku pemenang, tak ada lagi rasa takut mati.” tegasku.
“ Tak takut mati atau pelampiasan rasa kesal.” celutuk Laura.
“ Ya. Kamu benar. Apa artinya Laura mengungkit masa laluku? Belum cukup kamu mengetahui hubunganku dengan Magda dan Susan. ?"

“ Aku tahu tanpa sengaja mas. Perlu apa aku tahu masa lalu mas? Jangan cemberut seperti itu dong.!” ejeknya sambil ketawa.
“ Laura, kita ini lucu! Sepertinya diantara kita masih tertanam rasa cemburu, padahal kita sudah sepakat hanya berteman biasa tanpa ada embel-embel cinta. Agaknya ada sesuatu yang belum terungkap.”

“ Kok mas tiba-tiba jadi melankonis setelah mendengar nama Maya.? Tak ada lagi yang tersembunyi. You’re still the one, but your not the one I belong to,” ujarnya serius.
“ Baik! Apa yang kamu tahu tentang Maya?”
“ Oh...nggak banyak, kecuali dia itu mantan pacar mas. Kemarin dulu waktu telepon mbak Magda, kebetulan disana ada Shinta, katanya sahabat Maya. Menurut mbak Magda, Shinta datang kesana memberitahukan bahwa bulan depan Maya akan menikah.”
“ Menikah? Menikah dengan siapa?” tanyaku penasaran.
“ Lho kok kaget seperti itu.? Apa masih ada yang tersisa......?” tanya Laura seakan mengejek. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment