Saturday, May 9, 2009

Telaga Senja (28)

Open Arms
Lying beside you, here in the dark/Feeling your heart beat with mind/Softly you whisper, youre so sincere/How could our live be so blind/We sailed on together/We drifted apart/And here you are by my side


So now I come to you, with open arms/Nothing to hide, believe what I say/So here I am with open arms/Hoping youll see what your love means to me/Open arms/Living without you, living alone


This empty house seems so cold/Wanting to hold you, wanting you near/How much I wanted you home/But now that youve come back/Turned night into day/I need you to stay.
(chorus)

=============
Jonathan meninggalkan aku dan Rina setelah mendapat telephon dari pacarnya:” Aku tinggal dulu, pacar lagi merajuk,” ujarnya seraya meninggalkan kami.
=============

Sepeninggal Jonathan, Rina menanyakan perihal keluarga Magdalena. “ Kok abang masih diterima oleh keluarga bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga padahal sudah putus dengan mbak Magda?”

“ Aku sukar menjelaskannya, tetapi inilah faktanya. Hubungan kami seharian tak ada ubahnya seperti orang pacaran; ketawa, marah dan cemburu. Tapi yang pasti, Magda tak mau lagi menjalin asmara. Bahkan dia sudah tekad tak akan mau menikah.”
“ Kenapa bisa putus?”
“ Menurutnya aku terlalu cemburu. Kala itu Magdalena dijodohkan dengan anak sahabat papinya.”
“ Mbak Magda mau?”
“ Memang nggak sih. Tadinya aku nggak percaya. Ketika itu, aku melihat sendiri melihat keduanya duduk berdua diapit oleh kedua orangtua mereka. Sakitnya Rin, Magda "dirampas" oleh maminya dari sisiku saat menghadiri pesta pernikahan sahabat almamater kami.

Aku tak mampu melihatnya duduk bersama lelaki yang dijodohkan orangtuanya. Segera aku meninggalkan gedung resepsi pernikahan. Naas bagiku, pasangan bapak-anak sedang mengenderai motor menabrak beca yang aku tumpangi. Aku terjengkang dari atas beca keatas aspal. Motor menimpa kakiku yang saat itu masih dalam perawatan. Itu sebabnya, kadangkala Rina melihatku jalan agak pincang.”
“ Kemana pria yang dijodohkannya itu.?”
“ Nggak tahu. Tetapi Rin, nggak usah disinggung masalah itu kepada Magda. Pernah aku singgung setelah kami pisah, dia sangat marah dan tidak mau berbicara denganku selama seminggu.”

“ Salut aku pada mbak Magda! Mendengar tuturan mas, aku menaruh rasa hormat, meski aku belum mengenal pribadinya. Dia perempuan luarbiasa. Dia tak mau membalaskan kepongahan mas, bahkan dia masih mau bersahabat seperti sediakala. Dan memang sangat pantas mas mengejarnya, lagi. Bagaimana mas masih dapat diterima oleh tante dan adik Jontahan.”

“ Sebenarnya, aku punya hubungan kekerabatan dari pihak ibu. Tetapi aku mengetahuinya setelah aku terlanjur berpacaran dengan Magda. Meja dan kursi inilah saksi hidup selama kami belajar bersama sejak duduk dibangku es-em-a hingga kami selesai S1. Diteras ini, aku dan Magdalena saling membagi kasih berlabur cinta; tertawa, marah, cemburu dan akhirnya bersenandung kidung kematian.”

“ Setelah itu mas punya pacar lagi.?”
“ Punya. Aku punya seabrekabrek, mulai dari usia remaja hingga ibu-ibu.”
“ Serius?” Dulu, gue kirain elu bercanda.”
“ Tadinya Rina hampir masuk dalam bilangan.”
“ Bilangan genap atau ganjil,” balasnya diiringi tawa..Ehhh..mas, tadi aku dengar Jonathan, mbak Magda masih marahan kepada mas, gara-agara aku iya,? “imbuhnya.

“ Ya! Dia marah, karena dianggapnya akulah yang bertanggungjawab atas kehamilanmu. Aku dianggapnya telah menghianati persahabatan yang kami bina ulang. Seperti tadi aku katakan, kami masih seperti berpacaran. Kalau dia tidak mempunyai rasa cinta tentu tidak seamarah sekarang. Tetapi, Rina nggak usah khawatir, maminya sudah menjumpai Magda ke kantornya. Aku yakin, Magda dapat menerima penjelasannya.”

“ Bagaimana mas yakin. Mas sendiri aku lihat masih ketakutan,” celutuknya.
“ Aku tahu benar karakternya. Magda berhati bening, seharian hatinya lembut, namun dia sangat marah bila dianggap sahabatnya berbohong, siapapun dia tak terkecuali sahabat perempuannya. Itulah, menurutku, kelebihan Magda dibandingkan dengan sejumlah wanita yang pernah aku temani. Itupula alasannya kenapa aku terus dekat dengannya. Rin, sebelum aku berangkat dari Jakarta, Magda mengirimkan sejumlah uang, karena gajiku ludes dicopet dalam bis, padahal aku nggak minta.”

“ Kenapa mbak Magda mau memutuskan nggak akan bakal nikah selamanya.?”
“ Magda sangat kecewa dan sakit hari atas keputusanku untuk berpisah.!”
“ Bagaimana dengan mas, mau mengikuti mbak Magda untuk tidak menikah?”
“ Entahlah, tetapi niatku untuk menikah tak pernah kesampaian, selalu gagal. Harusnya besok aku akan menikah denganmu , gagal lagi,” gurauku.
“ Mas ! Aku ngomong serius.”
“ Iya aku juga serius. Dulu, aku juga gagal nikah dengan Susan, mantan dosenku,” gelakku.

“ Gile! Bagaimana mas dapat pacar seorang dosen. Emang dia masih single?”
“ Mbak, orang sedang mabuk cinta tak mengenal usia, jenjang pendidikan atau pangkat, gadis atau janda, bahkan seorang masih single atau couple. Susan sudah punya suami. Dan itulah dasar pertimbangan utama kenapa aku mengurungkan niat untuk menikahinya.”

“Edan.! Aku nggak habis pikir bagaimana bisa seorang dosen yang masih bersuami, berpacaran dengan seorang mahasiswa. Yang edan siapa sih mas.?”
“ Yang sedang jatuh cinta.. Sebenarnya, berpacaran dengan Susan disebabkan beberapa alasan diantaranya, ketika itu dia dosen pembimbingku. Frekuensi pertemuan kami membuat hati satu dengan lainnya saling berpaut. Kebetulan pula aku, saat itu, sedang patah arang dengan Magda."

“Berarti cinta mas nggak tulus, hanya cinta pelarian.”
“ Apa sih takaran ketulusan? Bukankah selama lima tahun aku telah tulus mengurbankan hatiku hanya untuk seorang. Tetapi akhirnya kandas diterjang angin puting beliung.!”
“ Tadi menurut mas karena cemburu.? Aku bingung, rasa cemburu dapat meluluhlantakan hubungan selama lima tahun? Benar cemburu bagian dari cinta, tetapi tidak harus menciderai mas.”

“ Kala itu, aku merasa cintaku telah dicederainya, bahkan hingga berdara-darah. Sudahlah Rin. Aku nggak mau mengungkit lagi masa laluku yang telah kandas dipebatuan cadas itu.”
“ Tetapi sekarang mas dan mbak Magda sedang bergelut diatas rumput hijau mekar,” kelakar Rina.
“ Ya. Namun, kami sukar membedakan apakah sedang bergelut diatas rumput atau lumut yang sangat licin. Aku takut akan terjengkang untuk kali kedua.”

Sementara kami asyik mengobrol, aku melihat mobil Magda memasuki gerbang menuju gerasi. Mendadak jantung berdetak kencang, namun ku usahkan bersikap normal dihadapan Rina.(Bersambung)

Los Angeles. May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment