Wednesday, September 2, 2009

Telaga Senja (114)





================
Magda menyapaku dengan suara lembut: “ Ada apa Zung. Abang sedang di hotel iya,?” tanyanya.
” Ya. Kok Magda tahu,?” tanyaku tanpa ada perasaan bersalah. Pembicaraan tak berlanjut, Magda tiba-tiba menutup telepon. Aku coba lagi menghubunginya tetapi tak seorangpun mau mengangkatnya.

================


SUKACITA yang baru saja kuterima dari Susan sirna ditelan rasa cemburu Magdalena; Dia menduga Susan masih di Jakarta dan tinggal bersamaku di hotel. Kesal tak kepalang, menanggung dera atas curiga Magda, Rina pun ikut-ikutan sewot. Kepala terasa dibebani batu maha besar. Aku tak membiarkan beban itu bertengger lama dalam batok kepalaku. Hanya satu jalan menyingkirkan beban itu, minum sampai teler, kebetulan baru dapat sangu dari Susan jumlahnya lebih dari lumayan.

Langkah kaki terasa terbang menuju club malam. Waitress yang melayani malam sebelumnya masih mengenaliku; Dia menyambutku hangat, sementara otakku mulai “kotor” . Malam ini aku akan mengakihiri semuanya. Siapalah diantara perempuan malam ini yang akan menikmati akhir keperjakaanku, bisikku dalam hati bagaikan orang kehabisan akal. Minuman laju mulus, menyelusuri ruang tenggorakan. Aku sengaja memilih minuman beralkohol tinggi, agar “terbangnya” lebih cepat. Malam semakin larut pengunjung semakin riuh termasuk perempuan malam. Dalam kesendirian, seseorang duduk di sebelahku, satu meja. Semerbak wangi menyengat hidung, hampir saja aku muntah, wewangiannya sangat kontras dengan aroma alkohol. Awalnya aku berpikir, dialah perempuan yang akan “menikmati” keperjakan yang kesuciaannya selalu aku jaga demi sijantung hati, kelak. Namun rupanya itu hanya sebuah impian lelaki tolol.

Temaram cahaya ruangan membantu kamuflase wajah nan cantik yang duduk disebelahku. Meski telah banyak minum, aku terjaga dari perenungan pahit yang baru saja aku terima dari Magda. Serak suara "sopran" kadangkala beralih ke "alto" menerjang impian bersamanya malam ini. Bedebah! Dia adalah makhluk berperilaku ganda, gay. Buru -buru aku lari ke toilet. Disana terhambur semua isi perut, aku muntah, ingat peristiwa tempo dulu di kapal Tampomas, ketika seorang biduan band hampir memperkosaku.

Rongga otakku sedikit lega setelah isi perut kumuntahkan di toilet. Aku menengadah keatas setelah wajah dan rambut kubasahi dengan air. Kehadiran perempuan bukan, laki bukan di mejaku mengingatkan “tragedi” Tampomas sekaligus menukil kenangan kepada Mawar; Dialah yang menyelamatkanku dari nafsu sang biduan kala itu.

Secara tak sengaja, tiga hari terakhir nama Mawar timbul kepermukaan; kemarin dulu Susan bercerita tentang Mawar, dan malam ini wajah Mawar muncul lagi dalam bayang, kala hati teriris perih kepada Magda. Kejadiannya mirip ketika aku terkapar di rumah sakit. Magda “jauh” dariku karena ada masalah dengan orangtuanya, akhirnya Mawar mengambil alih tugas keperawatan itu dari tangan Magda. Mawar tulus merawatku, pengganti sahabatnya Magda yang ketika itu terdera siksa orangtuanya.

Aku tak mengerti, ini pertanda apa, dan akupun tak tahu keberadaannya kini. Apakah Mawar meyimpan rindu terhadap diriku?. Boleh jadi dia masih menyimpan kalimat puitisku ketika dia merawatku di rumahsakit dan dirumah pak Ginting. Atau dia menyimpan kenangan, kala wajah kami bersentuhan ketika dia memperbaiki posisi bantal dikepalaku saat berada di rumahsakit. Mungkin juga dalam ingatannya masih melekat, kala pasangan mata kami bertatap dekat di kamar mandi pak Ginting saat dia melap separuh tubuhku.Entahlah!.

Kembali dari toilet, waria itu masih lengket di kursi mejaku, kini dia bersama dengan seorang lainnya. Yach...dia dengan sejenisnya pula, waria. Aku menemui seseorang lelaki, tampaknya dia centeng di bar itu. Berlagak centeng pula, aku minta dia mengusir pasangan waria itu dari mejaku, “ atau carikan aku meja kosong,” perintahku. Pasangan waria langsung hengkang setelah melihatku bicara dengan centeng bar itu. Aman sudah menikmati tembang sendu , walau liriknya seperti menyindir kesendirianku.

Pengaruh minuman kembali lagi menerjang seluruh syaraf, namun aku tetap was-was jangan sampai terulang lagi kejadian di Tampomas. Aku takut setelah nanti tak mampu kontrol diri, mereka menculik dan memperkosaku. Malam beranjak larut, meski semua meja di bar telah terisi, centeng itu tidak memperkenankan seorangpun duduk di mejaku. Perlahan tetapi pasti, minuman, gelas demi gelas menyeruak lewat kerongkongan.

Walau minuman telah merasuk, aku mendengar pertengkaran kecil antara centeng dengan pasangan lelaki dan perempuan di dekat pintu masuk. Naluri solidaritas ” centeng” ketika di Medan, keluar. Bagi orang pasaran atau centeng, solidaritas melebihi segalanya. Bak kata preman pada umumnya, sampai titik darah penghabisan, demi kawan. Aku menaruh simpati pada centeng club malam itu setelah sebelumnya dia mengusir waria dari meja atas perintahku.

Pengaruh minuman telah memporakporandakan tingkat kesadaranku, bawaan hati selalu panas. Aku menemuinya ke tempat kertengakaran, dalam benak bila tamu itu masih ngotot aku akan menghajar duluan. Memang benar-benar saku sudah gila, sok jagoan dan mencampuri urusan orang lain. Ah...antara percaya dan tidak, pasangan yang sedang bertengkar dengan centeng itu adalah adikku Lam Hot dan Laura. Aku berbisik kepada centeng itu, " biarkan mereka masuk. Dia itu adikku dan perempuannya pacarku. Saat itu dia mengijinkan Lam Hot dan Laura masuk, duduk bersamaku. ( Bersambung)
Los Angeles, September, 2009
Tan Zung

No comments:

Post a Comment